Penulis: admin

  • Tiga Hari Seru Belajar Bahasa Arab: Mahasiswa IAI STIBA Makassar Asal Bone Pulang Kampung Mengajar

    Tiga Hari Seru Belajar Bahasa Arab: Mahasiswa IAI STIBA Makassar Asal Bone Pulang Kampung Mengajar

    (STIBA.ac.id) Bone –  Enam anak muda hebat, mahasiswa IAI STIBA Makassar “pulang kampung” ke Pondok Pesantren Ibnu Qayyim Wahdah Islamiyah. Namun bukan sekadar bermain-main, mereka datang dengan misi mulia: berbagi ilmu bahasa Arab selama tiga hari penuh, 18–20 Agustus 2025.

    Yang membuat spesial, kebanyakan dari mereka adalah alumni pesantren ini juga. Jadi suasananya seperti kakak-kakak yang sudah sukses kuliah, lalu pulang lagi untuk mengajari adik-adiknya.

    Misi: Membuat Bahasa Arab Jadi Asyik!

    Para kakak dari mahasiswa IAI STIBA Makassar ini punya tujuan yang jelas, membuat para santri semakin cinta terhadap bahasa Al-Qur’an. Bukan sekadar hafal kosakata, tetapi benar-benar menjiwai bahasa yang satu ini.

    Bayangkan, kalau sudah mahir bahasa Arab, otomatis lebih percaya diri untuk berkomunikasi. Selain itu, semakin semangat juga untuk mendalami ilmu-ilmu agama. Situasi saling menguntungkan.

    Agenda Padat tapi Seru Habis

    Mulai Senin pagi, kegiatan langsung dimulai dengan pembukaan oleh Ustaz Nasruddin, S.Pd.I. selaku pimpinan pondok. Lalu jadwalnya padat sekali:

    Yang membuat antusias: ada sesi percakapan bahasa Arab menggunakan kitab Bayna Yadaik jilid 1. Tim pengajar unggulannya terdiri dari Muh. Aufin, Mujahid Rabbani, Andi Haffar, Syahrul Ramadhani, Muh. Syawal, dan Qasmin Al-Fikri.

    Untuk yang suka tata bahasa, ada materi Ilmu Nahwu yang diajarkan oleh trio andalan, Muh. Aufin, Andi Haffar, dan Qasmin Al-Fikri.

    Malam hari juga tidak membosankan, ada taklim bakda Magrib hingga Isya yang temanya relevan sekali:

    • Senin malam: Andi Haffar (yang sudah semester 5 jurusan Perbandingan Mazhab) membahas “Keutamaan Mempelajari Bahasa Arab”.
    • Selasa malam: Qasmin Al-Fikri mengangkat tema “Mengarungi Lautan Alfiyah”

    Testimoni yang Membuat Haru

    Fatih Farras (salah satu peserta) mengatakan, “Alhamdulillah, senang bisa mengikuti daurah bahasa Arab. Banyak manfaat yang didapat, seperti mengenal ism isyarah, menambah ilmu tentang sirah, latihan percakapan bahasa Arab, serta bisa bertemu kakak alumni. Semoga kegiatan ini bisa diadakan kembali tahun depan.”
    Terasa antusiasnya, ia bahkan sudah berharap ada lagi tahun depan.

    Ustaz Agustan, S.Pd. selaku Wakil Pimpinan Pesantren juga tidak bisa menyembunyikan kebanggaannya, “Alhamdulillah, jazaakumullahu khairan kepada ikhwan STIBA asal Bone yang telah melaksanakan daurah ini. Kami selaku pembina sangat senang karena kegiatan ini bermanfaat untuk berbagi ilmu, melatih diri menjadi dai, dan mengisi waktu liburan dengan hal-hal positif.”

    Qasmin Al-Fikri, ketua panitia yang tampaknya sangat bersemangat terhadap bahasa Arab, mengatakan, “Mempelajari bahasa Arab adalah bagian dari agama. Sebagaimana ucapan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, bahasa Arab merupakan sarana memahami agama kita, sehingga kita bisa menjadi hamba yang beriman dan bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

    Daurah tiga hari ini bukan sekadar acara biasa. Ini adalah bukti bahwa generasi muda Islam Indonesia masih peduli pada pendidikan dan tradisi ilmu. Para kakak mahasiswa IAI STIBA Makassar yang rela meluangkan waktu liburannya, para santri yang antusias belajar, dan para ustaz yang mendukung penuh, semuanya menjadi mosaik yang sempurna.

    Yang paling menghangatkan hati, bukan selamat tinggal, tapi sampai jumpa tahun depan! Karena kegiatan seperti ini seharusnya menjadi tradisi yang terus berlanjut.

    Apresiasi setinggi-tingginya untuk semua yang terlibat. Kalian sudah menjadi bukti nyata bahwa belajar bahasa Arab bisa seru dan bermakna pada saat yang bersamaan!

    Ditulis ulang dari laporan Qasmin Al-Fikri

  • Dua Wisudawan Terbaik: Khaerul dan Alfhabean, Bukti Anak Muda Bisa Bersinar di Banyak Bidang

    Dua Wisudawan Terbaik: Khaerul dan Alfhabean, Bukti Anak Muda Bisa Bersinar di Banyak Bidang

    (STIBA.ac.id) Makassar  – Wisuda VIII IAI STIBA Makassar di Ballroom Hotel Four Points (Sabtu, 16/8/2025) jadi momen yang mengharukan sekaligus membawa rasa bangga. Di tengah suasana khidmat, dua nama diumumkan sebagai mahasiswa terbaik dan langsung mencuri perhatian: Khaerul Ahmad dan Alfhabean Mahdani.
    Keduanya membuktikan satu hal: prestasi akademik dan nonakademik itu bisa jalan bareng, bahkan saling melengkapi.

    Khaerul Ahmad: Dari 20 Ayat ke 30 Juz, plus Segudang Prestasi

    Ceritanya mungkin terdengar sederhana, tapi justru di situlah kerennya. Khaerul, pemuda asal Sebatik, Kalimantan Utara, memulai hafalan Al-Qur’annya cuma dengan modal sekitar 20 ayat Surah Al-Baqarah dan beberapa surah di Juz 30. Tapi siapa sangka, sekarang dia sudah menuntaskan hafalan 30 juz penuh dan bahkan dapat sertifikat resmi hafalan Al-Qur’an pada momen Ramah Tamah Wisudawan.

    Prestasinya makin lengkap dengan gelar Mahasiswa Terbaik Akademik di wisuda kali ini. Tapi bukan itu saja, pada Yudisium IX, Khaerul juga keluar sebagai Yudisium Terbaik I. Ditambah lagi, dia dianugerahi sebagai Duta Positif Vibes STIBA, gelar yang sangat cocok bagi kepribadiannya yang selalu menyemangati teman-temannya.

    Soal perjalanan hafalan, tentu tidak mudah. Hidup di asrama, bangun Subuh tiap hari, harus pintar bagi waktu antara kuliah, organisasi, dan target hafalan. Untungnya, dia bertemu partner setoran harian, Irham Hajar, yang membuat perjalanannya tidak sepi.
    “Lingkungan STIBA itu sangat mendukung. Dari situlah saya bisa lebih dekat dengan ilmu dan Al-Qur’an, dua hal yang membuat hidup lebih terarah,” cerita Khaerul.

