(STIBA.ac.id) Maros – Jauh di Dusun Bonto Panno, ada sosok guru yang pantang menyerah meski dikelilingi keterbatasan. Namanya Pak Burhan. Bukan warga asli, bukan juga orang dengan fasilitas melimpah. Tapi semangatnya? Tak ada yang bisa menandingi.

Pak Burhan yang berasal dari Bulukumba, punya mimpi besar: menghadirkan pendidikan berkualitas di daerah terpencil.

Tahun 2009, ia merintis sebuah pesantren. Sayangnya, karena kurangnya dukungan dan izin operasional, pesantren itu terpaksa ditutup. Pukulan berat, tentu saja. Tapi bagi Pak Burhan, ini bukan akhir.

“Awalnya Bapak sempat mau tutup sekolah ini,” kata Arini, anak bungsu Pak Burhan. “Tapi karena perjuangan almarhum Mama dulu waktu merintisnya, Bapak mengurungkan niat.”

Dari pesantren, Pak Burhan kemudian mengubah konsep sekolahnya menjadi Sekolah Islam Terpadu di bawah Dinas Pendidikan. Kini, sekolah itu dikenal sebagai SDIT dan SMPIT Yabunurah.

Perjuangan Pak Burhan tidak berhenti di situ. Dengan fasilitas seadanya dan dana yang pas-pasan, ia tetap mengajar tanpa pamrih. Tak ada gaji besar, tapi ada kepuasan yang jauh lebih berharga: melihat anak-anak di Dusun Bonto Panno punya akses pendidikan lebih dekat.

Jarak antara dusun dan pusat desa memang cukup jauh, jadi keberadaan sekolah ini benar-benar membantu. Apalagi bagi anak-anak yang tidak punya kendaraan pribadi.

Pak Burhan berharap dengan hadirnya mahasiswi KKN STIBA Makassar, kesadaran akan pentingnya pendidikan semakin meningkat.
“Semoga makin banyak anak yang semangat belajar agama dan akademik,” ucapnya, Rabu, 19 Maret 2025.

Kisah Pak Burhan adalah cerita tentang dedikasi, ketulusan, dan semangat yang tak mudah padam. Kalau Pembaca ingin ikut berkontribusi, bisa dengan dukungan fasilitas, tenaga pengajar, atau sekadar menyebarkan kisah inspiratif ini. Karena pendidikan adalah investasi jangka panjang, dan semua orang bisa ambil bagian dalam perjuangan ini.


Reporter: Nadya Nurul Ismi

Loading

Tinggalkan Balasan