Kategori: Feature

  • Ibu adalah Madrasah Pertama: Pesan Menyentuh Hati di Taklim Akbar Mahasiswi KKN Dusun Bonto Panno

    Ibu adalah Madrasah Pertama: Pesan Menyentuh Hati di Taklim Akbar Mahasiswi KKN Dusun Bonto Panno

    (STIBA.ac.id) Maros  — Suasana hangat dan penuh haru menyelimuti Masjid Jabal Nur, Dusun Bonto Panno, Ahad siang kemarin (20/4/2025). Sebanyak 80 muslimah dari dua dusun, Kassi-Kassi dan Bonto Panno, tumpah ruah menghadiri Taklim Muslimah Spesial bertema “Komunikasi Islami: Menanamkan Nilai, Menumbuhkan Akhlak” yang digelar oleh mahasiswi KKN STIBA Makassar Angkatan VIII Posko 2, Desa Toddopulia.

    Digelar sejak pukul 13.00 Wita hingga jelang Asar, acara ini menjadi momen puncak dari rangkaian pembinaan majelis taklim selama program KKN berlangsung. Bukan sekadar taklim biasa, acara ini dikemas dengan sentuhan personal dan kehangatan ukhuwah yang bikin siapa pun yang hadir merasa berarti.

    Acara dimulai dengan pembukaan oleh MC, Masdaria, dilanjutkan lantunan ayat suci Al-Qur’an oleh Zakiyah Ramadhani dan sari tilawah oleh Miftahul Janna. Suasana langsung terasa syahdu dan mengalirkan ketenangan.

    Dalam sambutannya, Ibu Kepala Desa Toddopulia, Masruni, S.E., menyampaikan rasa terima kasihnya kepada mahasiswi KKN STIBA.

    “Kehadiran mereka menjadi jalan hidayah bagi desa ini, menghidupkan kembali semangat belajar mengaji dan mempererat ukhuwah,” ujarnya.

    Taklim inti dibawakan oleh Ustazah Hijrayanti Sari, S.Sos., M.I.Kom., yang juga merupakan Dosen Pembimbing Lapangan. Dalam materinya, beliau mengangkat pentingnya komunikasi islami dan peran ibu sebagai madrasah pertama bagi anak.
    “Anak-anak itu peniru ulung. Kalau ibunya suka belajar, anaknya juga akan ikut suka. Kalau ibunya lembut, anak pun tumbuh dengan percaya diri,” tutur beliau, yang membuat banyak ibu-ibu terdiam, merenung… dan bahkan terenyuh.

    Suasana makin meriah dengan penampilan nasyid dari santri TPA Jabal Nur yang sukses bikin haru. Sesi doorprize pun bikin tegang dan seru karena nomor-nomor undian dipanggil satu per satu. Semua peserta pulang bawa hadiah, bawa ilmu, dan tentu saja… bawa kenangan.

    Awalnya ditarget hanya 60 orang, tapi nyatanya jumlah peserta membeludak jadi 80! Ini bukti nyata semangat belajar para muslimah di desa ini sungguh luar biasa.

    Acara ditutup dengan sesi foto bersama dan makan bareng yang mempererat rasa kebersamaan.

    Harapannya, kegiatan seperti ini terus berlanjut dan menjadi bagian dari kehidupan spiritual masyarakat, bukan hanya saat KKN berlangsung, tapi juga seterusnya.

    “Kami ingin meninggalkan sesuatu yang lebih dari sekadar program kerja. Kami ingin meninggalkan bekas di hati,” ungkap salah satu panitia dengan senyum haru.

    Reporter: Nadya Nurul Ismi

    Foto: Nurfakhriani Tussa’diyyah

  • Serunya “Tahfiz Weekend Special”, Penutup KKN STIBA Makassar yang Bikin Anak-anak TPA Bonto Panno Susah Move On

    Serunya “Tahfiz Weekend Special”, Penutup KKN STIBA Makassar yang Bikin Anak-anak TPA Bonto Panno Susah Move On

    (STIBA.ac.id) Maros — Matahari belum tinggi, tapi halaman Dusun Bonto Panno sudah ramai dipenuhi suara tawa dan semangat anak-anak. Ahad pagi (20/4), mahasiswi KKN STIBA Makassar Angkatan VIII dari Posko 2 Desa Toddopulia menggelar acara penutup bertajuk “Tahfiz Weekend Special”, kegiatan yang dikemas penuh warna untuk anak-anak TPA dari RT 1 hingga RT 3.

