
(STIBA.ac.id) Makassar — Dalam Tablig Akbar Tebar Dai Nusantara 2025 di Kampus IAI STIBA Makassar, Pemimpin Umum Wahdah Islamiyah yang juga salah satu tokoh pendiri STIBA, Dr. K.H. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc., M.A. menyampaikan klarifikasi tentang pertemuannya dengan Presiden Prabowo Subianto di tengah situasi kerusuhan yang terjadi belakangan ini. Dengan tegas namun santun, beliau merespons berbagai sinisme dan kritik yang muncul di masyarakat.
Kronologi Pertemuan: Inisiatif dari Ulama, Bukan Panggilan Darurat
Ustaz Zaitun menjelaskan bahwa pertemuan dengan Presiden bukanlah respons reaktif terhadap kerusuhan, melainkan inisiatif yang sudah direncanakan sejak lama.
“Pertemuan itu inisiatifnya dari kami, dari pimpinan-pimpinan ormas Islam yang sejak beberapa waktu lalu mencari jalan untuk bisa bertemu dengan Presiden membicarakan masalah Palestina,” jelasnya di hadapan ratusan jemaah.
Yang menarik, pesan untuk bertemu dengan Presiden baru sampai pada hari Kamis, sedangkan kerusuhan terjadi pada hari Jumat.
“Presiden serta-merta mengatakan ketemu besok Sabtu,” ungkap Ustaz Zaitun.
Merespons Sindiran “Pemadam Kebakaran”
Dengan analogi yang mudah dipahami, Ustaz Zaitun menanggapi kritik bahwa ulama hanya dijadikan “pemadam kebakaran” saat situasi memanas.
“Ada yang bilang, ‘Ustaz, ketua ormas para ulama coba dijadikan pemadam kebakaran.’ Saya jawab dengan gampang, memang ulama tidak boleh ikut memadamkan kebakaran kalau terjadi kebakaran?”
Beliau melanjutkan dengan contoh yang konkret, “Misalnya ada kepala desa kurang menyapa kita. Bahkan kadang-kadang kepala desa itu menzalimi kita. Lalu ada kebakaran, kita diminta ikut memadamkan. Apa kita bilang? Ah, biarkan saja. Begitu sikap orang Islam? Apalagi ulama tentu tidak.”
Prinsip Ahlussunnah wal Jamaah dalam Berpolitik
Ustaz Zaitun menegaskan bahwa sikap tersebut berakar dari manhaj Ahlussunnah wal Jamaah.
“Ahlussunnah wal Jamaah mengajarkan pada kita bahwa andaikan pun kita terzalimi tetapi kita bisa melakukan kebaikan, maka kita harus melakukan kebaikan itu. Kita tidak menyimpan dendam, karena kita selalu dituntut syariat.”
Beliau menyinggung teladan ulama klasik, seperti Imam Ahmad rahimahullah yang tetap tidak memusuhi khalifah meski pernah disiksa. Ketika murid-muridnya mengajak memberontak, Imam Ahmad berkata, “Bukan begitu yang diperintahkan kepada kita.”
Lebih dari Sekadar Menenangkan Situasi
Ustaz Zaitun menegaskan bahwa pertemuan tersebut bukan hanya untuk menenangkan keadaan, melainkan juga untuk memberikan masukan dan nasihat kepada Presiden.
“Kami bertemu Presiden bukan semata-mata untuk menenangkan, bukan semata-mata memberi efek positif menenangkan situasi, di samping tujuan utama menyampaikan masalah Palestina. Tapi kami juga memberikan masukan, memberikan nasihat kepada beliau.”
Pentingnya Memperkuat Posisi Pemimpin
Dengan perspektif fikih yang mendalam, Ustaz Zaitun menjelaskan mengapa memperkuat posisi kepala negara itu penting.
“Kalau pemimpin kita, dengan segala kekurangan atau kelebihannya, mengalami masalah, mengalami keguncangan atau mendapatkan ketidakpercayaan, itu keadaan sangat berbahaya. Bisa terjadi fitnah yang lebih besar lagi.”
Beliau mengutip pandangan para ulama, “Para ulama kita menjelaskan bahwa adanya pemimpin yang banyak kekurangan atau ada kezaliman itu lebih baik daripada tidak ada pemimpin.”
Presiden Sudah Menunjukkan Itikad Baik
Ustaz Zaitun juga mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo sebenarnya sudah beberapa kali mengirim sinyal ingin bertemu dengan tokoh umat dan para ulama.
“Presiden Prabowo itu sudah mengirim sinyal beberapa kali ingin bertemu dengan tokoh-tokoh umat dan para ulama. Saya sendiri sebagai saksi, Menteri Pertahanan Pak Syafri Syamsuddin mengirim utusan menemui saya beberapa bulan lalu.”

Pesan untuk Para Dai di Daerah
Secara khusus, Ustaz Zaitun membekali 464 dai yang akan bertugas di daerah untuk menghadapi pertanyaan serupa.
“Para dai kita yang akan bertugas nanti ke daerah, sampai di sana kemudian dibilang, ‘Dari mana?’ ‘Dari Wahdah.’ ‘Oh, dari Wahdah yang kemarin ketua umumnya ikut ketemu Presiden ya, dijadikan pemadam kebakaran saja.’”
Beliau menyarankan para dai menjawab dengan lembut, “Dijawab dengan bertanya, jangan marah-marah. Jangan bilang sok tahu. Jawab dengan baik, dengan lembut. Bahwa kalau bisa ikut memadamkan kebakaran, bukankah itu kebaikan?”
Prinsip: Berbaik Sangka dan Amal Saleh
Ustaz Zaitun menekankan prinsip dasar yang harus dipegang para dai, “Kita di sini sebagai orang Islam, apalagi sebagai pemimpin Islam, sebagai dai, kita selalu berbaik sangka dan selalu berusaha beramal saleh, berbuat kebaikan, apalagi yang menyangkut keselamatan umat, bangsa, dan negara kita.”
Intinya: Ulama Harus Berani Ambil Sikap
Klarifikasi Ustaz Zaitun ini memberi perspektif penting tentang peran ulama dalam situasi politik yang kompleks. Beliau menunjukkan bahwa ulama tidak boleh apatis terhadap kondisi bangsa, bahkan ketika harus berhadapan dengan kritik dan sinisme.
Sikap ini mencerminkan kedewasaan berpolitik dan komitmen terhadap kemaslahatan umat, bukan popularitas sesaat. Bagi para dai yang akan bertugas di daerah, penjelasan ini menjadi bekal penting dalam menghadapi berbagai pertanyaan dan tantangan dari masyarakat.
Pada akhirnya, pertemuan dengan Presiden bukan tentang “pemadam kebakaran” atau “pendorong mobil mogok”, melainkan tentang kewajiban seorang Muslim—terlebih ulama—untuk selalu berbuat kebaikan demi kemaslahatan bersama.