9 Muharram 14/02 November, Kampus STIBA kembali dikunjungi oleh seorang ustadz yang dikenal aktif berkiprah dalam dunia dakwah. Beliau adalah Ustadz Ridwan Hamidi, Lc., M.P.I., M.A. Pada kunjungan kali ini, beliau didaulat untuk membawakan taklim selepas Isya di Masjid Kampus STIBA Makassar.
Sebelum memulai pemaparan materinya, ketua MIUMI (Majelis intelektual Ulama Muda Indonesia) daerah Yogyakarta ini, menghimbau kepada para mahasiswa agar banyak bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla karena telah dipilih dan diberi kesempatan oleh Allah untuk menimba ilmu pada tempat yang begitu kondusif bagi para penuntut ilmu syar’i. Tentunya rasa syukur yang sangat tepat untuk diimplementasikan dalam kondisi seperti ini yaitu dengan mempergunakan waktu dan kesempatan sebaik mungkin.
Selanjutnya, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Sumatera dan Jawa Wahdah Islamiyah ini memaparkan tentang pola pikir masyarakat Indonesia yang cepat puas dalam menuntut ilmu, maka beliau mencoba memberi pencerahan dan motivasi kepada mahasiswa melalui realita dakwah saat beliau safari dakwah ke negara-negara tetangga yang kaum muslimnya minoritas. Dengan asumsi bahwa dengan menceritakan realita dakwah ini, bisa menjadi sebuah justifikasi bagi para mahasiswa untuk lebih termotivasi dalam berdakwah.
Kaitannya dengan realita dakwah tersebut, pada bulan September yang lalu, beliau bersama dengan Pimpinan Dewan Syariah Wahdah Islamiyah sekaligus sebagai Ketua MIUMI daerah Sulawesi Selatan, Ustadz Dr. Rahmat Abdurrahman Lc., M.A. Mereka berdua mengunjungi tiga negara yang dijadwal tiap pekannya. Pekan pertama, dimulai pada kunjungan ke Myanmar, kemudian pekan kedua berkunjung ke Filipina, dan selanjutnya berkunjung ke Vietnam. Pada kunjungan tersebut, ada beberapa poin penting yang beliau ceritakan. Di antaranya, berkaitan dengan kondisi sistem belajar dan pembelajaran saudara-saudara kita yang ada di Myanmar, mereka tidak mendapat kesempatan belajar seperti yang kita rasakan di Indonesia. Mereka tidak diberi izin atau keleluasaan dari pihak pemerintah untuk mendirikan pesantren, perguruan tinggi ataupun universitas yang berbasis Islam. Ini disebabkan karena Islam di Myanmar minoritas, hanya sekitar 12%. Dengan demikian suasana keislamannya tidak seperti apa yang kita rasakan di Indonesia.
Realita yang lebih memprihatinkan yaitu kondisi umat Islam di Vietnam. Persentase umat Islam di sana kurang dari 1 %, hanya sekitar 0,8 %. Begitu pula dengan kota Hocimin, salah satu kota yang tingkat aktivitas di dalamnya lebih tinggi daripada ibukota negaranya. Di sana hanya terdapat sekitar 5 atau 6 masjid, dan hanya satu masjid yang dipergunakan untuk shalat Jumat. Penyebabnya sama dengan Myanmar, tidak adanya kebebasan mendirikan sekolah dan lembaga pendidikan lainnya yang berbasis Islam.
Adapun poin selanjutnya, berkaitan dengan realita belajar dan pembelajaran pada tataran penuntut ilmu syar’i saat ini. Banyak di antara mereka yang terfitnah dengan IT yang begitu canggih. Sehingga banyak yang terjangkiti penyakit ”belajar Islam ala internet,” sehingga waktu untuk membuka, mengkaji, dan menelaah langsung kitab asli para ulama itu sangat terbatas, bahkan hampir tidak ada. Tentunya hal ini menimbulkan berbagai problema bagi penuntut ilmu itu sendiri. Di antaranya adanya unsur ketergesa-gesaan di dalamnya, sehingga apa yang kita baca tidak terfokus dan tidak tercermati secara mendalam. dikarenakan hampir setiap postingan itu cenderung singkat dan padat. Setiap permasalahan langsung pada inti dan penyelesaiannya tanpa adanya rincian-rincian permasalahan yang detail dan tanpa menyebutkan bagaimana cara mencari dan menentukan penyelesaian dari permasalahan tersebut. (Sarmin)
