(STIBA.ac.id) Makassar – Ustaz Hasyir, S.Pd.I., mengawali kisahnya dengan mengenang masa-masa awal ketertarikannya pada Islam.

“Saya mulai tertarik mendalami Islam saat masih SMA,” ujarnya.

Saat itu, ia aktif di Ikatan Remaja Masjid Mardhiyah (Ikrema). Dari sanalah ia mulai mengenal lingkungan yang lebih luas, berinteraksi dengan ikhwan dari Yayasan Fathul Muin—yang kini dikenal sebagai Wahdah Islamiyah. Ia juga mendapat bimbingan langsung dari Ustaz Umar Shaleh rahimahullah.

Ketertarikan itu terus tumbuh, seperti bara kecil yang ditiup angin, perlahan menjadi nyala yang semakin terang. Hasyir tidak hanya puas dengan kajian-kajian singkat, ia ingin lebih dalam lagi.

Keinginannya semakin kuat setelah mengikuti pembinaan di Masjid Wihdatul Ummah dan sebuah daurah bahasa Arab selama satu bulan yang dibimbing oleh Ustaz Aswanto Muh. Takwi.

“Saat itu, saya merasa menemukan sesuatu yang hilang dalam diri saya,” katanya dengan senyum tipis.

Baginya, bahasa Arab adalah jendela menuju dunia baru. Sejak saat itu, ia mulai membayangkan bagaimana rasanya mendalami Islam lebih dalam dan memahami kitab-kitab langsung dari sumber aslinya.

Keputusan untuk melanjutkan studi ke STIBA Makassar pun akhirnya diambil. Itu bukan keputusan yang mudah.

Di masa itu, STIBA masih dalam tahap awal, dan memilih jalan dakwah berarti harus siap dengan segala keterbatasan.

Namun, Hasyir yakin bahwa di setiap langkah yang diambil, ada berkah yang menanti di ujung perjalanan.

Mengikuti Program Tarabbush

Hasyir menarik napas sejenak, seakan mengumpulkan kembali kepingan-kepingan memori yang telah lama tersimpan.

“Seharusnya, Program al-I’dad al-Lughawy berlangsung selama dua tahun. Tapi, angkatan kami hanya menjalani satu setengah tahun. Januari 2001, kami menyelesaikan program itu, tapi ada satu ganjalan besar—kami belum bisa melanjutkan ke tahap berikutnya (Program Takmili),” kenangnya.

Untuk mengisi kekosongan, sebuah keputusan pun diambil: para alumni harus turun ke lapangan. Bukan sekadar mengisi waktu, tetapi juga belajar dari kehidupan nyata. Mereka ditugaskan ke berbagai daerah, mendampingi para dai, menyebarkan cahaya dakwah.

Beberapa dari mereka dikirim ke Ambon, sementara yang lain ke Parigi atau kembali ke kampung halaman masing-masing. Hasyir sendiri, bersama Putra Utomo Thalib dari Gorontalo, mendapat tugas ke Ternate, Maluku Utara.

Keputusan itu bukan tanpa rintangan. Keluarga mereka, terutama orang tua, merasa berat untuk melepas kepergian mereka. Mereka tahu bahwa daerah-daerah tujuan itu masih jauh dari ketenangan. Konflik masih membara di banyak titik. Namun, Hasyir dan Putra berusaha meyakinkan keluarga mereka.

“Insyaallah, kami akan baik-baik saja. Ini adalah jalan yang harus kami tempuh,” katanya kepada mereka.

Akhirnya, dengan doa dan restu orang tua, mereka pun berangkat. Begitulah awal langkah Hasyir meninggalkan Sulawesi Selatan, menyeberang ke Maluku Utara, menuju episode baru dalam hidupnya—sebuah perjalanan yang bahkan tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Ketika Mendapat Kabar Akan Diutus ke Maluku Utara Pasca-Konflik

Sebelum Hasyir dan Putra berangkat untuk tarabbush, mereka sudah mendengar tentang konflik yang melanda beberapa daerah.

Kejadian yang merenggut banyak nyawa dan meninggalkan jejak luka yang dalam. Mereka tahu bahwa sudah banyak pihak yang datang memberikan bantuan, termasuk para dai yang diutus untuk berdakwah di wilayah-wilayah konflik tersebut.

Di antara mereka, tersimpan rasa penasaran yang besar. Ada keinginan untuk melihat langsung bagaimana kondisi di sana, ingin menjadi bagian dari upaya kebaikan itu.

Namun, di balik keinginan tersebut, ada satu hal yang lebih besar: bagaimana tanggapan orang tua mereka?

Mereka sadar, tidak mungkin berangkat tanpa restu keluarga. Pasti ada kekhawatiran—bagaimanapun, orang tua mana yang hatinya akan tenang membiarkan anaknya pergi ke tempat yang baru saja dilanda konflik?

