(STIBA.ac.id) Bireuen, Aceh – Hujan mulai turun pada hari Jumat itu, 21 November 2025. Deras, tanpa henti. Dari balik jendela Rumah Qur’an Al-Izzah, kami memantau langit yang terus menumpahkan airnya. Berita bencana mulai berdatangan, erupsi Semeru, longsor di Cilacap. Meski jauh dari Bireuen, hati mulai merasakan kegelisahan.
AMANAH DARI BALIK TSUNAMI
Rumah Qur’an Al-Izzah didirikan sejak 2011, sebuah amanah dari pesan terakhir Abi kami yang wafat dalam Tsunami 2004. Pesannya sederhana namun mendalam,
“Ke manapun dan di manapun kalian berada, tetaplah bernaung bersama Al-Qur’an.”
Berpegang pada pesan itu, Umi mewakafkan rumah pribadi kami untuk menjadi tempat para penghafal Al-Qur’an. Alhamdulillah, tahun-tahun berikutnya kami membuka SD penghafal Al-Qur’an. Dari pagi hingga pukul 22.15 malam, lantunan ayat suci terus bergema di setiap sudut rumah. Anak-anak kecil dengan suara merdu melantunkan kalam Ilahi, menghidupkan rumah dengan keberkahan.
Hingga hujan itu datang dan tidak berhenti selama empat hari.
HARI-HARI YANG MENEGANGKAN
Selasa, 25 November, hujan semakin deras. Curah hujan meningkat drastis, jauh lebih tinggi dari hari-hari sebelumnya. Jika sempat berhenti, tidak sampai semenit kemudian turun lagi dengan derasnya.
Malam harinya, kami sekeluarga duduk bersama Umi menatap hujan dari jendela. Tiba-tiba terdengar ketukan keras di pintu. Tetangga datang memberitahu bahwa air mulai masuk dari belakang rumah mereka. Kami sempat bingung dari mana datangnya air, ternyata saluran di belakang sekolah sudah tidak mampu menampung debit hujan. Di bawah guyuran hujan, kami harus membobol sedikit pondasi tembok agar air bisa mengalir ke parit.
Tak lama, Abang (Munadil Haq, S.H., juga alumni IAI STIBA Makassar, angkatan 2015) datang dari kampung sebelah untuk mengecek keadaan kami. Irigasi depan rumah masih tampak normal meski airnya tinggi. Kami sempat memeriksa ruang kelas di lantai 2, membersihkan bocoran atap di sana-sini. Sekitar pukul 12 malam, Abang pamit pulang.
Saat Abang hendak keluar, kami terkejut melihat irigasi depan rumah. Saluran yang biasanya kecil itu tiba-tiba meluap dan melebar hingga 7 meter. Abang yang melihat kondisi itu langsung bergegas pulang untuk menyelamatkan istri dan anaknya.
Kami tidak bisa tidur. Terus memantau air lewat CCTV. Dari media sosial, kami melihat air banjir sudah masuk ke rumah-rumah warga di kampung sebelah. Barang-barang mulai kami angkat ke tempat yang lebih tinggi.
PUKUL 02.00: TEMBOK ROBOH
Dini hari 26 November, air dengan cepat meluas ke badan jalan dan memasuki pagar rumah. Arus begitu deras karena jarak irigasi dan rumah sangat dekat. Umi keluar untuk membuka lubang air meski arus sudah setinggi lutut.
Saya masuk ke rumah untuk menghubungi suami di Arab Saudi memberitahu situasi. Anak kami yang 4 tahun terbangun dan sempat video call dengan Abahnya (Auladun Abrar, S.H., alumni IAI STIBA Makassar, angkatan 2015). Saya kemudian mengecek situasi dari dekat jendela.
Tiba-tiba terdengar suara dentuman keras disertai gemuruh dan pecahan kaca. Saya gemetar, suara tercekat.
“Tolong lihat Umi! Ada apa di samping?” teriak saya pada adik.
Saya ikut berlari keluar, tapi tersadar anak saya masih di dalam kamar. Saya bergegas menggendongnya keluar.