    Selain hafalan, Khaerul juga sering juara di ajang kampus. Dari Mahasiswa Teladan Semester Ganjil, Peserta Terbaik Daurah 10 Hari Menghafal Qur’an, sampai juara lomba di Porsani. Masyaallah.

    Alfhabean Mahdani: Si Multitalenta yang Aktif di Mana-Mana

    Kalau Khaerul fokus menginspirasi lewat hafalan Qur’an, Alfhabean Mahdani tampil sebagai sosok multitalenta dengan segudang prestasi di banyak bidang. Alumni Prodi Perbandingan Mazhab ini sudah terbiasa memadukan prestasi akademik dengan skill organisasi dan dakwah.

    Dengan nilai mumtaz (istimewa), Alfhabean dapat beasiswa penuh sejak awal kuliah. Tapi tidak berhenti di situ, prestasi nonakademiknya juga keren. Dari Juara I lomba PMI Provinsi Lampung (2015), Juara II pidato Sulsel (2023), sampai puncaknya Juara II Qira’atu Syi’ir Nasional (2024) di ajang Bulan Bahasa Arab Dunia.

    Saat masih di semester 5 dan 6, Alfhabean adalah Ketua Umum Dema STIBA, dan tetap aktif di dakwah: jadi imam di dua masjid (Masjid Nurul Badar Ujung Bori dan Masjid Anas bin Malik STIBA), Ketua TPQ Nur Khamilah Sudiang, bahkan masih sempat menerjemahka buku! Salah satunya 100 Hadis dari Kitab al-Adab al-Mufrad yang dipakai banyak mahasiswa untuk taklim.

    “Alhamdulillah, Allah kasih kesempatan memimpin organisasi dan belajar menciptakan kerja sama yang harmonis. Harapannya, saya bisa jadi teladan di tengah masyarakat dan motivator buat orang-orang di sekitar saya,” ungkapnya.
    Pengalaman paling manis? Saat jadi imam tetap di Masjid Anas bin Malik dan tiba-tiba Allah beri hadiah umrah dari salah satu jemaah.

    Dua Jalan, Satu Semangat

    Khaerul dan Alfhabean mungkin punya jalannya masing-masing, satu fokus di hafalan Al-Qur’an, satu lagi sibuk dengan organisasi dan dakwah, tapi semangatnya sama: menebar manfaat untuk umat.
    Khaerul akan melanjutkan pengabdiannya di STIBA, khususnya di Bagian Asrama dan Pembinaan Qur’an. Sedangkan Alfhabean siap melanjutkan kiprah dakwahnya, juga dengan rencana mengabdi di STIBA setelah lulus.

    Ketika penghargaan mereka diserahkan langsung oleh Rektor IAI STIBA Makassar, Ustaz Akhmad Hanafi Dain Yunta, Lc., M.A., Ph.D., tepuk tangan memenuhi ballroom. Bukan sekadar bangga, tapi juga haru, karena dua nama ini adalah bukti nyata misi STIBA: melahirkan generasi Qur’ani yang siap memimpin dan berdakwah.

    Inspirasi Buat Generasi Berikutnya

    Dari Khaerul kita belajar bahwa awal yang kecil bisa berakhir luar biasa kalau tekadnya kuat. Dari Alfhabean kita paham bahwa multitalenta itu mungkin, asal konsisten dan ikhlas.
    Dua mahasiswa terbaik STIBA ini bukan cuma membuat bangga keluarga, tapi juga jadi motivasi buat adik-adik tingkat: “prestasi akademik + nonakademik? Sangat bisa!”

    Selamat untuk Khaerul Ahmad dan Alfhabean Mahdani, dua nama yang bukan cuma akan dikenang di momen wisuda, tapi juga dalam perjalanan dakwah panjang setelah ini.

  • Pemimpin Umum Wahdah Islamiyah: Orang Tua Jangan Pilih Kasih, Dukung Anak Jadi Dai Bukan Hanya Cari Materi

    Pemimpin Umum Wahdah Islamiyah: Orang Tua Jangan Pilih Kasih, Dukung Anak Jadi Dai Bukan Hanya Cari Materi

    (STIBA.ac.id) Makassar – Pemimpin Umum Wahdah Islamiyah, Dr. K.H. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc., M.A. mengkritik sikap sebagian orang tua yang lebih mendukung anak menempuh pendidikan umum ketimbang menjadi dai. Dalam orasi di wisuda IAI STIBA Makassar ke-8, Sabtu (16/8/2025), ia meminta orang tua tidak bersikap pilih kasih dan memberikan dukungan penuh kepada anak-anak yang memilih jalan dakwah.

    Kritik Terhadap Sikap Diskriminatif Orang Tua

    “Sayang di masyarakat kita, kalau ada anaknya yang alumni dalam kaitan ilmu-ilmu dunia akan di-support, bahkan kalau perlu kasih modal untuk S-2 lagi atau bekerja. Tapi seorang dai tidak mendapat support dari orang tuanya,” kata Ustaz Zaitun dengan nada kritis.

    Pemimpin ormas Islam Wahdah Islamiyah yang berpusat di Sulawesi Selatan ini menilai sikap tersebut sebagai bentuk ketidakadilan dalam keluarga.

    “Jangan kita tidak adil. Jangan menjadi orang tua yang tidak adil karena harapan duniawi,” tegasnya di hadapan ratusan orang tua wisudawan STIBA.

    Ia menguraikan ironi yang terjadi di masyarakat, “Kalau ada anak-anak yang bekerja, kita modali mereka karena berharap kembali nanti dia akan memberikan materi pada kita. Sementara anak-anak kita yang luar biasa menjadi kemuliaan di dunia dan keselamatan di akhirat, kita tidak beri support.”

    Dampak Materialisme Terhadap Prioritas Keluarga

    Ustaz Zaitun menilai sikap diskriminatif ini lahir dari jebakan materialisme yang telah merasuk dalam masyarakat.

    “Ini karena kita masih di dalam jebakan dan lilitan materialisme yang begitu jauh merasuk dalam diri kita. Semuanya dikaitkan dengan materi dan tawakal kita begitu lemah,” jelasnya.

    Ia menekankan bahwa sikap seperti ini seharusnya tidak terjadi pada keluarga yang telah mendidik anaknya di institusi pendidikan Islam.

    “Kalau ini terjadi pada selain mahasiswa yang sejak awal dididik sedemikian rupa untuk menjadi ulama, untuk calon ulama, menjadi thalabatul ilm, menjadi duat, mungkin bisa dimaklumi. Tapi Bapak dan Ibu tahu bagaimana putra-putrinya di STIBA disiapkan untuk menjadi pelopor-pelopor kebaikan,” kata Ustaz Zaitun.

    Kisah Inspiratif Dai yang Sukses

    Untuk menepis kekhawatiran orang tua tentang masa depan duniawi anak-anak yang memilih menjadi dai, Ustaz Zaitun menceritakan berbagai kisah inspiratif para dai Wahdah Islamiyah yang sukses.

    “Ada beberapa dai kita yang dikirim ke beberapa wilayah di Indonesia, hampir bisa dikatakan dengan baju di badan saja bekalnya. Dan kita pun hanya saat itu memberikan kafalah seadanya. Tapi mereka berangkat dengan tekad dakwah, tekad perjuangan. Dan di sana selain mereka berhasil dakwahnya, mereka mendapatkan kehidupan duniawinya. Mereka punya rumah, mereka punya kendaraan. Dan karena kebanyakan anak muda dikirim mendapatkan jodoh yang mereka sangat syukuri,” cerita Ustaz Zaitun.

