
(STIBA.ac.id) Maros – Sabtu itu hujan. Gerimis, lalu reda, lalu turun lagi. Jalan becek, semak ilalang tinggi, dan udara yang lembap menyambut langkah kami menuju sebuah dusun kecil di ujung Desa Toddopulia, Maros. Namanya: Bonto Panno.
Nama yang mungkin tidak populer, tapi menyimpan kisah yang akan menetap lama di hati kami.
Kami datang sebagai mahasiswa KKN STIBA Makassar, membawa sedikit bantuan, membawa banyak semangat. Tapi ternyata, kami yang pulang justru membawa oleh-oleh yang tak ternilai: pelajaran tentang hidup, tentang kehormatan, tentang iman.
Namanya Ibu Dg Basse. Usianya lebih dari enam puluh tahun. Tapi jangan bayangkan beliau hidup sendiri. Di rumah reyot itu, yang berdinding kayu lapuk, berlubang di sana-sini, beratap bocor dan lantai tanah yang keras, tinggal pula ibunya. Seorang perempuan yang kini berusia lebih dari seratus tahun dan sudah lumpuh sejak puluhan tahun lalu.
Ya. Dua perempuan tangguh. Dua jiwa yang tetap berdiri meski dunia di sekitarnya hampir runtuh.
Tidak Mengemis, Meski Miskin
Banyak orang berkata, “Kalau sudah begini, kita tidak punya pilihan.” Tapi Ibu Dg. Basse membuktikan sebaliknya. Dalam segala keterbatasan yang membuat dada sesak saat melihatnya, beliau tetap menjaga satu hal: kehormatan.
Beliau tidak pernah meminta-minta. Tidak pernah duduk di pinggir jalan menengadahkan tangan. Tidak pernah mengetuk rumah tetangga demi sesuap nasi. Beliau lebih memilih bekerja sebisanya. Karena katanya, “Sedikit yang halal lebih baik daripada banyak yang memalukan.”
Itu kalimat yang menusuk. Karena hari ini, banyak dari kita menyerah bahkan sebelum berjuang.

Bakti yang Tak Pernah Luntur
Beliau merawat ibunya sendiri. Membopong. Membersihkan. Menyuapi. Menghibur. Hari demi hari. Tahun demi tahun. Tanpa mengeluh. Tanpa jeda.
Bayangkan: seorang lansia, merawat lansia yang lebih tua. Dengan cinta. Dengan sabar. Dengan kekuatan yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang tahu apa arti berbakti.
Kami tak sanggup berkata-kata saat melihat itu. Yang bisa kami lakukan hanya diam dan menyeka air mata. Birrul walidain bukan hanya nasihat di buku. Ia nyata. Kami menyaksikannya langsung di ujung desa ini.
Ibadah yang Tetap Dijaga
Kami pikir, mungkin karena rumahnya nyaris roboh, ibadah bisa ditunda. Mungkin karena makannya hanya sekali sehari, bolehkan sesekali ia meninggalkan puasa?
Tapi kami keliru. Salatnya tidak pernah bolong. Zikirnya tak pernah henti. Puasanya tetap dijaga. Bahkan saat tubuh sudah rapuh, beliau tetap bersimpuh.
“Kalau kita masih bisa bangun, maka kita harus salat,” katanya. Lagi-lagi, kami tertunduk. Karena alasan kita tidak beribadah kadang sangat sepele: malas. Lelah. Sibuk.
Kami yang Belajar, Bukan Sekadar Berbagi
Kami datang dengan beras, makanan, dan uang seadanya. Tapi kami menerima lebih dari itu: senyum yang tulus. Doa yang hangat. Dan pelajaran hidup yang mungkin tidak akan pernah kami temukan di ruang kuliah sekalipun.
Kami datang ingin memberi. Tapi justru kami yang diberi.
Penutup: Cermin untuk Kita Semua
Kisah Ibu Dg. Basse adalah cermin. Cermin yang mungkin tidak ingin kita lihat, karena terlalu jujur. Tapi ia ada. Menyuarakan bahwa hidup bukan tentang banyaknya harta, tapi tentang bagaimana kita tetap memeluk iman di tengah badai.
Kehidupan boleh reyot. Tapi hatinya kokoh. Dan itu cukup untuk membuat kami pulang dengan dada yang penuh.
Reporter: Tim Mahasiswa KKN 8 STIBA Makassar
Dusun Bonto Panno – Toddopulia, Maros
19 April 2025