Rabu, 14 Dzulhijjah 1435 H (08 Oktober 2014 M), gerhana bulan total dapat disaksikan di beberapa belahan bumi, termasuk di Kota Makassar. Gerhana yang mulai nampak menjelang Magrib ini terlihat jelas di arah timur langit Makassar.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, STIBA Makassar rutin melaksanakan shalat gerhana setiap kali gerhana terlihat. Shalat yang juga diikuti oleh beberapa warga sekitar kampus ini berlangsung lebih dari satu jam. Sebagai imam adalah Maulana Anshori salah seorang mahasiswa dengan mengkhatamkan satu juz dalam dua rakaat. Cukup melelahkan, namun jamaah tetap antusias mengikuti rangkaian shalat kusuf itu hingga selesai. Bahkan beberapa di antaranya adalah anak-anak di bawah umur.
Khotbah di akhir shalat kusuf disampaikan oleh Ust. Muhammad Yusran Anshar, Lc. Dalam khutbah singkatnya, beliau mengingatkan bahwa datang dan perginya siang dan malam merupakan tanda kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan apa yang ada pada diri manusia juga adalah tanda kebesaran Allah. Allah ‘Azza berfirman (artinya), “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 190).
“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memerhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 21).
Namun terkadang karena sudah seringnya kita menyaksikan pergantian siang dan malam, sehingga kita kurang mentadabburi penciptaan langit dan bumi. Demikian pula kita tak lagi memerhatikan bagaimana proses penciptaan diri kita, karena sudah dianggap sebagai hal yang biasa. Sehingga Allah mendatangkan peristiwa-peristiwa yang luar biasa seperti gerhana, baik gerhana matahari maupun gerhana bulan.
Gerhana bulan adalah salah satu tanda dari kekuasaan Allah Azza wa Jalla. Banyak yang mengagumi tanda-tanda itu, sayangnya mereka justru menyembahnya. Padahal Allah telah berfirman, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah yang menciptakannya, jika Ialah yang kamu hendak sembah.” (QS. Fushshilat: 37).
Kandidat doktor hadits ini juga mengingatkan bahwa peristiwa gerhana tidak menunjukkan kematian seseorang atau nasib-nasib tertentu, sebagaimana diingatkan oleh Rasulullah shallallohu alaihi wasallam dalam salah satu sabdanya.
Para ahli astronomi, banyak menyaksikan peristiwa-peristiwa alam di angkasa. Namun sangat sedikit di antara mereka yang takut kepada Allah. Padahal, Allah menjadikan semua itu sebagai peringatan. Kata Allah subhanahu wa Ta’ala, “….Dan kami tidak mendatangkan tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti (hamba-hamba-Ku).” (QS. al-Isra’: 59).
Bahkan awan mendung sebagai pertanda hujan yang akan turun sekalipun, seharusnya telah membuat para ulul albab untuk khawatir, sebagaimana yang pernah dirasakan oleh Nabi kita Muhammad shallallohu alaihi wasallam karena khawatir jangan-jangan itu adalah azab Allah. Allah Jalla Jalaluhu telah mengingatkan kita tentang kaum ‘Aad, “Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka, “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami”. (Bukan!) bahkan Itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih.” (QS. al-Ahqaf: 24).
Terakhir, beliau mengingatkan akan nikmat yang patut disyukuri berupa kesempatan menghidupkan salah satu sunnah Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam yang selama ini hanya banyak dibaca di kitab-kitab para ulama namun sangat jarang dipraktikkan oleh kaum muslimin. Terutama jika sunnah tersebut dihidupkan pada hari-hari yang membutuhkan kesabaran di akhir zaman. Di kala orang-orang yang ingin menghidupkan sunnah dianggap aneh. Saat itulah bagi mereka ada pahala lima puluh kali pahala sahabat, sebagaimana yang dijanjikan oleh Rasulullah shallallohu alaihi wasallam.
