(STIBA.ac.id) Makassar – Ada hal yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang benar-benar terjun ke dalamnya. Dakwah, misalnya. Ia bukan sekadar tugas. Bukan sekadar amanah yang tertulis di atas kertas. Ia adalah jalan panjang yang menuntut kesabaran, ketulusan, dan tentu saja, pengorbanan.

Ustaz Firman Akbar, S.H., alumni STIBA Makassar, membuktikan itu. Seharusnya, setelah lulus, cukup satu tahun ia mengabdi.

Tapi ia memilih bertahan, bukan setahun, bukan dua tahun, melainkan empat tahun. Di tanah yang jauh dari kampung halamannya, ia berjuang, bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk umat.

Beban Amanah di Bahunya

“Ketika beberapa pengurus pindah ke luar kota, saya menerima beberapa amanah sekaligus,” kenangnya.

Ia ditunjuk sebagai Ketua Pesantren Wahdah Islamiyah Kota Serang, Ketua Wahdah Inspirasi Zakat (WIZ) Banten, sekaligus Sekretaris DPW Wahdah Islamiyah Banten.

Satu saja sudah cukup menyita waktu dan tenaga, tapi ia mengelola semuanya secara bersamaan.

“Bagaimana caranya? Kami hanya berpegang pada keyakinan bahwa setiap amanah yang diberikan pasti ada jalan keluarnya,” katanya.

Begitulah hidup. Jika terus mengeluh soal beratnya beban, maka tak akan pernah ada waktu untuk menyelesaikannya. Jadi, ia memilih menjalani saja, sebaik mungkin.

Tantangan yang Menguji Nyali

Tapi pengabdian bukan sekadar menumpuk amanah. Ada tantangan yang lebih berat.

Salah satunya, saat ia diamanahi sebagai Ketua Tadrib Ad-Duat Banten pertama. Waktu itu, ia belum lama bergabung dengan DPW Banten. Tapi amanah tetap datang, tanpa banyak pertanyaan.

“Modal kami hanya semangat dakwah. Ketua DPW kami, Ustaz Jumardan, selalu mengingatkan, ‘Fil harakah barakah,’” katanya.

Saat awal pra-tadrib, mahasiswa yang ia dampingi bahkan harus berjuang membangun dinding kamar mereka sendiri. Kamar yang berbatasan langsung dengan dapur pesantren.

Keterbatasan SDM, keterbatasan dana operasional, semua harus mereka hadapi bersama. Bahkan, karena kekurangan tenaga, ia tak hanya menjadi ketua, tapi juga merangkap sebagai musyrif yang mendampingi mahasiswa setiap harinya.

Tapi begitulah dakwah. Ia bukan tentang fasilitas yang serba ada. Ia bukan tentang kenyamanan. Ia adalah ujian.

Dan ujian itu mereka hadapi, hingga akhirnya Tadrib ad-Du’at pertama menghasilkan tujuh alumni.

Mungkin jumlahnya tak seberapa, tapi ini bukan tentang angka. Ini tentang nyali. Tentang keberanian untuk tetap berjalan meski dihadapkan pada rintangan.

Momen yang Mengubah Hidup

Ada satu peristiwa yang benar-benar mengubah hidup Ustaz Firman selama empat tahun berdakwah di Banten. Pertemuannya dengan Ustaz Jumardan Lori.

“Beliau adalah orang yang tidak merasa pintar, tapi beliau pintar merasa,” ujarnya.

Ustaz Jumardan bukan hanya sekadar pemimpin di lembaga, tapi juga orang tua bagi para dai di tanah rantau.

Saat Musyawarah Kerja Wilayah (Mukerwil) pertama di Banten, Ustaz Firman sempat mendengar kabar burung bahwa semua program kerja departemen ujung-ujungnya akan ditentukan oleh Ketua DPW.

Namun, seiring berjalannya waktu, ia melihat bagaimana Ustaz Jumardan selalu mengedepankan musyawarah dalam setiap keputusan.

Bukan hanya itu, Ustaz Jumardan juga yang menjadi wakil orang tua Ustaz Firman saat ia menikah.

Beliaulah yang mendukung secara moral dan materi, karena orang tua Ustaz Firman tidak bisa hadir di Banten saat itu.

Dari beliau, Ustaz Firman belajar banyak tentang manajemen, perjuangan dakwah, pengorbanan harta, bahkan perasaan.

Ada satu kalimat dari Ustaz Jumardan yang selalu diingatnya, “Kalau bertemu orang, anggap kita bertemu gunung emas, karena tiap orang membawa potensi untuk dakwah.”

Di Banten, Ustaz Firman benar-benar melihat bagaimana Allah membukakan jalan bagi mereka yang berjuang. Saat menghadapi kesulitan ekonomi, saat dihantam masalah keluarga, saat semua terasa begitu berat—satu hal yang ia yakini, sebagaimana firman Allah, in tanshurullah yanshurkum, jika kita menolong agama Allah, maka Allah akan menolong kita.

Kini, setelah empat tahun, ia masih ingat setiap detik perjalanan itu. Setiap tantangan yang datang. Setiap keputusan yang diambil. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak pernah menyesal.