    Realitas Pahit dalam Masyarakat

    Ustaz Zaitun mengungkapkan keprihatinannya terhadap realitas yang terjadi di masyarakat. “Kami tahu ada orang tua yang tidak mau berpisah dengan anaknya. Kalau benar-benar emergensi tentu kita tidak paksakan. Tapi bukankah Bapak dan Ibu juga mau jadi pejuang? Dan siapa yang mendukung pejuang, dia adalah pejuang. Kemuliaan itu ada pada Bapak dan Ibu juga,” katanya.

    Ia juga mempertanyakan komitmen masyarakat terhadap kemajuan Islam. “Lantas kapan kita ingin Islam ini jaya? Islam ini maju dan kapan kita bisa bersama-sama mengatasi segala kemungkaran yang sekarang terjadi meraja lela?” tanya Ustaz Zaitun retoris.

    Jaminan Rezeki dari Allah

    Meskipun mengakui tidak semua dai mengalami kemudahan hidup, Ustaz Zaitun menegaskan bahwa Allah menjamin rezeki bagi mereka yang berjuang di jalan-Nya.

    “Ada dai kami juga yang kami kirim ke beberapa tempat, keadaan ekonominya biasa-biasa. Bahkan ada salah seorang di antara mereka mau pergi khotbah Jumat kemudian terjadi kecelakaan motor dan wafat syahid di jalan Allah. Itu bisa terjadi secara keduniaan, kelihatan biasa-biasa. Tapi Allah berikan kemuliaan, dia mendapatkan syahadah di jalan Allah,” jelasnya.

    Respons Positif Orang Tua

    Ketika ditanya kesediaan mereka mendukung anak-anak menjadi dai, para orang tua yang hadir dalam acara wisuda kompak menjawab “Siap!” dengan suara lantang. Respons ini disambut takbir “Allahu Akbar” dari seluruh peserta.

    “Jadi kalau nanti ada anaknya tidak mau dikirim, Bapak saja saya kirim,” canda Ustaz Zaitun yang disambut tawa dan bahkan ada yang mengangkat tangan di antara orang tua, menandakan kesediaan mereka.

    Ajakan Refleksi Mendalam

    Dalam penutupan pesannya, Ustaz Zaitun mengajak para orang tua melakukan refleksi mendalam. “Terpulang pada kita, Bapak dan Ibu, adakah kita mau untuk meneruskan nikmat Allah ini, karunia ini? Atau kita akan mundur? Dan kalau kita mundur, nauzubillah, mundur kepada hal yang buruk,” katanya.

    Ia menegaskan bahwa dukungan orang tua sangat penting dalam melahirkan generasi dai yang kuat. “Bantulah mereka. Kami dari lembaga juga berusaha untuk membantu pembinaan mereka. Tapi bantulah mereka. Jangan kita tidak adil,” pungkas Ustaz Zaitun.

    Orasi ini mendapat respons positif dari para orang tua yang hadir, menunjukkan komitmen mereka untuk mendukung anak-anak yang memilih jalan dakwah, meskipun tantangan materialisme masih menjadi ujian tersendiri dalam masyarakat modern.

  • Wali Kota Makassar Apresiasi Kontribusi STIBA dalam Pembangunan Karakter dan Nilai Spiritual

    Wali Kota Makassar Apresiasi Kontribusi STIBA dalam Pembangunan Karakter dan Nilai Spiritual

    (STIBA.ac.id) Makassar  – Pemerintah Kota Makassar memberikan apresiasi tinggi terhadap peran IAI STIBA Makassar dalam kontribusinya bagi pembangunan umat dan penguatan pendidikan keagamaan di kota metropolitan ini.

    Hal tersebut disampaikan Staf Ahli Bidang Pemerintahan, Hukum, dan Politik Akhmad Namsun, S.Ag., M.M. yang mewakili Wali Kota Makassar H. Munafri Arifuddin, S.H. dalam acara Wisuda  VIII IAI STIBA Makassar.

    “Pemerintah Kota Makassar sangat mengapresiasi peran dan keberadaan STIBA yang tidak sedikit dalam kontribusinya dalam rangka pembangunan umat, penguatan kekuatan umat, dan tentu pengembangan pendidikan keagamaan yang ada di Makassar,” ujar Namsun dalam sambutannya.

    Dalam kesempatan yang sama, hadir pula sejumlah tokoh penting seperti anggota DPRD Makassar, Azwar Rasmin, S.T. dan tokoh masyarakat lainnya yang turut memberikan dukungan terhadap kegiatan wisuda tersebut.

    Wisuda Sebagai Awal Perjuangan Baru

    Namsun menekankan kepada para wisudawan dan wisudawati bahwa momen wisuda bukan merupakan akhir dari proses perjuangan ilmu, melainkan awal dari pergerakan nyata untuk memajukan dan mengembangkan kemampuan yang telah diperoleh.

    “Wisuda hari ini bukan akhir dari proses perjuangan ilmu yang anak-anakku dapat, tapi hari ini adalah awal bergeraknya dari apa yang dimiliki untuk memajukan, mengembangkan kemampuan yang ada,” tegasnya.

    Pemerintah kota berharap para lulusan dapat merawat Kota Makassar dengan baik melalui kemampuan dan keilmuan yang telah dimiliki, serta berkontribusi dalam menjadikan Makassar sebagai kota yang beradab dan bernuansa agama.

    Visi Pembangunan Karakter dan Spiritual

    Dalam sambutan tertulisnya, Wali Kota Makassar menyatakan bahwa STIBA Makassar telah membuktikan diri sebagai salah satu institusi pendidikan Islam yang konsisten melahirkan generasi muda yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat dalam akhlak dan komitmen dakwah.

    “Hal ini sangat sejalan dengan visi pembangunan Kota Makassar yang tidak hanya bertumpu pada pembangunan fisik, tetapi juga pada pembangunan karakter dan nilai-nilai spiritual masyarakat,” bunyi sambutan wali kota.

    Para lulusan diharapkan dapat menjadi agen perubahan yang akan berperan sebagai dai, guru, pemikir, penggerak sosial, dan panutan di tengah-tengah masyarakat.

    Tantangan dan Harapan ke Depan

    Wali kota mengakui bahwa tugas yang diemban para lulusan tidaklah ringan, namun dengan bekal ilmu, iman, dan integritas, diharapkan mereka mampu menghadapi berbagai tantangan dengan penuh kebijaksanaan.

    Apresiasi juga disampaikan kepada para orang tua dan keluarga atas keberhasilan putra-putri mereka, dengan menekankan bahwa jerih payah dan doa yang tulus menjadi bagian penting dalam kesuksesan tersebut.

    Sinergi untuk Makassar Religius dan Berbudaya

    Menutup sambutannya, wali kota mengajak semua pihak untuk terus bersinergi membangun Makassar sebagai kota yang religius, berbudaya, dan berkemajuan.

    “Semoga STIBA Makassar senantiasa menjadi cahaya ilmu dan peradaban yang terus bersinar bagi umat seluruhnya,” pungkas H. Munafri Arifuddin dalam sambutan tertulisnya.

    Acara wisuda tersebut dihadiri oleh berbagai kalangan termasuk tokoh masyarakat, pejabat pemerintah daerah, dan keluarga para wisudawan yang turut merayakan pencapaian akademik para lulusan STIBA Makassar.

