(STIBA.ac.id) Makassar — Bagi sebagian orang, yudisium mungkin sekadar momen formal: mendengarkan SK, mendengar sambutan, lalu foto bersama. Tapi bagi ratusan mahasiswa Prodi Perbandingan Mazhab IAI STIBA Makassar yang berdiri di Masjid Anas bin Malik sore itu, Jumat (25/7/2025), yudisium adalah titik klimaks dari sebuah perjalanan yang panjang, penuh warna, penuh makna.

Empat tahun, bahkan ada yang lebih. Dari hari pertama mereka menginjakkan kaki di kampus ini sebagai anak baru yang belum mengerti apa-apa, hingga akhirnya hari itu berdiri sebagai sarjana hukum, ada banyak kisah yang tersimpan di balik toga dan senyum bahagia.

Di balik momen haru dan kebahagiaan prosesi Yudisium Angkatan ke-9 Prodi Perbandingan Mazhab IAI STIBA Makassar, tersimpan cerita angka-angka yang tak bisa dipandang sebelah mata. Dari 531 mahasiswa yang tercatat masuk pada tahun akademik 2021–2022, hanya 362 orang yang berhasil menyelesaikan seluruh tahapan akademik hingga akhir. Jika ditambahkan dengan 36 mahasiswa dari angkatan sebelumnya, total peserta yudisium tahun ini mencapai 398 orang.

Angka ini berarti sekitar 68% dari angkatan awal berhasil mencapai titik yudisium. Bukan karena yang lainnya tidak mampu, tetapi karena proses pendidikan di STIBA memang bukan jalan pintas. Ada penyaringan, ada proses seleksi alam, dan ada perjuangan panjang yang harus dilalui dengan sungguh-sungguh.

Hal ini disampaikan langsung oleh Wakil Rektor I, Ustaz Rachmat Badani, Lc., M.A. dalam sambutannya. Menurutnya, angka itu bukan sekadar statistik, tapi bukti bahwa proses pendidikan di STIBA dijalani dengan serius dan bertahap. Dari pendaftaran judul skripsi, seminar proposal, sidang hasil, hingga munaqasyah, semuanya dilalui dengan standar dan tuntutan yang tidak ringan.

“Ada banyak yang berjuang, ada juga yang harus tertinggal di tengah jalan karena satu dan lain hal. Maka, bisa sampai di titik yudisium ini adalah nikmat besar dari Allah,” ujarnya.

Rektor IAI STIBA Makassar, Ustaz Akhmad Hanafi Dain Yunta, M.A., Ph.D. juga menyoroti bahwa jumlah yang lulus ini bukan sekadar hasil administrasi atau kelulusan formal. Ada air mata, ada kegelisahan, ada semangat yang kadang naik turun. Semua itu menjadi bagian dari proses pembentukan karakter yang tidak tercatat dalam transkrip nilai, tapi terasa dalam perjalanan jiwa.

Yudisium kali ini juga menjadi momen refleksi, bahwa pendidikan bukan hanya soal menyelesaikan SKS, tapi bagaimana melewati setiap fase dengan kejujuran, kesabaran, dan integritas. Lulusan yang berhasil melewati proses ini, menurut beliau, adalah mereka yang layak menyandang gelar sarjana bukan hanya secara akademik, tapi juga secara etika dan spiritual.

Yudisium 2025 ini menjadi pengingat bahwa gelar sarjana hukum bukan diperoleh dengan mudah, dan karena itu pula, ia harus dipakai dengan bijak. Dalam masyarakat yang terus berubah, gelar tersebut bukan sekadar status akademik, tapi menjadi simbol perjuangan, amanah, dan kesiapan untuk membawa cahaya ilmu di mana pun berada.

Loading