(STIBA.ac.id) Makassar – Cerita seru Nur Alief Muslim, mahasiswa STIBA Makassar yang hari ini (Selasa, 30 Juli 2024) resmi menyandang status sebagai alumni setelah yudisium. Awalnya ragu tapi akhirnya menemukan tujuan hidupnya di STIBA Makassar. Penasaran sama kisahnya? Yuk, baca dan dapatkan inspirasi dari perjalanannya yang tidak biasa.

STIBA? Sekolah bahasa asing? Seasing namanya di telinga saya saat itu karena tidak pernah terdengar apalagi terpikirkan sebelumnya.

2019 || Saya adalah bocah magang bagian akuntansi Kalla Toyota. Karena pengalaman ditipu dan mengalami kerugian hingga ratusan juta, saya mulai berpikir apakah saya cocok bekerja kantoran atau tetap konsisten dengan usaha yang ada.

Saya mengerjakan seluruh pekerjaan halal demi menutupi kerugian yang ada, termasuk bekerja kontrak di Kalla Toyota.

Meski bekerja dengan sangat gesit, saya tetaplah orang yang suka kalasi.

Setiap Jumat sore, di kantor itu ada kultum yang dibawakan oleh ustaz dari sebuah ormas yang bernama Wahdah Islamiyah.

Sebenarnya saya menyimak bukan karena ingin belajar agama, tetapi dengan tinggal di musala, saya bisa mengulur waktu untuk menghindari pekerjaan tambahan di penghujung jam kerja, sehingga ketika naik dari lt. 4 ke lt. 12, saya tinggal siap-siap untuk pulang.

Tibalah hari itu

Tanpa angin tanpa hujan, ustaz yang membawakan ceramah mulai membuka percakapan dengan saya. Singkat cerita, saya diajak masuk ke STIBA Makassar. Awalnya saya kira hanya candaan karena setahu saya tidak ada kampus seperti itu apalagi di Antang. Ketika mendengar kata Antang, yang terbayang hanyalah (maaf) tempat pembuangan akhir sampah.

Saya sebenarnya tidak peduli dengan ajakannya karena dari awal saya sudah bertekad untuk tidak kuliah. Dibandingkan menghabiskan empat tahun lebih di kampus, lebih baik saya membangun usaha yang sudah ada.

Akan tetapi, setiap Jumat sore selalu saja ngobrol dengan ustaz itu. Saya sih oke-oke saja karena bisa mengulur waktu, tetapi beliau tidak bosan-bosannya mengajak dan memberi nasihat dengan cara yang mudah diterima dan dipahami.

Karena terus kepikiran, akhirnya saya coba mencari tahu tentang kampus STIBA. Pas menemukan informasinya, wah tidak cocok sekali dengan keahlian saya. Teknologi dan agama, mana nyambung? (Pikir saya kala itu).

Namun, ada hal yang menarik muncul di benak saya. Teknologi dan agama sebenarnya bisa berkolaborasi, hanya tergantung orangnya saja. dan juga jarang kita temui orang Islam yang menjadi nomor satu dalam bidang teknologi.

Singkat cerita

Saya mendaftar di kampus itu. lalu wawancara… eh yang wawancara adalah ustaz yang selalu saya temui di kantor. Pertanyaan yang bikin risih sebenarnya ada dua yaitu: “Siap tinggal di asrama?” Saya jawab, “Tidak siap Ustaz karena saya punya usaha.” “Siap diutus dakwah setelah lulus?” Saya jawab, “Tidak siap Ustaz karena tidak diizinkan orang tua karena saya boleh dibilang tulang punggung keluarga.”

Eeeeeeh. Entah kenapa. Lulus.

Sampai bingung saya.

Akhirnya lanjut verifikasi dan administrasi, walau memang di awal terkendala masalah keuangan karena tidak ada alokasi untuk itu tapi saya berusaha untuk mengatasi semuanya.

Saya yang tidak ada dasar bahasa Arab sama sekali, akhirnya masuk kelas bahasa selama dua semester. Jikalau saja kampusnya menggunakan bahasa pemrograman, ada kemungkinan saya bisa langsung wisuda. (Bercanda, jangan terlalu serius).

Satu hal yang tidak bisa kulupakan

Dua belas kali mengajukan tinggal di luar asrama, tapi tidak disetujui sama sekali. Uang saya menipis, tidak ada pemasukan sama sekali. Akhirnya saya berpikir, berhenti saja kali ya? Tapi uang yang saya kumpulkan untuk bayar uang masuk harus bekerja keras setiap hari.