  • Wisuda IAI STIBA Makassar ke-8 Bertepatan Dirgahayu RI ke-80: Pemimpin Wahdah Islamiyah Serukan Solidaritas Gaza dan Misi Dakwah Alumni

    Wisuda IAI STIBA Makassar ke-8 Bertepatan Dirgahayu RI ke-80: Pemimpin Wahdah Islamiyah Serukan Solidaritas Gaza dan Misi Dakwah Alumni

    (STIBA.ac.id) Makassar  – Institut Agama Islam STIBA Makassar menggelar Wisuda ke-8 yang bertepatan dengan peringatan Dirgahayu Kemerdekaan RI ke-80, Jumat (16/8/2025). Dalam amanatnya, Pemimpin Umum Wahdah Islamiyah, Dr. K.H. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc., M.A., menyerukan solidaritas untuk Gaza sambil mengingatkan para alumni akan misi dakwah mereka.

    Momentum Kemerdekaan dan Tanggung Jawab Umat

    Ustaz Zaitun menekankan bahwa bertepatan dengan momentum kemerdekaan bukanlah kebetulan, melainkan pengingat akan amanat kemerdekaan yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

    “Proklamasi kemerdekaan kita berdasarkan pada rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Ini konsep yang sangat islami,” ujar pemimpin Wahdah Islamiyah tersebut.

    Ia menjelaskan bahwa salah satu amanat kemerdekaan adalah menjaga perdamaian dunia, yang menjadi relevan di tengah kondisi Gaza, Palestina saat ini.

    “Hari ini kita wisuda di tengah-tengah keadaan yang sangat memprihatinkan di Gaza, Palestina,” tambahnya sambil mengenakan syal Palestina dan ikat kepala bertuliskan “Save Gaza”

    Seruan Solidaritas untuk Gaza

    Dalam orasinya, Ustaz Zaitun mengkritik keras sikap dunia internasional terhadap kondisi Gaza. “Dari delapab miliar penduduk dunia, dua miliar di antaranya muslim, tapi keadaan sangat parah. Dunia sedang sakit parah ketika delapan miliar jadi penonton ribuan, puluhan ribu orang dibantai,” katanya dengan nada prihatin.

    Ia menegaskan bahwa para ulama dan penuntut ilmu memiliki kewajiban waktu (wajibul waqt) untuk peduli terhadap penderitaan sesama. “Sudah menjadi kewajiban bagi para ulama dan para penuntut ilmu untuk selalu paling peduli terhadap penderitaan sesama baik sesama muslim, sesama mukmin, bahkan sesama manusia,” tegas Ustaz Zaitun.

    Puncak acara diwarnai dengan yel-yel solidaritas yang diserukan bersama seluruh peserta wisuda.

    “Hentikan genosida, selamatkan Gaza, Palestina merdeka,” teriak para wisudawan, orang tua, dan tamu undangan secara serentak. Yel-yel juga diucapkan dalam bahasa Inggris dan Arab: “Stop genocide, safe Gaza, free Palestine” dan “Waqqiful ibadah al-jama’iyah, anqidzu ghazzah, Palestina hurrah.”

    Misi Dakwah untuk Alumni STIBA

    Kepada ratusan wisudawan dan wisudawati, Ustaz Zaitun menyampaikan tantangan berat yang menanti mereka.

    “Begitu saudara-saudari diwisuda, maka saudara-saudari adalah pemimpin-pemimpin umat yang harus terdepan dalam membela kepentingan umat, termasuk pembelaan terhadap Gaza Palestina,” pesannya.

    Ia membagi alumni menjadi empat kategori berdasarkan pengamalan ilmu:

    1. Yang terbaik: Menjadi dai terorganisir yang menjadikan dakwah sebagai pilihan utama
    2. Kedua: Berdakwah secara individual meski tidak ideal
    3. Ketiga: Tidak berdakwah tapi menjaga ibadah pribadi
    4. Keempat: Yang paling buruk, cenderung pada dunia dan mengikuti hawa nafsu

    “Yang terbaik dari thalabatul ilm adalah menjadi dai terorganisir. Pengorganisasian bisa besar bisa kecil, tapi ketika besar bisa lebih besar efeknya,” jelas Ustaz Zaitun.

    Program Pengabdian sebagai ‘Zakatul Ilm’

    Institut STIBA telah menetapkan program pengabdian selama setahun bagi para alumninya sebagai “zakatul ‘ilm” atau zakat ilmu pengetahuan. Para alumni akan ditempatkan di berbagai daerah untuk melaksanakan misi dakwah.

    “Tanggal 7 September nanti akan ada pemberangkatan. Jarak dari sekarang ke 7 September kurang lebih tiga pekan, jangan sampai belum siap,” pesan Ustaz Zaitun kepada para wisudawan.

    Ia juga memberikan contoh inspiratif tentang Ustaz Aswanto, seorang dai Wahdah yang dikirim ke Aceh.

    “Ketika orang tuanya sembuh, ia datang melapor siap berangkat. Di Aceh, selain dakwahnya berhasil, ia juga mendapat rezeki dunia yang baik termasuk rumah dai dan kesempatan S-2 ke Timur Tengah,” cerita Ustaz Zaitun.

    Dukungan Orang Tua

    Dalam kesempatan tersebut, Ustaz Zaitun juga meminta dukungan penuh dari orang tua para wisudawan. “Berilah dukungan pada anak-anaknya yang sekarang telah terpilih di jalan Allah Subhanahu wa taala,” pesannya.

    Ia mengkritik kecenderungan orang tua yang lebih mendukung anak kuliah umum ketimbang ilmu agama. “Sayang di masyarakat kita, kalau ada anaknya alumni ilmu dunia akan di-support, tapi seorang dai tidak mendapat support dari orang tuanya. Lantas kapan kita ingin Islam ini jaya?” tanyanya retoris.

    Ketika ditanya kesediaan para orang tua untuk mendukung anak-anak mereka menjadi dai, mereka menjawab kompak: “Siap!” yang disambut takbir “Allahu Akbar” dari seluruh peserta.

    Visi Indonesia Emas 2045

    Terkait visi Indonesia Emas 2045, Ustaz Zaitun menekankan pentingnya pembangunan jiwa, bukan hanya fisik. “2045 tidak akan terwujud sebagai Indonesia emas kalau kita tidak berhasil membangun jiwanya. Kalau hanya raganya, bukan emas yang kita dapatkan, tapi kuning berkilau yang palsu,” kritiknya.

    Wisuda IAI STIBA Makassar VIII ini dihadiri berbagai tokoh termasuk pejabat pemerintah, pengurus Wahdah Islamiyah pusat, serta tamu dari perbankan syariah.

    Acara ini pun ditutup dengan nuansa yang bukan hanya penuh rasa syukur, tapi juga semangat dakwah dan kepedulian kemanusiaan yang melintasi batas negeri.

  • Wakil Koordinator Kopertais Wilayah VIII: IAI  STIBA Makassar Nomor Satu di Antara 72 Perguruan Tinggi Islam di Wilayah Sulawesi, Maluku, Papua

    Wakil Koordinator Kopertais Wilayah VIII: IAI  STIBA Makassar Nomor Satu di Antara 72 Perguruan Tinggi Islam di Wilayah Sulawesi, Maluku, Papua

    (STIBA.ac.id) Makassar  – Wakil Koordinator Kopertais Wilayah VIII Sulawesi, Maluku, dan Papua, Prof. Dr. K.H. Hamzah Harun Al Rasyid, Lc., M.A., memuji pencapaian Institut Agama Islam STIBA Makassar yang dinilainya berada di posisi teratas di antara 72 perguruan tinggi Islam di wilayah tersebut. Apresiasi ini disampaikan dalam sambutan pada acara Wisuda VIII IAI STIBA Makassar, Sabtu (16/8/2025).