    Sejak pukul 06.00 Wita, anak-anak berdatangan dengan wajah antusias. Bukan sekadar acara perpisahan biasa, kegiatan ini dipenuhi dengan berbagai tantangan seru yang dikemas dalam bentuk petualangan islami. Tujuannya? Mempererat ukhuwah dan menumbuhkan kecintaan terhadap Al-Qur’an lewat cara yang menyenangkan.

    Ketua panitia, Nabila Ismail, membuka acara dengan arahan singkat. Tak lama, anak-anak dibagi menjadi lima kelompok kecil. Misi pertama mereka menyusun yel-yel kelompok sebagai bentuk kekompakan dan semangat.

    Selanjutnya, petualangan pun dimulai. Ada tiga pos edukatif yang harus mereka taklukkan:

    Pos 1: Menebak nama surah dari potongan ayat.

    Pos 2: Mengingat dan menebak doa-doa harian.

    Pos 3: Tebak gaya! Peserta harus menebak gerakan yang diperagakan oleh anggota kelompok.

    Di tengah tantangan, anak-anak juga diajak berburu bendera tersembunyi di sepanjang jalur, sangat seru! Setiap tantangan mengasah kerja sama, daya ingat, dan keberanian mereka dalam suasana yang santai tapi tetap edukatif.

    “KKN tahun ini sangat seru! Kami bisa bertualang, dapat hadiah, dan punya teman baru dari RT lain,” kata salah satu peserta dengan mata berbinar.

    Tiga kelompok tercepat yang berhasil menyelesaikan tantangan mendapatkan hadiah spesial dari panitia. Tapi tenang, semua peserta tetap pulang dengan senyum lebar karena membawa suvenir botol minum sebagai kenang-kenangan dari para kakak KKN.

    Acara ditutup dengan pembagian hadiah, sesi foto bareng, dan makan pagi bersama. Momen itu jadi puncak keakraban yang membuat anak-anak dan panitia sama-sama susah melupakan.

    “Harapan kami, acara ini bisa meninggalkan kesan indah buat adik-adik TPA. Meski KKN kami berakhir, kami ingin mereka tahu kalau mereka pernah punya momen manis bersama kami,” ujar salah satu panitia dengan senyum haru.

    Tahfiz Weekend Special bukan cuma jadi acara penutup KKN STIBA Makassar di Dusun Bonto Panno. Tapi juga jadi bukti bahwa dakwah bisa hadir lewat keceriaan, cinta, dan kenangan indah bersama anak-anak di pelosok desa.

    Reporter: Nadya Nurul Ismi

    Foto: Nurvilla Paputungan

  • Ibu Dg. Basse: Rumahnya Nyaris Roboh, Tapi Hatinya Berdiri Kokoh

    Ibu Dg. Basse: Rumahnya Nyaris Roboh, Tapi Hatinya Berdiri Kokoh

    (STIBA.ac.id) Maros – Sabtu itu hujan. Gerimis, lalu reda, lalu turun lagi. Jalan becek, semak ilalang tinggi, dan udara yang lembap menyambut langkah kami menuju sebuah dusun kecil di ujung Desa Toddopulia, Maros. Namanya: Bonto Panno.

    Nama yang mungkin tidak populer, tapi menyimpan kisah yang akan menetap lama di hati kami.

    Kami datang sebagai mahasiswa KKN STIBA Makassar, membawa sedikit bantuan, membawa banyak semangat. Tapi ternyata, kami yang pulang justru membawa oleh-oleh yang tak ternilai: pelajaran tentang hidup, tentang kehormatan, tentang iman.

    Namanya Ibu Dg Basse. Usianya lebih dari enam puluh tahun. Tapi jangan bayangkan beliau hidup sendiri. Di rumah reyot itu, yang berdinding kayu lapuk, berlubang di sana-sini, beratap bocor dan lantai tanah yang keras, tinggal pula ibunya. Seorang perempuan yang kini berusia lebih dari seratus tahun dan sudah lumpuh sejak puluhan tahun lalu.

    Ya. Dua perempuan tangguh. Dua jiwa yang tetap berdiri meski dunia di sekitarnya hampir runtuh.