Syukurlah para dosen adalah orang-orang yang sangat solutif. Saya diberi keringanan untuk keluar asrama dengan berbagai syarat yang harus dipenuhi.

Kuliah 08:00-12:30, kelas sore setelah Asar, kajian agama setelah Magrib, dan lain-lain. Kapan saya keluar? Yap, setelah Isya. Dua jam berharga itu saya gunakan untuk bekerja, balik ke asrama jam 10-an, kadang lewat sih.

Berbisnis saat belajar umumnya tidak wajar, tapi jiwa bisnis saya meronta-ronta kalau tidak ada pemasukan jangka pendek.

Saya yang punya sedikit skill di bidang desain, audio visual, dan video editing, akhirnya coba lempar portofolio di grup mahasiswa. Saya buat desain ini dan itu secara gratis (normalnya di luar, saya dibayar).

Karena terlalu banyak permintaan, akhirnya saya stop. Lalu tibalah waktunya untuk menawarkan Muslim Comp di grup mahasiswa.

Alhamdulillah pelanggan membeludak, karena saya tidak bisa keluar mencari pelanggan, kenapa tidak mencari di sini saja? Pikir saya kala itu.

Semester demi semester saya lalui dengan cukup baik. Kadang harus bolos di kelas karena harus ke luar negeri atau keluar daerah untuk menyelesaikan urusan bisnis dan sebagainya,

Dari STIBA, saya belajar dasar-dasar ilmu agama dengan baik.

Dari STIBA, saya menemukan circle terbaik dari semua circle yang pernah saya masuki.

Dari STIBA, saya menjadi pribadi yang mandiri dari berbagai aspek.

Dari STIBA, saya lebih bisa menghargai perbedaan dan meminimalisir perselisihan.

Dari STIBA, saya punya banyak teman yang memiliki potensi besar untuk masuk surga. Jikalau nanti mereka tidak menemukanku di surga, kuharap satu dari ratusan teman kampusku segera berlari menyelamatkanku di neraka.

Dari STIBA, usahaku yang dulu sangat mengkhawatirkan, kini perlahan bersaing dalam skala internasional.

Dari STIBA, saya mulai perlahan bisa melakukan diskusi agama dengan teman-teman di luar negeri.

Dari STIBA, saya mampu mempelajari bahasa tersulit nomor satu di dunia, yang awalnya saya pikir, mandarin yang tersulit, tapi bahasa Arab jauh lebih sulit, meski begitu, para dosen tidak pernah putus asa mengajar berulang kali.

Dari STIBA, banyak hal yang berubah menjadi lebih baik.

Kalau harus diungkapkan semuanya, postingan ini tidak akan sanggup menampungnya.

Sekarang…

Saya berada di penghujung semester.

Semua rangkaian akademis telah kulalui walau beberapa kali selalu ada celah untuk menyerah.

Terima kasih kepada seluruh dosen dan civitas akademik STIBA Makassar yang sudah sabar mendidik, membina dan memberi teladan yang baik selama ini.

Terima kasih kepada senior dan alumni yang selalu ada waktu untuk memberi arahan yang terbaik.

Terima kasih kepada teman-teman yang sudah sabar membersamai selama lima tahun ini, nyaris kita tidak pernah bertengkar apalagi yang berkaitan dengan kontak fisik.

Terima kasih kepada Bagian Sarpras dan petugas kebersihan yang setiap hari bekerja agar saya dan teman-teman bisa belajar di ruangan yang nyaman dan aman.

Terima kasih kepada seluruh petugas keamanan yang sudah seperti keluarga sendiri, menjadi teman diskusi dan sangat peduli dengan usaha yang saya jalani karena semua laptop yang dititipkan di pos, semuanya dijaga dengan baik.

Semoga Allah membalas semua kebaikan yang telah kalian berikan kepada saya dan semoga kita bisa berkumpul kembali di surga Allah di atas dipan-dipan yang terbuat dari emas.

Hmmmm…

Yudisium kah?

Meski sudah waktunya untuk pergi, saya yakin pintu kampus selalu terbuka dan menjadi tempat untuk kembali.

Saya tidak begitu pandai merangkai kata.

Jadi, besar kemungkinan dalam postingan ini banyak salah kata.

Masih banyak hal yang perlu disampaikan lewat kata-kata.

Tapi apalah daya, harus terpendam dalam rasa.

Untuk itu, mohon dimaafkan!

Terima kasih

Salam hangat, 

Nur Alief Muslim 

30 Juli 2024

Loading