Karena begitulah dakwah. Tidak selalu mudah. Tidak selalu menyenangkan. Tapi selalu berharga.

Mengenang Jejak di STIBA: Fondasi yang Sangat Berharga
Ada perjalanan yang tidak bisa dilupakan. Ada jejak yang senantiasa menemani langkah, menjadi pelita dalam gelapnya jalan dakwah.

Bagi Ustaz Firman Akbar, S.H., pendidikan di STIBA Makassar bukan sekadar tempat menimba ilmu. Ia adalah rumah pertama bagi benih-benih dakwah yang kelak tumbuh di medan yang luas, penuh rintangan sekaligus keberkahan.

“STIBA itu bukan hanya soal kitab dan hafalan,” katanya suatu kali. “Ia mengajarkan kami tentang disiplin, kesabaran, dan bagaimana memosisikan diri di tengah masyarakat. Dasar-dasar ilmu Islam dan bahasa Arab yang kami pelajari di sana menjadi patokan dalam mengeksplorasi ilmu serta metode dakwah di lapangan.”

Tidak hanya ilmu yang menjadi bekal. Ada pelajaran lain yang lebih mendalam: bagaimana hidup di antara berbagai karakter, berbagi dalam satu atap asrama, bertemu dengan saudara dari penjuru negeri dengan kebiasaan dan cara pandang yang berbeda.

“Asrama itu seperti miniatur medan dakwah. Kami belajar beradaptasi, mengerti, dan memahami orang lain,” ujarnya.

Antara Dakwah dan Keluarga: Menjalin Dua Amanah di Medan yang Berat
Lima bulan setelah menjejakkan kaki di tanah Banten, Allah berikan anugerah lain: pernikahan.

Takdir membawanya pada seorang perempuan dengan kembaran yang identik.

“Saat menikah, kembarannya tetap tinggal di asrama pesantren, sedangkan kami di kamar pengurus.”

Tantangan pertama datang dari penyakit maag yang parah. Tahun pertama pernikahan menjadi tahun yang berat. Hampir setiap bulan, baik istrinya maupun kembarannya harus dirawat di rumah sakit.

“Kalau dihitung, sudah empat rumah sakit di Kota Serang yang pernah merawat mereka,” ujarnya sambil tersenyum getir.

Kemudian datang cobaan lain. Setiap kali mengandung, istrinya mengalami hyperemesis yang parah.

“Empat bulan pertama, benar-benar bedrest. Tidak bisa melakukan apa-apa.” Maka, segala urusan rumah tangga pun diambil alih olehnya: mencuci, memasak, mengurus segala hal.

“Tapi kami tahu, inilah medan dakwah yang sebenarnya. Dakwah tidak melulu di atas mimbar. Kadang, dakwah itu ada di dapur, ada di kamar rumah sakit, ada dalam kesabaran menghadapi ujian.”

Menyeimbangkan dakwah dan keluarga tidaklah mudah.

“Komunikasi adalah kuncinya. Kami harus saling mengerti, bukan hanya dengan istri, tapi juga dengan sesama pengurus. Saat istri dalam masa sulit, kami bicara dengan Ketua DPW, meminta kompensasi agar bisa masuk kantor agak terlambat. Sebagai gantinya, kami bekerja lebih lama atau menyelesaikan tugas di luar jam kerja.”

Baginya, dalam hidup ini, jangan selalu ingin dimengerti. Sebab, setiap orang punya bebannya sendiri.

“Ada amanah yang bisa kami selesaikan di luar jam kerja, ya kami kerjakan. Jangan sampai masalah pribadi menjadi alasan untuk mengabaikan tugas dakwah.”

Harapan: Cahaya di Ujung Jalan
Masa depan dakwah selalu menjadi tanya. Ke mana ia akan bermuara? Seberapa jauh ia akan menjejak? Ustaz Firman memandangnya dengan harapan yang besar.

“Kami ingin melihat tiap DPW dan DPD Wahdah Islamiyah mencapai visi dakwah kita di tahun 2030. Dan dalam perjalanan itu, alumni STIBA Makassar memegang peranan krusial.”

Ia tidak berharap muluk-muluk. Hanya satu hal yang ingin ia titipkan kepada para alumni: kesadaran.

“Sadari posisi kita. Kita ini dai. Kita ini panutan. Maka, bersikaplah seperti itu. Jangan mudah terbawa perasaan. Dakwah di medan yang sebenarnya bukan tentang siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling bisa bertahan.”

Dan yang terpenting, komunikasi.

“Kami sudah melihat sendiri, ada begitu banyak dai yang mundur bukan karena medan dakwah terlalu berat, tapi karena buruknya komunikasi. Banyak hal bisa diselesaikan hanya dengan bicara, hanya dengan sedikit mengalah, hanya dengan memahami.”

Di ujung percakapan, ada satu kalimat yang ia ucapkan pelan, namun membekas.

“Dakwah ini bukan tentang kita. Dakwah ini tentang umat. Maka, jangan mudah menyerah.”

Loading