    Tidak Mengemis, Meski Miskin

    Banyak orang berkata, “Kalau sudah begini, kita tidak punya pilihan.” Tapi Ibu Dg. Basse membuktikan sebaliknya. Dalam segala keterbatasan yang membuat dada sesak saat melihatnya, beliau tetap menjaga satu hal: kehormatan.

    Beliau tidak pernah meminta-minta. Tidak pernah duduk di pinggir jalan menengadahkan tangan. Tidak pernah mengetuk rumah tetangga demi sesuap nasi. Beliau lebih memilih bekerja sebisanya. Karena katanya, “Sedikit yang halal lebih baik daripada banyak yang memalukan.”

    Itu kalimat yang menusuk. Karena hari ini, banyak dari kita menyerah bahkan sebelum berjuang.

    Bakti yang Tak Pernah Luntur

    Beliau merawat ibunya sendiri. Membopong. Membersihkan. Menyuapi. Menghibur. Hari demi hari. Tahun demi tahun. Tanpa mengeluh. Tanpa jeda.

    Bayangkan: seorang lansia, merawat lansia yang lebih tua. Dengan cinta. Dengan sabar. Dengan kekuatan yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang tahu apa arti berbakti.

    Kami tak sanggup berkata-kata saat melihat itu. Yang bisa kami lakukan hanya diam dan menyeka air mata. Birrul walidain bukan hanya nasihat di buku. Ia nyata. Kami menyaksikannya langsung di ujung desa ini.

    Ibadah yang Tetap Dijaga

    Kami pikir, mungkin karena rumahnya nyaris roboh, ibadah bisa ditunda. Mungkin karena makannya hanya sekali sehari, bolehkan sesekali ia meninggalkan puasa?

    Tapi kami keliru. Salatnya tidak pernah bolong. Zikirnya tak pernah henti. Puasanya tetap dijaga. Bahkan saat tubuh sudah rapuh, beliau tetap bersimpuh.

    “Kalau kita masih bisa bangun, maka kita harus salat,” katanya. Lagi-lagi, kami tertunduk. Karena alasan kita tidak beribadah kadang sangat sepele: malas. Lelah. Sibuk.

    Kami yang Belajar, Bukan Sekadar Berbagi

    Kami datang dengan beras, makanan, dan uang seadanya. Tapi kami menerima lebih dari itu: senyum yang tulus. Doa yang hangat. Dan pelajaran hidup yang mungkin tidak akan pernah kami temukan di ruang kuliah sekalipun.

    Kami datang ingin memberi. Tapi justru kami yang diberi.

    Penutup: Cermin untuk Kita Semua

    Kisah Ibu Dg. Basse adalah cermin. Cermin yang mungkin tidak ingin kita lihat, karena terlalu jujur. Tapi ia ada. Menyuarakan bahwa hidup bukan tentang banyaknya harta, tapi tentang bagaimana kita tetap memeluk iman di tengah badai.

    Kehidupan boleh reyot. Tapi hatinya kokoh. Dan itu cukup untuk membuat kami pulang dengan dada yang penuh.

    Reporter: Tim Mahasiswa KKN 8 STIBA Makassar
    Dusun Bonto Panno – Toddopulia, Maros
    19 April 2025

  • Tahun Berganti: Ibu Salamah Masih di Sana, Masih Seperti Dulu

    Tahun Berganti: Ibu Salamah Masih di Sana, Masih Seperti Dulu

    (STIBA.ac.id) Maros – Masih ingat Ibu Salamah? Wanita tangguh yang tinggal di tengah kebun di pinggiran Desa Toddopulia. Yang setiap malam Ramadan menembus gelap, berjalan sendiri, demi bisa ikut salat tarawih di masjid desa dan belajar agama bersama mahasiswi KKN STIBA Makassar. Yang tak pernah mengeluh meski tubuhnya mulai renta. Yang selalu tersenyum, bahkan saat langkahnya harus melewati jalanan becek, berbatu, dan tak ramah bagi siapa pun, apalagi seorang wanita seusianya.

