(STIBA.ac.id) Makassar – Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (STIBA) Makassar membuka lembaran baru pada Tahun Ajaran 1445—1446 H/2023—2024 M dengan pelaksanaan Kuliah Perdana. Kegiatan ini menandai awal Semester Genap dan melibatkan seluruh komunitas akademik STIBA Makassar.
Pembicara pada kuliah perdana ini adalah Dr. Khoirul Umam, M.Ec., Wakil Rektor III Universitas Darussalam (Unida) Gontor. Dalam paparannya, Dr. Khoirul Umam membahas perbandingan antara sistem pendidikan pesantren yang bersifat holistik, integratif, dan tauhidik dengan sistem pendidikan sekuler.
Menurutnya, sistem pendidikan di pesantren menjunjung tinggi kesatuan antara iman, ilmu, dan amal. Pendidikan pesantren mengajarkan akidah, syariah, dan akhlak sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Olah zikir, olah pikir, olah rasa, dan olah raga merupakan bagian integral dari pendidikan pesantren.
Sementara sistem pendidikan sekular sering kali memiliki dualisme antara ilmu agama dan ilmu umum. Dalam sistem ini, ilmu agama terkadang dipandang hanya sebagai ritual ibadah dan tidak terkait dengan ilmu pengetahuan.
Dr. Khoirul juga memaparkan isu-isu terkait tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG) dan dampak negatif dari pembangunan yang merusak lingkungan. Ia juga menyoroti pengaruh perusahaan multinasional serta penggunaan teknologi modern yang justru merusak lingkungan.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dalam konteks permasalahan pembangunan dan ekonomi, penting untuk mempertimbangkan hukum-hukum fikih terkait dengan praktik-praktik yang dapat merusak lingkungan dan masyarakat.
“Coba yang Prodi Perbandingan Mazhab. Apa hukum dalam fikih terkait pertanian yang merusak tanah? Ini yang perlu dipikirkan jawabannya. Jangan hanya berkutat pada perbandingan mazhab saja, tapi tidak peka terhadap apa yang terjadi di masyarakat. Ulama Fikih itu menyelesaikan masalah umat,” tegasnya.
Menurutnya, para ahli fikih memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang hukum-hukum yang diberikan oleh Allah, dan keterlibatan mereka dalam pemecahan masalah ekonomi bisa menjadi lebih relevan dan bermanfaat.
Formalitas dan gelar juga menjadi pembahasan Dr. Khoirul dalam kuliahnya. Menurut Wakil Rektor III Unida ini, formalitas seperti gelar dan ijazah memiliki nilai penting dalam beberapa konteks, terutama dalam pengakuan masyarakat objek dakwah dan reputasi institusi. Namun, pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang suatu masalah tetap menjadi faktor kunci dalam memberikan solusi yang benar.
Dalam lanjutan materinya, narasumber juga menyebutkan bahwa Al-Qur’an menyebutkan banyak sifat manusia yang menunjukkan kelemahan kita. Sifat-sifat ini seharusnya tidak dijadikan alasan untuk menjadi manusia yang serakah atau egois. Namun humanisme dalam pandangan Barat justru menganggap sifat-sifat ini sebagai bagian dari fitrah manusia. Berbeda dengan Islam yang justru mengingatkan untuk mengendalikan potensi serakah tersebut.
“Kapitalisme itu apa? Kapitalisme berbasis pada keyakinan bahwa manusia itu makhluk yang serakah. Apakah Al-Qur’an menyebut kita memiliki potensi serakah? Ia, tapi Al-Qur’an menyebutkan hati-hati kamu punya potensi itu, ikutilah aturan supaya kamu tidak serakah,” ungkapnya.
Dr. Khoirul juga mengatakan bahwa ia mengamati karakteristik peradaban sekuler di Barat yang sering kali muncul dalam bentuk dualisme atau dikotomi. Ada banyak konsep dan ideologi yang tampaknya berlawanan dan berusaha untuk mengatasi satu sama lain, seperti individualisme dan sosialisme, kuantitatif dan kualitatif, empirisisme dan rasionalisme, serta feminisme dan maskulinisme.
Dalam Islam, menurut Dr. Khoirul, pendekatan yang seimbang dan holistik ditekankan. Al-Qur’an mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki dimensi rohaniah dan jasmani, dan keseimbangan antara keduanya diperlukan untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan. Konsep ini juga tercermin dalam pandangan tentang gender, di mana laki-laki dan perempuan dianggap sebagai pasangan yang saling melengkapi dalam berbagai aspek kehidupan.