Ternyata tembok pagar samping rumah roboh dihantam arus air. Alhamdulillah, Umi selamat tanpa kurang suatu apapun. Beliau masuk dengan tenang dan berkata, “Tenang, nggak apa-apa, Insyaallah aman.”
Kalimat Umi selalu menjadi penenang, meski kami semua tahu kondisi sedang tidak baik-baik saja. Trauma Tsunami 2004 sempat melintas di benak saya melihat derasnya arus itu.
Namun kemudian terjadi sesuatu yang di luar logika. Arus air yang melaju kencang ke arah rumah kami tiba-tiba terbelah, satu ke kanan, satu ke kiri, melewati sisi rumah tetangga. Air tidak menerobos masuk ke dalam rumah utama, hanya menggenangi halaman. Melihat derasnya air saat itu, ini sungguh seperti “mukjizat”.
DUA HARI TERISOLASI
Pagi Rabu, hujan masih deras. Langit gelap seperti malam. Listrik masih menyala dan kami sempat menghubungi suami kembali. Lewat CCTV, kami melihat air irigasi menyebar ke mana-mana. Di kampung sebelah, air sudah setinggi lutut, sepinggang, bahkan sedada. Tapi masyaallah, rumah kami yang hanya terpisah jalan dengan irigasi yang meluap tidak dimasuki air ke dalam.
Siang hari, jaringan komunikasi putus. Listrik padam. Stok makanan menipis. Kami terisolasi. Pagi itu menjadi terakhir saya berkomunikasi dengan suami, meminta beliau terus mendoakan kami.
Rabu malam kami lalui tanpa tidur nyenyak. Di tengah kegelapan, Umi selalu menenangkan kami agar tetap tenang dan berpikir positif, meski kondisi sedang tidak seperti biasanya.
Selama dua malam itu kami berjaga-jaga, bergantian tidur. Kami sadar, dalam ujian masih ada nikmat yang harus terus kita syukuri. Kami meyakini ini adalah ujian untuk orang beriman. Kami memilih untuk muhasabah, beristigfar, dan murajaah Al-Qur’an Juz 30 yang sebagian surahnya sudah dihafal anak kami, sehingga kami bisa saling membacanya bersama.
Masyaallah, setiap kali kami selesai membaca satu surah, hujan deras tiba-tiba berhenti sejenak. Ketika kami berhenti, hujan turun lagi. Kami melanjutkan murajaah, hujan kembali reda. Kami semakin yakin, Al-Qur’an adalah obat penenang bagi kami.
Di malam yang gelap karena senter HP mulai padam, kami bergantian tidur untuk jaga-jaga. Saya mencoba tidur sambil berzikir, Al-Fatihah tujuh kali, Ayat Kursi, hingga Al-Mulk. Ajaibnya, setiap bacaan dilantunkan, hujan deras berubah menjadi gerimis dan ketenangan perlahan menyusup hingga saya bisa tertidur sejenak.
PERTOLONGAN ALLAH DATANG
Hari Kamis, kami mulai kehabisan bahan makanan. Sehari sebelumnya kami sempat keluar membeli kebutuhan, tapi qadarullah semua barang sudah habis. Di hari ini kami tidak bisa keluar karena rumah terkepung banjir.
Namun pertolongan Allah datang lewat ketukan pintu. Abang kami datang menerobos banjir setinggi dada, membawa perbekalan. Tangis haru pecah. Ternyata Abang sudah berusaha menembus banjir sejak Rabu, namun semua akses tertutup air yang tinggi. Komunikasi terputus, kami tidak bisa saling berkabar. Namun seperti kata Umi, “Telepon saja lewat hati,” dan masyaallah, Allah sambungkan.
Sore hari air mulai surut drastis. Hujan pun tinggal gerimis kecil. Air yang sebelumnya menggenang hanya menyisakan lumpur di atas rumput. Kami bersyukur selamat. Malam itu menjadi malam pertama kami bisa tidur nyenyak.
BERBAGI DI TENGAH KESULITAN
Jumat pagi, sebagai wujud syukur karena rumah selamat, kami berniat bersedekah nasi bungkus untuk korban banjir. Saat menyisir kampung sebelah, kami terhenyak. Kerusakan di sana luar biasa parah, jalan putus, jembatan amblas, rumah-rumah penuh lumpur. Kami tidak terbayang kondisi separah itu, karena di sekitar rumah kami alhamdulillah tidak demikian.