    Baca juga: Perjalanan Menuntut Ilmu Ibu Salamah : Antara Rute Menantang dan Belajar Al-Qur’an di Bulan Ramadan

    Ya, Ibu Salamah itu masih di sana. Dan tahun ini, di Ramadan yang berbeda tapi tetap penuh berkah, beliau masih setia hadir di majelis ilmu. Masih semangat mengikuti pengajian bersama mahasiswi KKN STIBA Makassar, masih memancarkan cinta kepada Al-Qur’an dari balik rumah kayu yang sunyi, yang jauh dari sinyal, apalagi sorotan kamera.

    Kami datang kembali. Tim KKN Angkatan VIII.  Kami harus berjalan kaki, menembus semak, meniti tanah merah yang licin, dan menahan lelah. Tapi semua itu tidak ada artinya ketika kami akhirnya tiba dan melihat sosoknya menyambut kami dengan senyum. Senyum yang sama. Yang kami dengar dulu hanya dari cerita kakak tingkat kami, dan kini, kami saksikan sendiri dengan mata kepala.

    Rumah beliau kecil. Dindingnya dari kayu. Tapi kehangatannya besar. Bahkan lebih besar dari rumah-rumah megah yang pernah kami singgahi. Di sana, di rumah itu, cinta kepada ilmu dan Allah tak pernah padam. Kami duduk bersamanya, berbagi cerita, mendengar kisah-kisahnya.

    Kami terdiam. Malu pada diri sendiri, atas semua keluhan yang sering kami ucapkan. Padahal kami hidup dalam kenyamanan, tapi sering abai pada syukur. Sedang beliau? Hidup jauh dari fasilitas, tapi dilalui dengan kesabaran dan syukur.

    Begitulah Ibu Salamah. Kisah yang tidak pernah usang untuk diceritakan.
    Jejak langkahnya mengajarkan kami: bahwa perjuangan menuju ilmu adalah jalan menuju Allah. Dan siapa pun yang menempuhnya, akan selalu Allah jaga.

    Hari itu, kami tidak sekadar berkunjung. Kami ingin menyerap sesuatu yang tak bisa diajarkan di kelas. Ketulusan. Kesabaran. Cinta yang diam-diam tumbuh dari hal-hal kecil.

    Ibadah yang Terus Terjaga Meski Sakit Menyapa

    Kami duduk bersama Ibu Salamah di teras rumahnya yang sudah mulai lapuk dimakan usia. Ia bercerita tentang kegiatan Ramadannya tahun ini. Masih seperti dulu. Masih berjalan kaki menuju masjid selepas Magrib. Masih membaca Al-Qur’an dengan suara lembut yang lirih, tapi penuh kekuatan. Bahkan, ternyata ia mulai mengajar anak-anak kecil mengenal huruf hijaiah.

    Di tengah sakit yang mulai sering datang—tanda tubuhnya mulai menua—Ibu Salamah tetap tidak ingin melewatkan salat berjemaah dan majelis ilmu, meskipun kondisi fisiknya sedang tidak prima.

    “Alhamdulillah… ibadah yang saya perjuangkan selama ini masih Allah beri kekuatan untuk tetap saya jalani,” ucapnya lirih, matanya berkaca.

    Sebelum berpamitan, kami menyerahkan bingkisan kecil. Tak seberapa. Tapi ia menerimanya dengan senyum paling tulus yang pernah kami lihat. Dan seperti tahun lalu, di ujung kunjungan, beliau bertanya pelan, nyaris berbisik:

    “Sebentar lagi kalian pulang ya, Nak?”

    Kami mengangguk. Pelan. Menahan haru.

    Lalu beliau menatap kami satu per satu, seolah ingin mengukir wajah kami dalam ingatannya.

    “Semoga Allah pertemukan kita lagi. Kalau bukan di sini, mungkin di tempat yang lebih baik. Di surga-Nya.”

    Perjalanan ini akan terus kami kenang, bahwa di sebuah dusun kecil bernama Bonto Panno, pernah ada seorang ibu bernama Salamah, yang dengan kesederhanaannya, telah mengajari kami tentang kemuliaan ilmu, kekuatan iman, dan arti sejati dari istikamah.