Namun, dengan penuh keyakinan, mereka berusaha meyakinkan orang tua masing-masing.

“Kami tidak pergi untuk mencari bahaya, tapi untuk menyebarkan kebaikan. Insyaallah, kami akan aman di sana,” ujar Hasyir kepada keluarganya.

Hingga akhirnya, dengan doa dan restu mereka, Hasyir pun berangkat, melangkah menuju medan yang telah menanti.

Gambaran Maluku Utara Saat Itu

Saat Hasyir dan Putra tiba di Maluku Utara, kondisi masih jauh dari kata stabil. Sisa-sisa konflik masih begitu nyata.

Rumah-rumah yang hangus terbakar berdiri seperti saksi bisu, mengingatkan betapa dahsyatnya peristiwa yang terjadi. Kota yang dulu ramai kini terasa berbeda—sepi, penuh kehati-hatian.

Masyarakat yang sebelumnya hidup berdampingan kini terpisah. Kubu-kubu yang bertikai memilih untuk tidak bercampur, masing-masing masih membawa luka, menyimpan sisa-sisa amarah yang belum sepenuhnya padam.

Banyak di antara mereka yang memilih meninggalkan rumah, mengungsi ke tempat yang lebih aman, berharap bisa memulai kembali hidup dari awal.

Di sudut-sudut kota, aparat kepolisian dan TNI berjaga ketat. Mereka hadir untuk memastikan tidak ada lagi percikan api yang bisa menyulut konflik baru.

Namun, meski kehadiran aparat memberi rasa aman, ketegangan tetap terasa di udara—seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

Tantangan Terbesar Selama Berdakwah di Maluku Utara

Awalnya, Hasyir dan Putra Utomo Thalib dari Gorontalo ditugaskan di Ternate, membantu seorang dai bernama Abu Zakariyah Maryono yang sudah lebih dulu berdakwah di sana.

Namun, baru empat hari mereka menetap, tiba-tiba tugas mereka berubah. Mereka dipindahkan ke Pulau Bacan—sebuah perjalanan panjang yang menguras tenaga dan kesabaran.

Foto Ustaz Hasyir, S.Pd.I. saat ini dengan latar Pulau Bacan Maluku Utara

Dari Ternate ke Bacan, mereka harus menempuh perjalanan laut selama sembilan jam menggunakan kapal kayu. Ombak yang mengguncang, angin laut yang menusuk, dan ketidakpastian menjadi teman perjalanan mereka saat itu.

Sesampainya di Pulau Bacan, perjalanan mereka belum usai. Mereka dibawa ke Desa Geti Lama, sebuah desa kecil yang masih menjadi bagian dari Pulau Bacan, tetapi tidak bisa dijangkau melalui jalur darat.

Satu-satunya cara untuk mencapainya adalah dengan menaiki speedboat milik pemerintah setempat, menyeberangi laut selama kurang lebih dua puluh menit.

Desa Geti Lama bukan tempat yang mudah untuk ditinggali. Terpencil, terbelakang, dan hancur akibat konflik. Listrik belum menjangkau desa itu, membuat malam-malam mereka gelap gulita. Setiap kali matahari tenggelam, satu-satunya cahaya berasal dari lampu minyak atau obor buatan warga.

Di tempat seperti ini, tantangan bukan hanya soal fisik, tetapi juga mental. Mereka datang dengan semangat berdakwah, tetapi realitas di lapangan jauh lebih berat dari yang dibayangkan.

Tidak hanya fasilitas yang minim, tetapi kondisi psikologis masyarakat pun masih tertekan akibat konflik yang baru saja usai.

Rasa takut dan curiga masih menyelimuti sebagian besar penduduk. Membuka hati mereka untuk menerima dakwah bukan perkara mudah. Namun, di tengah segala keterbatasan, mereka tetap berusaha.

Setiap hari adalah perjuangan. Dan setiap perjuangan adalah ladang amal yang mereka tanam dengan penuh harap.

Penerimaan Masyarakat terhadap Para Dai

Masyarakat di sana mayoritas adalah para mualaf. Antusiasme mereka untuk belajar Islam begitu besar, terutama di kalangan anak-anak yang ingin mengaji.

Foto Desa Geti Lama

Setiap kali halakah kecil dibuka atau sekadar diajarkan bacaan Al-Qur’an, mata mereka berbinar, seolah menemukan sesuatu yang lama mereka cari.

Namun, semangat itu tidak selalu bertahan lama. Ada kalanya mereka merasa jenuh, ada kalanya rasa malas menyusup di antara mereka.

Tidak mudah mengajak mereka untuk konsisten belajar. Tetapi Hasyir dan Putra memahami itu.

