(STIBA.ac.id) Makassar – Orasi ilmiah dalam Wisuda VII STIBA Makassar disampaikan oleh Prof. Dr. Abdul Hamid Habbe yang merupakan Ketua Badan Pengawas Keuangan Wahdah Islamiyah sekaligus sebagai anggota senat STIBA Makassar. Ia mengangkat tema terkait tantangan-tantangan ekonomi yang akan dihadapi oleh para wisudawan, serta strategi kemandirian dan pengembangan jaringan yang perlu disiapkan oleh para lulusan.

Prof. Abdul Hamid memulai orasi ilmiahnya dengan mengulas teori upah besi yang dikemukakan oleh Ferdinand Lassalle, yang menyatakan bahwa dalam kondisi ketidakseimbangan antara permintaan lapangan kerja dengan pasokan tenaga kerja, pemberi kerja cenderung mendominasi dalam negosiasi upah. Di Indonesia, tingkat pengangguran pada tahun 2023 mencapai 7,2 juta orang. Angka ini menunjukkan kondisi yang tidak seimbang dalam dunia kerja, yang mana akan menjadi tantangan besar bagi para lulusan perguruan tinggi Islam.

Ia juga menyinggung kondisi ekonomi Indonesia secara lebih luas, termasuk rendahnya tingkat kewirausahaan yang hanya mencapai 3,6% dari total populasi, jauh di bawah negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Singapura. Pada masa puncak bonus demografi Indonesia yang diperkirakan akan terjadi pada tahun 2030, diperlukan pertumbuhan kewirausahaan yang signifikan untuk mengatasi tantangan ini. Namun, pertumbuhan usaha di Indonesia masih sangat rendah, dan pendapatan per kapita pun baru mencapai sekitar $5.000 per tahun.

Selanjutnya, guru besar Unhas ini menyampaikan pentingnya literasi keuangan syariah yang menurut survei OJK 2023 baru mencapai 39%. Meskipun sudah ada berbagai sosialisasi mengenai ekonomi Islam, namun tingkat inklusi masih rendah, hanya sekitar 12%. Potensi zakat yang besar, yakni 323 triliun rupiah, pun baru terkumpul sekitar 10% saja menandakan bahwa tantangan ekonomi umat masih sangat besar.

Salah satu penyebab rendahnya penerimaan masyarakat terhadap ekonomi syariah, menurutnya adalah pengaruh psikologi kognitif, khususnya heuristik “anchoring and adjustment.” Ia menjelaskan bahwa keyakinan awal (initial belief) yang tertanam dalam masyarakat, seperti anggapan bahwa jual beli sama saja dengan riba, telah menjadi hambatan psikologis yang sulit diubah. Untuk mengatasi hambatan ini, diperlukan pendekatan yang lebih dalam daripada sekadar sosialisasi.

Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Abdul Habbe juga menekankan pentingnya kemandirian bagi para lulusan. Ia menekankan bahwa pengalaman hidup di pesantren selama kuliah adalah latihan kemandirian yang berharga. Kemandirian ini akan lebih terasah ketika mereka ditempatkan di daerah-daerah selama program Tebar Dai Nusantara. Selain itu, ia juga menekankan pentingnya jaringan sosial, baik dalam level individu maupun korporasi yang dapat menjadi faktor kunci dalam membuka rezeki dan memperluas peluang usaha.

Sesepuh Wahdah Islamiyah tersebut menutup orasinya dengan penekanan pada dua jenis rezeki yang sering disebut dalam Islam: rezeki yang dapat diprediksi (predictable income) dan rezeki yang tidak dapat diprediksi (unpredictable income). Menurutnya, selain bekerja keras dan berusaha, keyakinan kepada Allah serta menjaga silaturahim juga menjadi modal utama dalam meraih rezeki yang tak terduga.

Melalui orasi ini, Prof. Dr. Abdul Hamid Habbe memberikan panduan praktis dan strategis kepada para wisudawan dalam menghadapi dunia kerja dan tantangan ekonomi yang semakin kompleks, sembari menekankan pentingnya nilai-nilai kemandirian, jaringan sosial, dan keyakinan yang kuat dalam menjalani kehidupan.

Loading