    Reporter: Tim Mahasiswa KKN VIII STIBA Makassar

    Dusun Bonto Panno, Desa Toddopulia, Kabupaten Maros, 19 April 2025 M /20 Syawal 1446 H

  • Kajian Zakat di Ujung KKN: Saatnya Peduli Hak Orang

    Kajian Zakat di Ujung KKN: Saatnya Peduli Hak Orang

    (STIBA.ac.id) Maros – Di penghujung masa pengabdian mahasiswa KKN VIII STIBA Makassar di Kelurahan Borong, Kecamatan Tanralili, ada satu momen istimewa yang mengisi hari-hari terakhir mereka: sebuah kajian spesial bertema zakat, yang diadakan di Masjid Syuhada, Dusun Dulang, pada Jumat malam (18/4/2025).

    Sore itu, langit sempat gelap. Hujan turun cukup deras, membuat panitia sempat waswas. Tapi atas izin Allah, cuaca membaik menjelang acara dimulai. Jemaah pun berdatangan, dari kalangan bapak-bapak, ibu-ibu, hingga para remaja, memenuhi masjid dengan semangat.

    Yang hadir malam itu bukan sekadar mendengar ceramah biasa. Mereka disambut oleh Ustaz Kiai Muda Arfan Arifuddin, S.S., M.Ag., dosen STIBA Makassar sekaligus alumni terbaik Program Kaderisasi Ulama STIBA Makassar. Ustaz Arfan datang membawa materi tentang urgensi zakat, bukan cuma dari sisi fikih, tapi juga dari sisi sosial dan spiritual.

    Acara diawali dengan pembacaan Al-Qur’an Surah At-Taubah ayat 33–35. Ayat yang membicarakan tentang bahaya menahan zakat ini menjadi pembuka yang menghentak kesadaran:
    “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritakanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.” (QS. At-Taubah: 34)

    Dalam kajiannya, Ustaz Arfan mengangkat tema “Kapan Harus Berzakat? Memahami Kriteria, Jenis, dan Waktu Zakat”. Bahasanya ringan, penjelasannya lugas, dan sesekali diselingi kisah yang membuat peserta mengangguk-angguk.

    “Zakat itu bukan cuma ibadah individual. Ia punya dampak sosial yang besar. Kalau semua orang yang wajib zakat benar-benar mengeluarkannya, maka tak ada lagi orang yang kelaparan di tengah kita,” ujar beliau.

    Ia juga menjelaskan perbedaan antara zakat maal dan zakat fitrah, serta menegaskan pentingnya memahami syarat-syaratnya agar tidak lalai dalam mengeluarkan.

    Suasana makin hidup saat sesi tanya jawab dibuka. Salah satunya, Ibu Risma Dg. Ngona bertanya,
    “Apakah zakat fitrah bisa dalam bentuk uang saja, bukan beras?”
    Dengan senyum ramah, Ustaz Arfan menjelaskan bahwa pendapat yang lebih kuat dan sesuai praktik Nabi—adalah zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk makanan pokok, bukan uang. “Kalau di Indonesia, ya beras,” tegas beliau.

    Sebagai penutup, Ustaz memberikan pesan yang menyentuh hati:
    “Ketika syarat zakat sudah terpenuhi, harta itu bukan milik kita lagi. Itu milik orang lain. Kalau kita menahan, artinya kita menahan hak mereka. Dan Allah tak tinggal diam pada orang yang menolak hak sesama,” ujarnya, mengutip surah al-Ma’un yang menyinggung orang yang pura-pura beragama tapi enggan membantu sesama.

    Namun, lanjut beliau, zakat bukanlah pengurang harta, justru ia pembersih, pembuka pintu keberkahan, dan penumbuh bisnis.
    “Tak ada orang miskin karena zakat. Yang ada, hartanya makin berkah.”

    Sebuah kajian yang sederhana, tapi menyadarkan. Dan begitulah, meski KKN VIII hampir usai, semangat berbagi dan menebar manfaat insyaallah tak akan berhenti di sini.

    Reporter: Aisyah Binti Abdurrahman
    Foto: Muhammad Nabigh Rosyid, Nurul Dwi Anastasya Putri Alisya dan Khansa Said Assa’di

  • Dari Memandikan hingga Menguburkan: Warga Tompobulu Belajar Urus Jenazah Sesuai Syariat

    Dari Memandikan hingga Menguburkan: Warga Tompobulu Belajar Urus Jenazah Sesuai Syariat

    (STIBA.ac.id) Maros   – Jumat siang (18/4/2025), warga Desa Tompobulu berkumpul di Masjid Al Ukhuwah, Dusun Arra, untuk mengikuti Pelatihan Penyelenggaraan Jenazah Sesuai Syariat Islam. Kegiatan ini digagas oleh mahasiswa KKN VIII STIBA Makassar yang tengah bertugas di desa tersebut, dan langsung dibimbing oleh pemateri berpengalaman, Ustaz Abdullah Abu Ubaidah dari Wahdah Islamiyah Maros.

