(STIBA.ac.id) Payakumbuh –  Fisik yang kuat tak menjadi syarat utama menjadi seorang dai. Aktivitas di medan dakwah memang kadang menguras banyak tenaga. Apalagi jika dai tersebut harus aktif membina dan punya setumpuk kegiatan. Pagi hingga malam hari. Namun niat yang ikhlas dan kecintaan terhadap sesama itulah yang menjadikan seoarang dai mampu bertahan di tengah beratnya amanah menjadi seorang dai.

Seperti yang terjadi pada Supardi, alumni STIBA Makassar yang diutus ke Payakumbuh Sumatera Barat. Keterbatasan pada fisiknya tidak menciutkan nyalinya menerima amanah dari DPP Wahdah Islamiyah diutus ke daerah yang jauh dari kampung halamannya.

“Keinginan saya berdakwah atas motivasi hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Seseorang mendapat hidayah Allah melalui engkau, maka hal itu lebih baik bagimu dari seekor unta merah,” ujar Supardi.

Ia juga mengutip firman Allah, “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata, “Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri).”

Di samping motivasi keutamaan berdakwah, hal lain yang juga memberi dorongan kuat baginya untuk berdakwah adalah keinginannya untuk menjadi anak saleh dan bisa berbakti kepada kedua orang tuanya.

“Kegiatan sehari-hari saya di daerah tugas adalah mengajar ibu-ibu dan bapak-bapak yang belum lancar membaca Alquran setiap bakda Magrib dan Isya di beberapa masjid. Kemudian di pagi hari Senin dan Jumat menjadi guru bimbingan ekskul tahfizh di SMA,” kata bujang asal Bone tersebut.

Supardi melanjutakan, sebagian orang tua juga meminta untuk diajar di rumah (private). “Alhamdulillah kami jalani siang dan malam dengan ikhlas dan berharap rida ilahi,” tuturnya.

Dakwahnya bisa diterima berbagai lapisan masyarakat adalah hal yang sangat berkesan bagi Supardi. Tapi bisa menyentuh orang-orang yang sangat membutuhkan pengajaran Alquran hingga mereka terharu sembari bersyukur ketika diajarkan Alquran kepada mereka adalah hal yang paling berkesan.

“Respons masyarakat hampir semuanya positif. Mereka saling mengabarkan jika ada yang ingin belajar membaca Alquran,”  tambah Supardi.

Kultur budaya di tanah Minang masih sangat kental. Karenanya Supardi dalam berdakwah terlebih dahulu melakukan pendekatan yang baik. Ia pun menyampaikan dakwahnya  dengan santun dan menjauhi sikap ekstrem.

Tentang masalah pada fisiknya, Supardi mengisahkan bahwa menurut bapaknya, ia pernah jatuh pada usia balita dengan kepala tertancap di dalam lumpur.  Di usia anak-anak pun ia beberapa kali terjatuh. Pernah dari tangga bahkan jatuh ke dalam sumur.

“Alhamdulillah saya bersyukur Allah masih memberikan kesempatan kepada saya untuk hidup dan menikmati kebesaran dan keagungan-Nya. Dan yang membuat saya bertahan dengan fisik seperti ini adalah saya yakin pada Allah di setiap kekurangan pasti ada kelebihan yang Allah berikan kepada hamba-Nya,” ungkap Supardi.

Kecintaannya terhadap dakwah dan masyarakat Payakumbuh yang menjadi objek dakwahnya membuat Supardi memutuskan untuk tetap tinggal dan melanjutkan dakwah di tempat tersebut, kendati masa tugasnya telah berakhir.

Supardi bersama Datuk Afdal Tabrani Datuak Nagari

Loading

Tinggalkan Balasan