    STIBA Dinobatkan Sebagai yang Terbaik

    “Tentu dari 72 perguruan tinggi yang ada di Wilayah VIII, saya berani mengatakan IAI STIBA Makassar berada pada nomor wahid (satu),” tegas Prof. Hamzah di hadapan ratusan wisudawan, orang tua, dan tamu undangan.

    Pujian tersebut didasarkan pada pengamatan langsung Prof. Hamzah terhadap kualitas akademik mahasiswa STIBA.

    “Saya melihat bahwa dari sisi kualitas pembinaan mahasiswa luar biasa. Ketika kami menghadiri ujian munaqasyah, hampir seluruh materi yang dibahas mahasiswanya up to date semua. Susah kita dapatkan di perguruan tinggi lain,” ungkapnya.

    Bebas dari Plagiasi dan Berkualitas Tinggi

    Prof. Hamzah menyoroti keunggulan mahasiswa STIBA dalam mempertahankan karya ilmiah mereka.

    “Ini berarti bahwa sangat jauh dari sistem plagiasi. Bukan hanya dari sisi kemampuan mempertahankan skripsinya dari sisi metodologi, tetapi substansi skripsi itu juga alhamdulillah bisa ada yang menulis dalam bentuk bahasa Arab full, ada yang campuran, dan ada juga yang bahasa Indonesia tapi dia betul-betul menguasai isinya,” jelasnya.

    Keragaman kemampuan bahasa ini menunjukkan kualitas pendidikan yang komprehensif di STIBA, di mana mahasiswa tidak hanya menguasai metodologi penelitian tetapi juga substansi keilmuan yang mendalam.

    Momentum Peralihan Status Menjadi Institut

    Prof. Hamzah mengapresiasi momentum istimewa wisuda kali ini yang bertepatan dengan peralihan status STIBA dari sekolah tinggi menjadi institut.

    “Alhamdulillah resmi beralih status sebagai institut. Mudah-mudahan dalam waktu yang tidak lama, insyaallah Institut STIBA akan berproses melalui status menjadi universitas,” harapnya.

    Ia menilai bahwa STIBA tidak akan menghadapi tantangan berarti untuk meningkat statusnya menjadi universitas.

    “Dari sekian banyak peraturan yang sulit, STIBA sesungguhnya telah memiliki. Hanya STIBA masih perlu membuka satu program studi lagi. Sekarang sudah memiliki lima program studi,” jelasnya.

    Memenuhi Syarat Status Universitas

    Prof. Hamzah merinci bahwa STIBA telah memenuhi hampir seluruh persyaratan untuk menjadi universitas.

    “Kalau dari sisi sarana prasarana, dari sisi manajemen pengelolaan perguruan tinggi mulai dari dosen dan sarana prasarana, alhamdulillah STIBA sudah miliki,” katanya.

    Dari segi jumlah mahasiswa, STIBA juga telah melampaui batas minimal.

    “STIBA sekarang ini sudah memiliki mahasiswa lebih 2.000, mungkin hampir 3.000. Status universitas itu hanya mensyaratkan minimal 1.000, berarti sudah lebih,” tambahnya.

    Kualitas Dosen dan Pembina

    Kepada para orang tua mahasiswa, Prof. Hamzah memberikan jaminan kualitas pendidikan di STIBA.

    “Bapak-bapak, Ibu-ibu, orang tua mahasiswa, Bapak Ibu tidak rugi memasukkan mahasiswanya di sini,” tegasnya.

    Ia mengakui keberagaman asal mahasiswa STIBA yang datang dari berbagai daerah.

    “Saya tahu Bapak Ibu di antaranya ada berasal dari Papua, ada dari Maluku, Sulawesi, ada dari Kalimantan, Jawa dan Sumatera. Insyaallah pembina-pembina di sini betul-betul ustaz yang memiliki keilmuan, betul-betul memiliki kualitas seorang yang alim,” jelasnya.

    Konsep Keilmuan Imam Al-Ghazali

    Prof. Hamzah mengutip konsep keilmuan dari Imam Al-Ghazali untuk menjelaskan kualitas para pengajar di STIBA.

    “Imam Al-Ghazali membagi empat tingkat ilmu pengetahuan manusia kaitannya dengan ilmu. Imam Al-Ghazali menempatkan nomor satu: ‘man yadri wa yadri annahu yadri’ – orang yang mengerti, paham apa yang diketahui, dipelajari dan dia sadar apa yang dia ketahui,” kutipnya.

    “Kata Al-Ghazali, kalau ada orang itu begitu, itulah ‘fa dzalika alimun’ – itulah yang betul-betul disebut sebagai ilmuwan, intelektual. ‘Fattabi’uhu‘ – maka ikutilah dia. Dan kategori yang keempat itu yang disanjung, hanya satu dan itu ada di sini. Alhamdulillah,” lanjutnya.

    Kritik Terhadap Intelektual Semu

    Prof. Hamzah juga menyindir fenomena intelektual semu yang ada di masyarakat. “Sebab itu kalau kita dapat orang yang tidak tahu tapi dia merasa tahu, itu dia biasa nyeleneh. Ketika ditanya apa dasarnya? Ya sembarangan saja. Ah itulah,” kritiknya.

    Pernyataan ini menegaskan keunggulan STIBA dalam mencetak lulusan yang tidak hanya berpengetahuan luas tetapi juga memiliki kesadaran akan batas-batas keilmuannya.

    Dukungan Penuh dari Kopertais

    Prof. Hamzah menutup sambutannya dengan menegaskan dukungan penuh Kopertais Wilayah VIII terhadap perkembangan STIBA.

    “Kami dari Kopertais amat bersyukur dan memuji capaian Institut Agama Islam STIBA ini,” pungkasnya.

    Sambutan yang penuh apresiasi ini menunjukkan pengakuan resmi dari otoritas perguruan tinggi terhadap kualitas dan prestasi IAI STIBA Makassar di tengah persaingan dengan 71 perguruan tinggi Islam lainnya di wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua.

    Pengakuan ini diharapkan dapat semakin memperkuat posisi STIBA sebagai salah satu institusi pendidikan Islam unggulan di Indonesia bagian timur dan mempercepat prosesnya menuju status universitas.

  • Narasumber Orasi Ilmiah, AM. Iqbal Parewangi: Intelektual Muslim Harus Siap Memimpin Inovasi dan Kemandirian Umat di Era Global

    Narasumber Orasi Ilmiah, AM. Iqbal Parewangi: Intelektual Muslim Harus Siap Memimpin Inovasi dan Kemandirian Umat di Era Global

    (STIBA.ac.id) Makassar  – Tokoh intelektual dan mantan anggota DPD RI, AM. Iqbal Parewangi, menyampaikan orasi ilmiah yang menginspirasi pada acara wisuda Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (STIBA) Makassar dengan tema “Kepemimpinan Intelektual Muslim, Inovasi, dan Kemandirian Umat di Era Global”.

