(STIBA.ac.id) Makassar — Di balik deretan meja sidang dan setumpuk berkas skripsi, tersimpan ratusan kisah perjuangan. Bagi 398 mahasiswa STIBA Makassar, sidang munaqasyah bukan hanya soal ujian ilmiah, tapi juga pertarungan batin, pembuktian diri, dan bentuk nyata dari jihad ilmu yang mereka tempuh bertahun-tahun.

Dalam sambutannya di Pembukaan Sidang Munaqasyah Skripsi (24/7), Rektor IAI STIBA Makassar, Ustaz Akhmad Hanafi Dain Yunta, Lc., M.A., Ph.D., mengingatkan bahwa setiap kalimat dalam skripsi bukanlah sekadar tugas akademik, melainkan amanah yang mengandung nilai pertanggungjawaban, bukan hanya kepada dosen penguji, tetapi juga kepada Allah dan umat.

“Ilmu yang tidak mengantarkan kita pada ketakwaan, itu kehilangan ruhnya. Apa yang kalian tulis hari ini, adalah bentuk pertanggungjawaban ilmiah sekaligus moral,” tegas beliau di hadapan mahasiswa dan dewan penguji.

Sidang munaqasyah tahun ini menjadi tonggak terakhir bagi mahasiswa Program Studi Perbandingan Mazhab yang melaksanakan sidang secara eksklusif. Mulai tahun depan, Prodi Pendidikan Bahasa Arab akan turut serta dalam sidang munaqasyah, menandai era baru dalam pengembangan akademik STIBA Makassar.

Namun di balik transisi kelembagaan ini, yang paling berkesan justru adalah semangat mahasiswa itu sendiri. Mereka datang dengan wajah penuh harap, sebagian diliputi rasa cemas, namun semuanya membawa bekal: ikhtiar, doa, dan keyakinan bahwa ilmu adalah jalan ibadah.

Rektor juga menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang terlibat dalam proses ini, dari dosen pembimbing, dewan penguji, hingga tim akademik.

“Ini jihad kita bersama. Kontribusi akademik adalah bagian dari ibadah,” ucapnya.

Proses panjang mulai dari penyusunan proposal, bimbingan skripsi, seminar hasil, hingga sidang munaqasyah telah membentuk pribadi mahasiswa, tidak hanya cakap dalam teori, tetapi juga matang secara mental dan spiritual.

Bagi mahasiswa STIBA, menyelesaikan skripsi bukan sekadar syarat kelulusan. Ia adalah mahkota perjalanan. Dan sidang munaqasyah adalah saatnya membuktikan: bahwa ilmu yang dipelajari bukan hanya bisa dipertanggungjawabkan, tapi juga bisa diamalkan.

“Menulis skripsi sebenarnya saya bisa cukup cepat, satu dua bab bisa selesai dalam beberapa hari. Tantangannya justru di awal, saat mengumpulkan semangat dan ide. Alhamdulillah, meski di akhir studi saya juga diberi amanah sebagai muhaffiz, musyrif, dan mudarris di Pondok Nur Al-Iman, para asatizah di sana sangat mendukung dan memudahkan, sehingga saya tetap bisa fokus menyelesaikan studi di STIBA. Suasana maktabah dan Cafe Tamam juga sangat membantu, kondusif sekali untuk menulis,” ujar Khaerul Ahmad, mantan Ketua Asrama Mahasiswa yang kini bersiap mengakhiri masa studinya di STIBA Makassar.

Loading