
(STIBA.ac.id) Makassar – Malam ramah tamah wisudawan-wisudawati IAI STIBA Makassar ke-8 pada Jumat, 15 Agustus 2025, di Hotel Four Points, berubah menjadi lautan emosi. Ada tawa, ada tangis, ada cerita-cerita pribadi yang mengalir jujur dari hati perwakilan wisudawan dan wisudawati.
Dari Introvert Menjadi Lebih Berani
A. Liliana Zarkia, S.H., yang mewakili para wisudawati melalui rekaman video, memulai dengan kisah sederhana tapi mengena.
“Awalnya saya introvert, jarang bergaul, bahkan hampir tak punya banyak teman,” tuturnya. Tapi kehidupan asrama STIBA mengubah banyak hal. Hidup bersama teman-teman dengan beragam karakter membuatnya belajar memahami orang lain, bahkan belajar mengelola luka hati.
“Dari situ saya akhirnya jatuh cinta dengan kehidupan asrama yang unik ini,” tambahnya dengan suara bergetar.
Keputusan memilih STIBA juga bukan jalan yang mudah baginya. Ia pernah harus mundur dari kampus lain setelah istikharah. “Awalnya berat, tapi Allah ternyata siapkan jalan terbaik di sini. STIBA membuat saya jatuh cinta, meski kampus ini dulu bahkan tak masuk daftar impian saya.”

Cinta Baru pada Bahasa Arab
Liliana melanjutkan, awalnya ia bercita-cita jadi arsitek. Tapi di STIBA, ia justru jatuh cinta pada ilmu bahasa Arab. Dari sekadar menghafal “huwa, huma, hum”, kini ia bisa berdebat soal struktur kalimat. Ia bahkan bercerita betapa kagumnya pada ilmu sharaf: “Dari satu kata ‘ghafara’, lahir ghaffar, ghafur, maghfirah, istighfar. Semakin belajar, semakin penasaran, semakin cinta.”
Momen paling berkesan baginya adalah sidang munaqasyah. Bukan pertanyaan ilmiah yang membuatnya terdiam lama, tapi pertanyaan sederhana: “Apa harapan dan saran untuk kampus ini?”
“Saat itu yang muncul hanyalah kenangan, dari awal masuk hingga kini menjelang akhir. Yang bisa saya berikan hanyalah doa, bukan saran. Karena saya tahu semua sudah diusahakan dengan sangat baik,” ucapnya penuh rasa.
Suara Wisudawan: Cinta yang Belum Matang
Di sisi lain, Firmansyah, S.H., mewakili para wisudawan, membawa nuansa lebih ringan tapi tetap mengena. Ia membacakan kesan-kesan teman-temannya yang penuh warna.
Seorang wisudawan asal Pinrang, misalnya, mengenang kampus sebagai rumah kedua. Dengan jujur ia berkata, “Terima kasih karena di sini aku boleh salah, lalu belajar memperbaiki diri. Maaf kalau dulu suka titip absen, masuk kelas telat, atau izin ke WC tapi ternyata ke masjid buat tidur atau murajaah. Itu semua mungkin bentuk cinta yang belum matang.”
Kini, lanjutnya, saat harus pergi, rasanya berat. “Bangku kuliah yang dulu sering dikutuk, kini justru dirindukan.”
STIBA: Lebih dari Sekadar Kampus
Ada juga pesan dari wisudawan asal Bombana yang gemar membaca dan menulis. Dengan lantang ia berkata, “STIBA bukan cuma kampus, STIBA adalah rumah. Tempat kita menangis dalam doa, tertawa dalam ukhuwah, dan tumbuh dalam tarbiah.”
Kebersamaan di STIBA memang penuh perjuangan. Ada yang harus merantau jauh dari keluarga, ada yang bekerja sambil kuliah, ada yang sibuk organisasi, dan ada yang diam-diam berjuang tanpa banyak cerita.
“Tapi kita semua sama-sama pernah bangun Subuh dengan mata setengah terbuka, makan seadanya karena uang pas-pasan, ikut dirasah ta’shiliyah sambil menahan kantuk, atau mengerjakan tugas di tengah malam. Dari situ kita tumbuh, bukan karena mudah, tapi karena kita memilih untuk tidak berhenti,” tutur Firmansyah menggambarkan.
Terima Kasih yang Tak Terhingga untuk Orang Tua
Bagian yang paling menyentuh hati adalah ungkapan terima kasih.
“Kami tahu, tidak semua dari kami datang dari jalan yang mudah. Ada orang tua yang harus bekerja siang malam, ada yang menahan sakit, menahan lelah, bahkan menahan keinginan demi anaknya bisa kuliah. Ada yang pura-pura tenang padahal sedang kesulitan. Ada yang diam-diam berutang. Tapi mereka tak pernah lupa mendoakan nama kami di setiap malam,” ucapnya lirih.
“Kalau kami sampai di titik ini, itu bukan semata karena kerja keras kami. Tapi karena doa yang tidak pernah berhenti.”
Kenangan Indah dan Pesan untuk Adik Tingkat
Pesan khusus juga dititipkan untuk adik-adik tingkat, “Perjalanan ini tidak mudah, tapi sangat layak. Jangan takut lelah, karena nanti semua lelah itu akan jadi kenangan paling indah.”
Firmansyah pun menutup dengan refleksi yang manis:
“Kita pernah berbagi cerita, berbagi mimpi, bahkan berbagi Indomie di akhir bulan. Itu yang membuat kita keluarga, meski nanti jarang bertemu.”
Mengenang Dosen yang Telah Tiada
Ada pula kenangan khusus yang membuat ruangan hening. Seorang wisudawan asal Gowa menyebut nama almarhum Ustaz Hamuddin Poko.
“Beliau pernah membimbing kami di perpustakaan. Sayang, Allah lebih dulu memanggilnya. Tapi nasihat dan perjuangan beliau akan selalu hidup dalam ingatan kami,” katanya penuh doa.
Harapan ke Depan
Akhirnya, para wisudawan menutup pesan mereka dengan doa dan harapan:
“Semoga STIBA tidak hanya mencetak lulusan, tapi terus menjadi rumah bagi yang haus ilmu dan dakwah. Semoga kita semua wafat di jalan pengabdian, dan kampus tercinta ini tetap jadi oase di tengah kerasnya kehidupan.”
Acara malam itu benar-benar meninggalkan jejak emosional. Bagi para wisudawan, STIBA bukan sekadar tempat belajar. Ia adalah rumah—rumah yang membentuk karakter, mempererat persaudaraan, dan menjadi bagian dari kisah hidup mereka selamanya.