    Dalam orasinya, Parewangi menekankan bahwa para lulusan STIBA memiliki pondasi yang kuat untuk mengemban peran kepemimpinan sebagai intelektual muslim melalui kerangka “4A” yang telah mereka kuasai selama pendidikan.

    Kerangka 4A untuk Kepemimpinan Intelektual

    Parewangi menjelaskan bahwa alumni STIBA telah memiliki kerangka 4A yang terdiri dari:

    Akidah sebagai pondasi utama di mana tauhid menjadi pusat gravitasi segala hal bagi seorang intelektual muslim.

    Akal sebagai anugerah luar biasa dari Allah yang bahkan teknologi artificial intelligence dalam 100 tahun ke depan tidak mampu menyamai kemampuan akal fitri manusia hingga 10 persen.

    Akhlak yang senantiasa ditekankan dalam setiap perkuliahan, termasuk akhlak dalam dunia intelektual dan sebagai dai kontemporer.

    Amaliah sebagai implementasi dari tiga A sebelumnya.

    “Dengan kerangka 4A ini, sebenarnya sudah ada pondasi yang sangat kuat bagi saudara-saudara untuk menjalankan peran kepemimpinan sebagai intelektual muslim,” ujar Parewangi.

    Peluang Besar Umat Islam Global

    Merujuk pada data Pew Research, Parewangi menyampaikan proyeksi bahwa pada 2050, umat Islam akan menjadi pemeluk agama terbesar di dunia untuk pertama kalinya. Pada 2060, jumlah umat Islam diproyeksikan mencapai 30% dari total populasi global.

    “Ini bukan sebuah atribut kebanggaan atau hadiah demografi. Ini adalah peluang untuk para dai dan ilmuwan alumni pendidikan tinggi Islam membuktikan diri sebagai khalifah fil ardh,” tegasnya.

    Inovasi Dakwah di Era Digital

    Parewangi memberikan contoh konkret keberhasilan intelektual muslim dalam berinovasi, seperti Omar Sulaiman dengan Yaqeen Institute di Amerika yang mampu menjangkau 11 juta followers dari lima benua. Dalam dua jam, konten dakwahnya dapat diakses oleh minimal 50% followers.

    “Seorang Omar Sulaiman adalah dai yang setidaknya tiga kali sehari berada di panggung dakwah global dan ditonton oleh jemaah berjumlah setidaknya enam juta orang,” jelasnya.

    Di berbagai negara, tokoh muslim seperti Nouman Ali Khan dengan Bayyinah TV, serta dai-dai kontemporer lainnya telah membuktikan bahwa pendekatan dakwah modern dapat menjangkau audiens global.

    Kontribusi Muslim dalam Teknologi AI

    Parewangi juga menyoroti peran Mustafa Sulaiman, co-founder DeepMind dan CO Microsoft AI yang merupakan seorang muslim. Sulaiman, yang berasal dari keluarga sederhana, kini menjadi salah satu figur penentu arah pengembangan artificial intelligence global.

    “Yang menarik adalah karena dia lahir dari dunia muslim dan memahami pentingnya akidah, muamalah, dan amaliah, maka dia menjadi tokoh AI yang berbeda dengan penekanan pada pemanfaatan AI yang tidak merugikan manusia,” ungkapnya.

    Proyeksi Ekonomi AI dan Peran Muslim

    Berdasarkan laporan “Sizing the Prize”, kontribusi artificial intelligence pada tahun 2030 diproyeksikan mencapai 15,7 triliun US dollar – setara dengan 70 kali APBN Indonesia 2024.

    “Tren besar ini perlu diisi dengan nilai-nilai yang luar biasa. IQ yang tajam, EQ yang matang, dan spiritual quotient yang kuat harus mengarahkan AI agar pro manusia dan kemanusiaan,” tekannya.

    Kepemimpinan Muslim di Panggung Global

    Parewangi memberikan contoh Sadiq Khan, Wali Kota London yang telah menjabat tiga periode meski populasi muslim London hanya 4,8%. Keberhasilan Khan didasarkan pada integritas dan prestasi berdasarkan pendekatan Qur’ani.

    “Bahkan di New York, dimungkinkan seorang muslim meraih 56% suara dalam kompetisi internal Partai Demokrat untuk maju sebagai kandidat walikota,” tambahnya.

    Tantangan dan Harapan

    Meski mengakui berbagai peluang, Parewangi juga menyoroti tantangan seperti indeks korupsi Indonesia yang masih tinggi (37/100) dan tren global “spiritual but not religious” di Amerika yang mencapai 22%.

    “Moralitas penting dibangun, dan yang bisa membangun akhlakul karimah adalah orang-orang yang paham dengan kerangka 4A,” jelasnya.

    Pesan untuk Para Wisudawan

    Dalam penutupnya, Parewangi mengingatkan para wisudawan untuk menjaga integritas dan kejujuran intelektual. Ia juga menekankan pentingnya menyimpan ijazah dengan baik sebagai bagian dari ekspresi moralitas intelektual.

    “Menjadi sarjana bukan akhir proses. Seorang sarjana diemban dengan hal yang jauh lebih strategis, bagaimana menjadi dai kehidupan di era kontemporer global saat ini,” pungkasnya.

    Parewangi berjanji akan membagikan materi lengkap orasi ilmiahnya secara gratis kepada para peserta wisuda melalui platform digital.

    Orasi yang berlangsung sekitar satu jam ini mendapat apresiasi tinggi dari para hadirin dan menjadi inspirasi bagi para wisudawan STIBA Makassar untuk berperan aktif dalam kepemimpinan umat di era global.

  • STIBA Makassar Cetak Sejarah, Wisuda ke-8 Hadirkan 398 Sarjana Syariah

    STIBA Makassar Cetak Sejarah, Wisuda ke-8 Hadirkan 398 Sarjana Syariah

    (STIBA.ac.id) Makassar  – Aula Golden Lily Four Points by Sheraton dipenuhi suasana haru bahagia, Sabtu (16/8/2025). Institut Agama Islam (IAI) STIBA Makassar menggelar Wisuda Sarjana VIII Program Studi Perbandingan Mazhab, dengan jumlah lulusan mencapai 398 orang. Angka ini menjadi yang terbanyak sepanjang sejarah wisuda kampus tersebut.

    Rektor IAI STIBA Makassar, Ustaz Akhmad Hanafi Dain Yunta, Lc., M.A., Ph.D., menyebut momentum ini sebagai catatan istimewa. Selain karena jumlahnya yang memecahkan rekor, wisuda kali ini juga menjadi yang pertama setelah STIBA resmi beralih status dari sekolah tinggi menjadi institut.

    “Wisuda bukanlah akhir perjalanan, melainkan awal dari babak baru. Dari tangan-tangan Ananda semua, kami berharap lahir prestasi-prestasi baru yang membanggakan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional,” pesannya di hadapan para wisudawan, orang tua, dan tamu undangan.

    Selain itu, rektor juga mengumumkan bahwa tahun depan STIBA akan mewisuda dua program studi sekaligus, yakni Perbandingan Mazhab dan Pendidikan Bahasa Arab.

    “Ini capaian yang patut kita syukuri bersama, sekaligus menjadi motivasi untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan di kampus ini,” tambahnya.

    Menutup prosesi wisuda, Ketua Senat STIBA Makassar, Ustaz Muhammad Yusran Anshar, Lc., M.A., Ph.D., menyampaikan tausiah sarat makna. Ia mengingatkan tiga pihak sekaligus: civitas academica, orang tua, dan para alumni.