Ada kejadian yang membekas. Saat nasi tinggal dua bungkus (yang seharusnya untuk makan pagi kami), kami melihat seorang bapak tua sedang membersihkan sisa longsoran dengan tangan yang sakit, ditemani anak-anak kecil. Hati terenyuh. Akhirnya, dua nasi terakhir itu kami berikan pada beliau. Kami pasrah, berpikir nanti bisa mencari makan di tempat lain.
Setelah lama mencari, kami mampir di sebuah warung yang ramai. Saat hendak membayar dua porsi nasi, seseorang datang berkata, “Tidak apa-apa, ambil saja. Sudah saya bayar.” Masyaallah, Allah langsung mengganti sedekah kami secara tunai, bahkan melalui perantara yang tak disangka.
Kami merenung, alhamdulillah kami tidak pernah sampai antre dalam situasi sulit ini. Kami hanya bergantung pada Allah. Kalau butuh apa-apa, mintanya sama Allah, dan ternyata langsung dijawab. Mungkin hanya beda beberapa jam atau hari, tapi masyaallah terasa mudah saja.
KEBERKAHAN YANG NYATA
Sabtu pagi, seorang wali murid datang berkunjung dan terkejut melihat kondisi rumah kami. Rumah kami sejajar dengan jalan, tapi area sekolah dan tiga rumah tetangga posisinya jauh lebih rendah, namun semuanya tidak terdampak parah seperti di tempat lain. Rumah kami seolah tidak tersentuh banjir besar, hanya sedikit lumpur.
Beliau berkata, “Masyaallah, ini betul-betul keberkahan Al-Qur’an. Allah yang jaga, bahkan memberi syafaat untuk tetangga sekitarnya.”

Ketika komunikasi pulih beberapa hari ini, barulah kami tahu banjir melanda hampir seluruh Aceh dan dampaknya sangat mengerikan. Ada kampung santri kami yang lenyap menjadi sungai. Mendengar kisah mereka yang kehilangan rumah namun tetap tabah membuat saya malu dan semakin bersyukur.

Alhamdulillahnya tidak banyak korban jiwa di tempat tersebut. Bagi mereka, nyawa yang masih ada adalah hal yang sangat disyukuri. Mereka berkata, “Harta masih bisa dicari, tapi nyawa tidak dijual di mana-mana.” Air mata kami mengalir mendengar keteguhan mereka, apalagi saat melihat langsung ke lokasi, rasanya sesak di dada karena iba.
HIKMAH DAN SYUKUR
Semua milik Allah, kita hanya dipinjamkan sebentar. Jika Allah ingin mengambilnya, kapan saja itu juga hak Allah. Sabar dan syukur, itulah yang membuat hati menjadi lebih tenang dan lapang.
Saat kita menyenangkan hati orang lain, Allah juga akan hadirkan ketenangan di hati kita. Memberi yang sangat bermakna bukan hanya di saat lapang, tapi justru bagaimana kita bisa berbagi saat sama-sama dalam keadaan sulit. Keyakinan itu justru menjadi umpan balik agar Allah mudahkan urusan kita lebih cepat dari yang diprasangkakan.
Semoga badai ini membawa hikmah bagi kita semua untuk kembali kepada Allah.
TERIMA KASIH
Terima kasih yang tak terhingga, jazakumullahu khairan, kepada akhwati fillah angkatan 2016 IAI STIBA Makassar. Merekalah orang-orang pertama yang mengulurkan tangan membantu kami di Aceh. Berapapun yang kalian berikan sangat berharga bagi kami.
Semoga Allah membalas kebaikan kalian dengan pahala yang sangat besar di sisi-Nya dan kita terus menjadi saudara di dunia, semoga kekal hingga ke surga-Nya. “Semustawa Sejannah.” Aamiin ya Rabbal Alamin.
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا . إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Asy-Syarh: 5-6)
Ditulis oleh: Rizqa Izzati, Alumni IAI STIBA Makassar Angkatan 2016 Penyintas Banjir Bireuen, Aceh, November 2025 di Rumah Qur’an Al-Izzah