    Meskipun cuaca cukup terik, puluhan peserta dari berbagai dusun tetap antusias menyimak materi lengkap tentang tata cara mengurus jenazah, mulai dari memandikan, mengafani, menyalatkan, hingga menguburkan sesuai sunah Nabi. Tidak hanya teori, acara juga dilengkapi dengan praktik langsung agar warga semakin paham dan percaya diri turun tangan saat dibutuhkan.

    “Pengurusan jenazah itu fardu kifayah, jadi memang perlu dipelajari sejak dini. Siapa tahu, besok kita yang diminta untuk mengurus jenazah tetangga atau keluarga,” pesan Ustaz Abdullah, seraya mengingatkan ayat Al-Qur’an:

    “Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati.” (QS. Ali Imran: 185)

    Warga pun aktif berdiskusi, terutama saat sesi tanya jawab. Banyak yang penasaran dengan detail teknis, seperti bagaimana cara memandikan jenazah dengan benar atau apa saja yang harus dihindari dalam prosesi pemakaman.

    Acara ditutup dengan harapan agar ilmu yang diperoleh bisa menjadi manfaat dan amal jariyah bagi semua pihak. “Semoga lewat pelatihan ini, masyarakat makin siap dan sadar bahwa kematian itu pasti. Jadi, selain bisa mengurus jenazah, kita juga makin semangat menyiapkan bekal untuk akhirat,” ujar salah satu panitia.

    Laporan: Fajrul Pratama
    Foto: Dok. Tim KKN STIBA Makassar

  • Jejak Pengajar Al-Qur’an dalam Mendidik Generasi Rabbani

    Jejak Pengajar Al-Qur’an dalam Mendidik Generasi Rabbani

    (STIBA.ac.id) Makassar – Sejumlah pengajar Al-Qur’an berkumpul dalam sebuah pertemuan di salah satu ruang kegiatan STIBA Makassar hari itu, Jumat (18/4/2025). Mereka datang bukan hanya untuk sekadar hadir, tapi untuk saling menguatkan, berbagi cerita, dan menyegarkan kembali niat dalam mendidik generasi.

    Acara ini memang khusus diadakan untuk para pengajar Al-Qur’an, sebagai bentuk apresiasi atas perjuangan mereka yang selama ini menjadi ujung tombak dalam menyampaikan risalah Al-Qur’an.

    Dalam sambutan pembuka, ketua panitia menyampaikan rasa syukur dan terima kasih atas kesabaran dan keikhlasan para guru yang terus menebar ilmu di tengah masyarakat.

    Materi inti disampaikan oleh Ustazah Rosmita yang mengangkat tema “Pengajar Al-Qur’an: Membangun Umat dan Mendidik Generasi”.

    Dalam penyampaian yang santai tapi mengena, beliau mengingatkan bahwa pengajar bukan hanya butuh ilmu, tapi juga ketulusan, pengorbanan, dan semangat untuk terus hadir di majelis-majelis ilmu.

    Beliau menukil sabda Rasulullah ﷺ, “Sesungguhnya Allah, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, bahkan semut di sarangnya dan ikan di laut, semuanya mendoakan orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. Tirmidzi).

    Peserta yang hadir tampak sangat antusias. Beberapa bahkan mencatat poin-poin penting dan berdiskusi ringan di sela acara.

    Setelah sesi materi, kegiatan dilanjutkan dengan konseling terbuka. Di sini para pengajar bisa menyampaikan unek-unek, tantangan, bahkan curhat ringan soal suka duka mereka dalam mendidik.

    Momen ini menjadi sangat berharga, karena ternyata bukan hanya ilmu yang dibawa pulang, tapi juga semangat baru dan perasaan bahwa mereka tidak sendiri dalam perjuangan ini.

    Di akhir acara, Ketua Panitia menutup dengan harapan yang menyentuh, “Semoga ilmu yang diajarkan para pengajar Al-Qur’an ini menjadi cahaya yang terus mengalir manfaatnya, tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat.”