    Kepada civitas academica, beliau menekankan bahwa wisuda adalah momen syukur dan hasil dari kerja keras bersama. Kepada orang tua, beliau menyebut merekalah yang paling berbahagia, bahkan lebih dari anak-anaknya sendiri, karena jerih payah dan doa mereka kini berbuah manis.

    Sementara untuk para alumni, ia menitipkan empat wasiat penting:

    1. Menuntut ilmu yang benar,
    2. Mengamalkan ilmu,
    3. Mendakwahkan ilmu sebagai zakat ilmu, dan
    4. Bersabar menghadapi tantangan dakwah.

    Beliau menutup dengan sebuah perumpamaan: jangan menjadi dai seperti air sumur yang hanya bermanfaat jika didatangi, atau air ledeng yang bergantung pada bayaran. Jadilah dai seperti air hujan, yang manfaatnya meluas dan dirasakan semua orang.

    Kehadiran Pemimpin Umum Wahdah Islamiyah, Dr. K.H. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc., M.A., Wali Kota Makassar yang diwakili Staf Ahli Bidang Pemerintahan, Hukum, dan Politik Akhmad Namsun, S.Ag., M.M., Wakil Koordinator Kopertais Wilayah VIII Prof. Dr. K.H. Hamzah Harun Al Rasyid, M.A., narasumber orasi ilmiah A.M. Iqbal Parewangi,  serta sejumlah tokoh masyarakat turut menambah khidmat acara.

    Prosesi panjang yang diawali dengan sidang senat terbuka hingga orasi ilmiah ini menjadi momentum bersejarah bagi kampus yang konsisten mengusung nilai keilmuan, dakwah, dan Al-Qur’an tersebut.

    Dengan wajah sumringah, ratusan wisudawan dan wisudawati resmi menyandang gelar sarjana syariah, meninggalkan kursi kuliah untuk melangkah ke medan dakwah dan pengabdian.

  • “STIBA Bukan Cuma Kampus, STIBA Adalah Rumah”: Pesan Mengharukan Wisudawan-Wisudawati

    “STIBA Bukan Cuma Kampus, STIBA Adalah Rumah”: Pesan Mengharukan Wisudawan-Wisudawati

    (STIBA.ac.id) Makassar – Malam ramah tamah wisudawan-wisudawati IAI STIBA Makassar ke-8 pada Jumat, 15 Agustus 2025, di Hotel Four Points, berubah menjadi lautan emosi. Ada tawa, ada tangis, ada cerita-cerita pribadi yang mengalir jujur dari hati perwakilan wisudawan dan wisudawati.

    Dari Introvert Menjadi Lebih Berani

    A. Liliana Zarkia, S.H., yang mewakili para wisudawati melalui rekaman video, memulai dengan kisah sederhana tapi mengena.
    “Awalnya saya introvert, jarang bergaul, bahkan hampir tak punya banyak teman,” tuturnya. Tapi kehidupan asrama STIBA mengubah banyak hal. Hidup bersama teman-teman dengan beragam karakter membuatnya belajar memahami orang lain, bahkan belajar mengelola luka hati.

    “Dari situ saya akhirnya jatuh cinta dengan kehidupan asrama yang unik ini,” tambahnya dengan suara bergetar.

    Keputusan memilih STIBA juga bukan jalan yang mudah baginya. Ia pernah harus mundur dari kampus lain setelah istikharah. “Awalnya berat, tapi Allah ternyata siapkan jalan terbaik di sini. STIBA membuat saya jatuh cinta, meski kampus ini dulu bahkan tak masuk daftar impian saya.”

    Cinta Baru pada Bahasa Arab

    Liliana melanjutkan, awalnya ia bercita-cita jadi arsitek. Tapi di STIBA, ia justru jatuh cinta pada ilmu bahasa Arab. Dari sekadar menghafal “huwa, huma, hum”, kini ia bisa berdebat soal struktur kalimat. Ia bahkan bercerita betapa kagumnya pada ilmu sharaf: “Dari satu kata ‘ghafara’, lahir ghaffar, ghafur, maghfirah, istighfar. Semakin belajar, semakin penasaran, semakin cinta.”

    Momen paling berkesan baginya adalah sidang munaqasyah. Bukan pertanyaan ilmiah yang membuatnya terdiam lama, tapi pertanyaan sederhana: “Apa harapan dan saran untuk kampus ini?”
    “Saat itu yang muncul hanyalah kenangan, dari awal masuk hingga kini menjelang akhir. Yang bisa saya berikan hanyalah doa, bukan saran. Karena saya tahu semua sudah diusahakan dengan sangat baik,” ucapnya penuh rasa.

    Suara Wisudawan: Cinta yang Belum Matang

    Di sisi lain, Firmansyah, S.H., mewakili para wisudawan, membawa nuansa lebih ringan tapi tetap mengena. Ia membacakan kesan-kesan teman-temannya yang penuh warna.

    Seorang wisudawan asal Pinrang, misalnya, mengenang kampus sebagai rumah kedua. Dengan jujur ia berkata, “Terima kasih karena di sini aku boleh salah, lalu belajar memperbaiki diri. Maaf kalau dulu suka titip absen, masuk kelas telat, atau izin ke WC tapi ternyata ke masjid buat tidur atau murajaah. Itu semua mungkin bentuk cinta yang belum matang.”

    Kini, lanjutnya, saat harus pergi, rasanya berat. “Bangku kuliah yang dulu sering dikutuk, kini justru dirindukan.”

    STIBA: Lebih dari Sekadar Kampus

    Ada juga pesan dari wisudawan asal Bombana yang gemar membaca dan menulis. Dengan lantang ia berkata, “STIBA bukan cuma kampus, STIBA adalah rumah. Tempat kita menangis dalam doa, tertawa dalam ukhuwah, dan tumbuh dalam tarbiah.”

    Kebersamaan di STIBA memang penuh perjuangan. Ada yang harus merantau jauh dari keluarga, ada yang bekerja sambil kuliah, ada yang sibuk organisasi, dan ada yang diam-diam berjuang tanpa banyak cerita.
    “Tapi kita semua sama-sama pernah bangun Subuh dengan mata setengah terbuka, makan seadanya karena uang pas-pasan, ikut dirasah ta’shiliyah sambil menahan kantuk, atau mengerjakan tugas di tengah malam. Dari situ kita tumbuh, bukan karena mudah, tapi karena kita memilih untuk tidak berhenti,” tutur Firmansyah menggambarkan.

    Terima Kasih yang Tak Terhingga untuk Orang Tua

    Bagian yang paling menyentuh hati adalah ungkapan terima kasih.
    “Kami tahu, tidak semua dari kami datang dari jalan yang mudah. Ada orang tua yang harus bekerja siang malam, ada yang menahan sakit, menahan lelah, bahkan menahan keinginan demi anaknya bisa kuliah. Ada yang pura-pura tenang padahal sedang kesulitan. Ada yang diam-diam berutang. Tapi mereka tak pernah lupa mendoakan nama kami di setiap malam,” ucapnya lirih.

    “Kalau kami sampai di titik ini, itu bukan semata karena kerja keras kami. Tapi karena doa yang tidak pernah berhenti.”

    Kenangan Indah dan Pesan untuk Adik Tingkat

    Pesan khusus juga dititipkan untuk adik-adik tingkat, “Perjalanan ini tidak mudah, tapi sangat layak. Jangan takut lelah, karena nanti semua lelah itu akan jadi kenangan paling indah.”