Maka, mereka tidak hanya mengajar di masjid atau di rumah-rumah. Kadang, mereka ikut ke laut, membantu menarik jaring, merasakan asin ombak di kulit.

Kadang, mereka berjalan ke dalam hutan, menyusuri rimbunnya pepohonan, atau sekadar bertamu ke rumah-rumah warga, duduk di beranda sambil berbincang santai.

Di sela-sela obrolan ringan itulah, mereka menyelipkan nasihat, menyampaikan ilmu dengan cara yang lebih akrab.

 Karena bagi masyarakat di sana, dakwah bukan hanya soal ceramah di mimbar—tetapi tentang kebersamaan, tentang bagaimana para dai hadir sebagai bagian dari mereka.

Momen Berkesan dan Tantangan Terberat

Tinggal di tempat orang lain tidak pernah semudah yang dibayangkan. Budaya yang berbeda, bahasa yang asing di telinga, makanan yang jauh dari kebiasaan—semuanya menjadi bagian dari ujian yang harus dihadapi. Namun, justru di situlah letak pelajaran dakwah yang sesungguhnya.

Di Desa Geti, makanan pokok masyarakatnya bukan nasi, melainkan ubi dan pisang rebus. Mau tidak mau, Hasyir pun harus menyesuaikan diri.

Awalnya, rasanya berat. Lidah yang terbiasa dengan nasi tiba-tiba harus menerima kenyataan bahwa tidak ada yang bisa dikonsumsi selain ubi dan pisang.

Jika ingin makan nasi, mereka harus membelinya di Kota Bacan, yang hanya bisa dicapai dengan perahu.

Masalahnya, perahu pengangkut penumpang hanya berangkat sekali dalam sepekan, itupun jika tidak ada kendala. Jika tertunda, maka mereka harus menunggu hingga Jumat berikutnya.

Namun, di tengah keterbatasan itu, ada hal yang patut disyukuri. Mereka tidak pernah kekurangan ikan segar, hasil tangkapan langsung dari laut. Rasanya luar biasa, seakan menjadi penghibur di tengah kesederhanaan hidup di sana.

Tapi bukan soal makanan yang menjadi tantangan terbesar. Membina masyarakat yang baru mengenal Islam adalah tugas yang tidak mudah.

Ada keinginan belajar, tapi ada juga kebiasaan lama yang sulit ditinggalkan.

“Butuh kesabaran, butuh pendekatan, dan yang paling penting, butuh keikhlasan,” ujar Hasyir.

Mereka harus menjadi bagian dari masyarakat, menyelami kehidupan mereka, agar dakwah ini benar-benar bisa diterima.

Pelajaran Berharga dari Dakwah di Daerah Pasca-Konflik

Dalam menyebarkan dakwah, satu hal yang benar-benar dipelajari Hasyir adalah bahwa ketakutan tidak boleh menjadi penghalang.

Setiap tempat, setiap keadaan, pasti memiliki tantangannya sendiri. Jika seseorang terjebak dalam ketakutan, maka langkahnya akan berhenti bahkan sebelum sempat dimulai.

Suatu kali, Hasyir berbincang dengan Putra. Dengan nada serius, ia berkata, “Seandainya mereka (pihak Kristen) berniat berkhianat, maka habislah kita. Kita ini seperti terbuang di tempat ini, jauh dari siapa pun yang mengenal kita. Jika sesuatu terjadi, kawan-kawan kita pun tak akan tahu di mana jejak kita terakhir.”

Namun, di situlah mereka belajar tentang keikhlasan dan tawakal. Mereka bersyukur, masyarakat di sana menerima mereka dengan baik.

Itu membuktikan bahwa di balik semua ketegangan dan luka akibat konflik, masih ada hati-hati yang haus akan kebenaran, masih ada jiwa-jiwa yang butuh bimbingan.

Dan selama masih ada mereka, maka dakwah tidak boleh berhenti.

Nasihat untuk Para Dai yang Akan Dikirim ke Daerah

Jangan pernah gundah atau ragu saat melangkah di jalan dakwah. Ini bukan sekadar perjalanan biasa—ini adalah jejak yang telah ditempuh para nabi dan rasul.

Dan jalan ini, tak pernah dijanjikan mudah. Hanya mereka yang sabar, yang teguh, yang tak gentar oleh lelah dan ujian, yang akan merasakan manisnya buah dari perjuangan ini.

Mungkin ada hari-hari di mana lelah terasa lebih berat dari semangat. Mungkin ada saat-saat di mana keheningan membuat ragu.

Tapi ingatlah, dakwah selalu menemukan jalannya sendiri, selama ada hati yang siap bertahan dan tangan yang terus berpegang teguh pada kebaikan.

Loading