    Sebuah pertemuan singkat, tapi membawa energi besar bagi para pendidik Al-Qur’an, mereka yang sedang dan akan terus membentuk generasi Rabbani.

  • UKM Lingkungan Hidup Galakkan Gerakan “Zero Waste”, Ajak Mahasiswa Melek Pengelolaan Sampah

    UKM Lingkungan Hidup Galakkan Gerakan “Zero Waste”, Ajak Mahasiswa Melek Pengelolaan Sampah

    (STIBA.ac.id) – Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lingkungan Hidup STIBA Makassar kembali menghadirkan terobosan menarik: Gerakan STIBA Zero Waste.

    Kegiatan ini bertujuan mengubah cara pandang mahasiswa terhadap sampah, mengusung tema “Meluruskan Cara Pandang Terkait Sampah”. Diselenggarakan pada Jumat, 18 April 2025, bertempat di lantai satu Masjid Anas bin Malik, acara ini sukses menyedot perhatian mahasiswa dalam jumlah besar.

    Antusiasme Mahasiswa Sangat Tinggi
    Mahasiswa datang dengan antusias, menunjukkan bahwa isu lingkungan bukan lagi hal sepele. Bahkan, Ketua Umum Dema STIBA, Irwansyah Syam, dan Kepala Bagian Kepesantrenan, Ustaz Sirajuddin Syarif, turut hadir dan membuka acara secara resmi.

    Sampah Bisa Jadi Berkah
    Pemateri kali ini adalah Muhammad Jaya Musa, S.T.P., seorang aktivis lingkungan yang telah berpengalaman dalam pengelolaan sampah di Kota Makassar. Dipandu oleh moderator Rahmat Endiarto Jaya selaku Ketua Umum UKM LH STIBA, sang pemateri menyampaikan pandangan inspiratif:

    “Sampah bisa jadi potensi kalau dikelola dengan benar. Di Jepang, sampah bahkan bisa diubah menjadi pupuk atau bahan industri. Jadi, jangan hanya dipandang sebagai masalah, tapi lihat juga sebagai peluang,” ujar Jaya Musa.

    STIBA Siap Kurangi Sampah
    Dalam pemaparannya, Ketua UKM LH STIBA juga mengungkap fakta yang cukup mengkhawatirkan:

    “Setiap hari, kampus kita bisa menghasilkan ratusan kilogram sampah. Jika tidak dikelola, sampah ini akan menumpuk dan menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan serta lingkungan. Maka dari itu, mari kita lebih bijak: kurangi, pilah, dan olah sampah dengan baik.”

    Acara ditutup dengan penyerahan cendera mata kepada pemateri dan sesi foto bersama seluruh pengurus UKM Lingkungan Hidup STIBA Makassar.

    Gerakan ini menjadi langkah awal menuju kampus yang lebih hijau dan bebas sampah.
    Ayo mulai dari diri sendiri, kurangi sampah dan jaga lingkungan!

    Reporter: Alif Anugrah

  • Awas Ujub! Amal Banyak, Tapi Gagal

    Awas Ujub! Amal Banyak, Tapi Gagal

    (STIBA.ac.id) Makassar — Departemen Pendidikan dan Pelatihan dari UKK Biro Rumah Tangga Masjid Anas bin Malik STIBA Makassar kembali menggelar agenda rutinnya: Taklim Pengurus. Kegiatan yang dilangsungkan pada Jumat, 19 Syawal 1446 H (18 April 2025) ini dirancang khusus untuk menyegarkan semangat para pengurus setelah melewati bulan Ramadan.

    Bukan cuma soal semangat, taklim ini juga menjadi momen penting untuk menjaga kekompakan dan memperkuat ukhuwah antarpengurus. Karena, ibadah dan kerja-kerja kebaikan tidak boleh selesai di bulan Ramadan saja, harus lanjut, harus konsisten.

    Hadir sebagai pemateri, Ustaz Sirajuddin Qasim, Lc., M.H. menyampaikan nasihat yang begitu dalam tentang pentingnya menjaga niat dan menghindari perasaan ujub, yaitu rasa takjub pada diri sendiri karena amal yang sudah dilakukan.

    Beliau mengingatkan lewat ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi ﷺ bahwa amal yang terlihat banyak bisa jadi tidak bernilai apa-apa jika dibarengi ujub.