    Firmansyah pun menutup dengan refleksi yang manis:
    “Kita pernah berbagi cerita, berbagi mimpi, bahkan berbagi Indomie di akhir bulan. Itu yang membuat kita keluarga, meski nanti jarang bertemu.”

    Mengenang Dosen yang Telah Tiada

    Ada pula kenangan khusus yang membuat ruangan hening. Seorang wisudawan asal Gowa menyebut nama almarhum Ustaz Hamuddin Poko.

    “Beliau pernah membimbing kami di perpustakaan. Sayang, Allah lebih dulu memanggilnya. Tapi nasihat dan perjuangan beliau akan selalu hidup dalam ingatan kami,” katanya penuh doa.

    Harapan ke Depan

    Akhirnya, para wisudawan menutup pesan mereka dengan doa dan harapan:
    “Semoga STIBA tidak hanya mencetak lulusan, tapi terus menjadi rumah bagi yang haus ilmu dan dakwah. Semoga kita semua wafat di jalan pengabdian, dan kampus tercinta ini tetap jadi oase di tengah kerasnya kehidupan.”

    Acara malam itu benar-benar meninggalkan jejak emosional. Bagi para wisudawan, STIBA bukan sekadar tempat belajar. Ia adalah rumah—rumah yang membentuk karakter, mempererat persaudaraan, dan menjadi bagian dari kisah hidup mereka selamanya.

  • “Nama Saya di Ijazah Kalian adalah Simbol Kebersamaan”: Tausiah Mengharukan Rektor STIBA Makassar

    “Nama Saya di Ijazah Kalian adalah Simbol Kebersamaan”: Tausiah Mengharukan Rektor STIBA Makassar

    (STIBA.ac.id) Makassar – Malam ramah tamah wisudawan dan wisudawati IAI STIBA Makassar ke-8, Jumat 15 Agustus 2025, benar-benar penuh rasa. Hotel Four Points yang biasanya dipenuhi cahaya lampu megah, malam itu lebih banyak diselimuti cahaya haru ketika Rektor IAI STIBA Makassar, Ustaz Akhmad Hanafi Dain Yunta, Lc., M.A., berdiri menyampaikan tausiah penutup.

    “Menyiapkan tausiah ini lebih susah daripada menyusun bab terakhir skripsi,” ujarnya membuka dengan senyum, tapi suaranya kemudian perlahan bergetar saat bicara tentang kebersamaan yang sudah terjalin selama bertahun-tahun.

    Nama di Ijazah: Tanda dari Banyak Wajah

    Beliau menyinggung sesuatu yang sederhana tapi sarat makna: tanda tangan di ijazah.
    “Ketika saya menandatangani ijazah kalian, nama saya bukan hanya tanda, tapi simbol kebersamaan kita semua,” ucapnya.

    Rektor menjelaskan bahwa nama itu mewakili seluruh dosen, para asatidz dan ustadzat, juga murabbi dan murabbiah yang pernah menemani perjalanan para mahasiswa sejak hari pertama masuk hingga detik menjelang wisuda.

    “Ia mewakili setiap huruf, setiap kata, setiap kalimat yang pernah kita jalani bersama, yang terucap maupun yang tidak.”

    Perjalanan Menuntut Ilmu = Perjalanan Ibadah

    Beliau menggambarkan studi di STIBA bukan sekadar kuliah, tapi rihlah fi thalab al-‘ilm wa al-adab—perjalanan mencari ilmu dan adab. Sebuah perjalanan yang Al-Qur’an sejajarkan dengan jihad fi sabilillah.
    “Menuntut ilmu itu puncak dari ubudiyah seorang hamba,” tegasnya.

    Rektor pun mengingatkan visi STIBA sejak berdiri: mencetak pribadi dengan karakter “5M” – Mukmin, Muslih, Mujahid, Muta’awin, dan Mutqin. Inilah yang ia harap akan menjadi bekal utama alumni di manapun berada.

    Peringatan tentang Fitnah di Luar

    Namun, Rektor tak menutup mata bahwa dunia di luar kampus penuh cobaan.
    “Fitnah itu banyak bentuknya,” katanya lirih. “Ada fitnah harta yang bisa menggoda iman dan dakwah. Ada fitnah syahwat yang bisa meruntuhkan reputasi orang baik. Ada juga fitnah syubhat yang datang dengan berbagai wajah.”

    Pesan ini ia sampaikan sebagai bekal agar para alumni tetap teguh di atas prinsip, menjaga amanah ilmu dan Al-Qur’an yang mereka pelajari.

    Permintaan Maaf yang Tulus

    Suasana makin haru ketika beliau menunduk dan menyampaikan permintaan maaf.
    “Maafkan kami, jika belum bisa menjadi pendidik dan murabbi terbaik untuk kalian. Maafkan kalau amanah kami kadang tak maksimal tertunaikan. Maafkan jika kampus ini belum sepenuhnya bisa kalian sebut rumah kedua,” ujarnya diiringi isak tangis.

    Kata-kata itu membuat banyak hadirin menunduk, sebagian menyeka mata. Kerendahan hati seorang rektor yang mengaku masih banyak kekurangan, tapi dengan cita-cita besar untuk terus memperbaiki diri dan institusi.

    Pesan untuk Terus Istiqamah

    Rektor lalu mengingatkan pesan inti: istikamah.
    “Teruslah berada di jalan ilmu, dakwah, dan tarbiah. Rendah hatilah, tawadulah. Jadikan takwa sebagai bekal terbaik kalian di manapun berada,” tuturnya.

    Ia yakin setiap alumni punya pintu kebaikan masing-masing.

    “Pos perjuangan kita mungkin berbeda, tapi visi kita tetap sama: berkontribusi untuk umat, menjadi yang paling bermanfaat bagi manusia.”

    Perpisahan yang Tak Benar-Benar Berpisah

    Menjelang akhir, beliau melontarkan kalimat yang membuat dada banyak orang sesak:
    “Genggaman tangan dan rangkulan kita malam ini mungkin jadi yang terakhir bagi sebagian kita. Tapi semoga ia justru jadi sentuhan awal untuk kebersamaan yang lebih indah di surga Allah kelak.”

    Doa Penutup yang Panjang dan Khusyuk

    Beliau lalu memimpin doa panjang. Doa agar para wisudawan diberi keteguhan, agar ilmu mereka menjadi cahaya, agar orang tua mereka diganjar pahala berlipat dari setiap keringat yang tercurah.

    “Ya Allah, jangan putuskan rahmat-Mu dengan perpisahan ini. Bukakan pintu-pintu rahmat-Mu untuk kami. Berikan pundak yang kuat untuk memikul amanah ini.”

    Hadirin serempak mengaminkan dengan suara bergetar. Ruangan seakan hening, hanya terdengar doa yang naik ke langit.

    Akhir yang Membekas

    Tausiah itu berlangsung sekitar 20 menit, tapi rasanya menancap jauh lebih lama di hati. Ditutup dengan bacaan hamdalah, kemudian salam-salaman dan foto bersama. Banyak yang masih meneteskan air mata—air mata perpisahan, tapi juga air mata syukur.

    Bagi para alumni, kata-kata Rektor malam itu tak sekadar penutup acara. Ia akan menjadi bekal hidup, pengingat di saat lelah, sekaligus penanda ikatan batin dengan almamater tercinta, IAI STIBA Makassar.