Terkait perbedaan mendasar antara pendidikan modern dan pandangan Islam terhadap manusia, Ustaz Khoirul mengatakan bahwa pendidikan modern kadang-kadang dianggap mereduksi nilai-nilai manusia menjadi sekadar calon pekerja yang disiapkan untuk industri. Hal ini dikaitkan dengan fokus pendidikan pada penciptaan tenaga kerja yang hanya cocok dengan kebutuhan industri, yang dapat mengarah pada pandangan bahwa manusia hanya dianggap sebagai faktor produksi atau modal.
Namun, pandangan pendidikan dalam Islam lebih mendalam. Dalam Islam, manusia dianggap sebagai hamba Allah (‘abdullah) yang memiliki tujuan hidup yang lebih tinggi, yaitu untuk mengabdikan diri kepada Allah dan menjadi khalifah-Nya di bumi. Sebagai khalifah, manusia memiliki tanggung jawab untuk mengelola bumi dengan sebaik-baiknya, menjaga lingkungan, serta mensejahterakan umat manusia.
Lebih lanjut, pendidikan dalam Islam menurut Ustaz Khoirul sangat komprehensif. Di pesantren, kita tidak hanya menerima taklim (pengajaran), tetapi juga tarbiah (pembinaan). Dalam kelas, dosen mentransfer pengetahuan (knowledge), tetapi di sisi lain juga ada konsep tarbiah. Di sinilah kita mengayomi, mengarahkan, dan saling membimbing dengan penuh perhatian. Ada proses pemberian bimbingan (ta’dib) untuk membentuk adab. Orang yang memiliki adab mengerti bagaimana menempatkan sesuatu pada tempatnya, bersikap adil, dan tidak zalim.
“Anak-anak di pesantren akan mengalami proses ta’dib, di mana mereka akan diajar untuk memahami adab dan tata krama dengan baik. Jika mereka melanggar aturan atau tidak menunjukkan adab yang baik, mereka akan mendapatkan teguran atau sanksi. Ini adalah bagian dari proses pembelajaran adab yang benar,” jelas Dr. Khoirul.
Pada penutup kuliahnya, narasumber menyebutkan satu tantangan utama yang dihadapi saat ini, yaitu adanya kesenjangan antara pendidikan agamis tradisional dan pendidikan sekuler modern dalam masyarakat Islam.
Model pertama menitikberatkan pada pendidikan agama dengan ilmu umum dianggap kurang relevan. Sebagai contoh, ilmu ekonomi atau politik dianggap haram, padahal dalam fikih terdapat konsep seperti fiqhus siyasah yang berkaitan dengan tata kelola politik dan ekonomi. Fenomena ini menunjukkan adanya kesenjangan dalam pendidikan.
Di sisi lain, ada orang-orang yang mendapatkan pendidikan modern dengan ilmu-ilmu umum seperti di sekolah formal. Namun, pendidikan agama yang mereka terima sering kali terbatas pada hal-hal ritual seperti salat dan puasa. Pemahaman mereka tentang agama menjadi sempit, hanya fokus pada aspek-aspek ritual tanpa memahami pandangan hidup yang lebih luas yang diajarkan oleh Islam.
Ini menghasilkan dua tipe individu dalam masyarakat Islam: yang satu mengerti agama tetapi tidak melek masalah ekonomi, sementara yang lain mengerti ekonomi tetapi tidak memiliki pemahaman agama yang komprehensif. Hal ini menyebabkan ketidaknyambungan dalam membangun peradaban Islam, karena kedua kelompok ini tidak saling melengkapi.
Di sinilah peran strategis perguruan tinggi seperti STIBA Makassar dalam mengatasi tantangan ini dengan mengintegrasikan kedua aspek tersebut, menciptakan mahasiswa yang memiliki pemahaman holistik tentang Islam dan ilmu-ilmu modern. Mereka diharapkan dapat menggabungkan prinsip-prinsip agama dengan praktik ekonomi yang baik, serta memahami prinsip-prinsip maslahah dalam konteks hukum Islam.
Dengan pemahaman yang holistik ini, Dr. Khoirul berharap mahasiswa STIBA dapat memainkan peran penting dalam membangun masyarakat Islam yang beradab dan sejahtera. Selain itu, pemahaman dan penguasaan bahasa Arab juga memiliki peran yang krusial dalam memahami ajaran Islam dengan lebih mendalam, terutama dalam memahami Al-Qur’an dan syariah Islam.