    “Jangan sampai kita jadi orang yang ‘āmilah nāṣibah’, kerja keras tapi ujungnya malah masuk neraka. Amal bisa jadi debu yang beterbangan kalau tidak ikhlas,” tegas Ustaz Sirajuddin sambil mengutip QS. Al-Furqan: 23.

    Beliau juga mengangkat sabda Rasulullah ﷺ tentang tiga hal yang membinasakan:

    “Hawa nafsu yang diikuti, sifat kikir yang ditaati, dan ujub terhadap diri sendiri.”

    Pesan-pesan seperti ini sangat relevan di akhir Ramadan, saat seseorang bisa saja merasa “sudah cukup” ibadah dan amalnya. Padahal, orang-orang saleh justru selalu khawatir amal mereka tidak diterima.

    “Kalau tahu satu amal kita diterima, rasanya sudah cukup buat wafat,” kata Abu Darda’, sahabat Nabi ﷺ, yang dikutip dalam taklim ini.

    Suasana taklim di Masjid Anas bin Malik ini berlangsung hangat dan penuh renungan. Para pengurus pun merasa terbekali kembali dengan semangat untuk terus memperbaiki niat dan menjaga konsistensi amal, bahkan setelah Ramadan pergi.

    ✍🏻 Reporter: Jalal Hamdi

  • Bahas Fikih Tani dan Keluarga dengan Bahasa Makassar, Warga Tanete Antusias

    Bahas Fikih Tani dan Keluarga dengan Bahasa Makassar, Warga Tanete Antusias

    (STIBA.ac.id) Maros — Jemaah dari berbagai dusun berdatangan, mengisi saf demi saf untuk mengikuti kegiatan spesial bertajuk “Fikih Tani dan Keluarga” yang diadakan oleh mahasiswa KKN VIII STIBA Makassar Posko 1. Kegiatan ini berlangsung di Masjid Roudatul Muflihin di Dusun Lempangan, Desa Tanete, usai Magrib, Kamis (17 April 2025).

    Bukan tanpa alasan tema ini diangkat. Hampir 90% warga di Tanete menggantungkan hidup sebagai petani dan pekebun. Jadi, kegiatan ini memang dirancang untuk menjawab kebutuhan mereka, bagaimana sih Islam memandang aktivitas bertani? Apa saja hukum dan keutamaan di balik pekerjaan harian mereka? Dan bagaimana membangun keluarga yang sakinah, meskipun hidup di desa yang jauh dari hiruk pikuk kota?

    Ustaz Sirajuddin Qosim, Lc., M.H. hadir sebagai narasumber utama. Dengan gaya penyampaian yang tenang dan berbahasa Makassar, beliau menjelaskan pentingnya memahami fikih dalam dua hal yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat: ladang dan rumah.

    Suasana makin hidup ketika sesi tanya jawab dibuka. Jemaah antusias bertanya, bahkan ada yang menyangka acara masih berlanjut setelah Isya karena saking asyiknya bahasan malam itu. Salah satu jemaah bahkan berseru, “Kegiatan seperti ini sangat bermanfaat, apalagi disampaikan dengan bahasa yang kami pahami!”

    Tak hanya warga biasa yang merasakan manfaat kegiatan ini. Ibu Rosmiati, penyuluh agama Maros yang turut hadir, menyampaikan apresiasinya kepada mahasiswa KKN.

    “KKN STIBA benar-benar memberi warna bagi kami. Kalau bisa diminta, kami ingin mereka tinggal sepekan lagi di sini. Kami berharap suatu saat STIBA Makassar bisa kembali ke Desa Tanete,” ucapnya dengan penuh haru.

    Sebagai penutup, para mahasiswa juga menebar kebahagiaan dengan membagikan bingkisan kepada para jemaah. Wajah-wajah ceria mengiringi langkah pulang malam itu, membuktikan bahwa ilmu agama yang disampaikan dengan bahasa hati akan selalu sampai dan berbekas.

    Dari Desa Tanete, semangat menuntut ilmu dan memperbaiki kehidupan terus tumbuh. Dan mahasiswa KKN VIII STIBA Makassar merasa bersyukur bisa menjadi bagian kecil dari perjalanan itu.

    ✍🏻 Jurdan Kandani