Kategori: Kegiatan Alumni

  • Muktamar IV IKA STIBA Makassar: Teguhkan Ukhuwah dan Semangat Khidmah

    Muktamar IV IKA STIBA Makassar: Teguhkan Ukhuwah dan Semangat Khidmah

    (STIBA.ac.id) Makassar – Ikatan Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (IKA STIBA) Makassar sukses menyelenggarakan Muktamar IV dengan tema “Mengokohkan Ukhuwah, Memantapkan Khidmah.” Kegiatan yang berlangsung selama dua hari, Sabtu–Ahad, 18–19 Oktober 2025 ini digelar secara hybrid, menggabungkan pelaksanaan melalui Zoom Meeting dan tatap muka langsung di Ruang Musyawarah Gedung Rektorat IAI STIBA Makassar.

    Antusiasme Tinggi Alumni Lintas Angkatan

    Muktamar yang diselenggarakan oleh Pengurus Pusat IKA STIBA Makassar ini terbuka untuk seluruh alumni, tidak terbatas hanya bagi pengurus. Selama dua hari pelaksanaan, tidak kurang dari 120 peserta dari berbagai wilayah hadir secara daring maupun luring, menandai antusiasme tinggi para alumni dalam forum dua tahunan ini.

    Acara pembukaan diwarnai dengan sambutan dari tiga tokoh penting, yakni Ketua Umum IKA STIBA Makassar Ustaz Muhammad, S.H., M.H., Ketua Dewan Pembina sekaligus Rektor IAI STIBA Makassar Ustaz Akhmad Hanafi Dain Yunta, Lc., M.A., Ph.D., serta Ketua Umum IKA pertama Ustaz Anas Syukur, Lc., M.H.I.

    Lima Sidang Pleno Penuh Dinamika

    Rangkaian Muktamar meliputi lima sidang pleno yang berlangsung tertib dan penuh ukhuwah. Dimulai dengan Pleno I yang membahas Laporan Pertanggungjawaban Pengurus pada hari Sabtu, dilanjutkan dengan Pleno II yang membahas Visi, Misi, dan Rencana Strategis.

    Memasuki hari Ahad, agenda dilanjutkan dengan Pleno III yang membahas AD/ART, Pleno IV yang menetapkan syarat dan mekanisme pemilihan ketua, hingga puncaknya pada Pleno V yakni pemilihan Ketua Umum baru.

    Alumni adalah Wajah IAI STIBA Makassar

    Pada Pleno V yang dipimpin oleh Ustaz Akhmad Hanafi, beliau menyampaikan pesan yang sarat makna kepada seluruh peserta.

    “Alumni adalah perwajahan dari IAI STIBA Makassar, dan program-program dari IKA adalah bagian dari itu. Baik buruknya citra IAI STIBA dilihat dari bagaimana kiprah para alumni, termasuk program IKA yang berjalan. Maka dalam rangka memaksimalkan kiprah alumni, IAI STIBA Makassar sangat siap untuk mendukung IKA dalam menyusun dan menjalankan program-program alumni dalam rangka khidmah pada masyarakat,” ujarnya.

    Kepemimpinan Baru dan Rekomendasi Strategis

    Setelah melalui proses sidang yang berlangsung dengan tertib dan penuh ukhuwah, Muktamar IV menetapkan Ustaz Sumardi Uddin, S.Pd.I, Lc., S.H., Gr. sebagai Ketua Umum IKA IAI STIBA Makassar periode 2025–2027.

    Selain pemilihan ketua baru, muktamar juga menghasilkan sejumlah rekomendasi strategis untuk memperkuat arah khidmah IKA, di antaranya mendorong program kerja dan rencana strategis IKA agar lebih berdampak bagi masyarakat, melanjutkan program pendampingan alumni dalam jalur CPNS, serta memperbaiki kinerja dan struktur internal pengurus demi efektivitas organisasi.

    Wadah Silaturahmi dan Penguatan Ukhuwah

    Suasana muktamar terasa hangat dan penuh semangat silaturahmi. Para alumni lintas angkatan saling menyapa, bernostalgia, dan berbagi pandangan membangun, khususnya dalam sesi laporan pertanggungjawaban. Ajang dua tahunan ini bukan hanya forum musyawarah, tetapi juga menjadi wadah mempererat ukhuwah dan memperteguh semangat khidmah di antara para alumni STIBA Makassar.

    Dengan terpilihnya kepemimpinan baru dan tersusunnya rekomendasi strategis, diharapkan IKA STIBA Makassar dapat semakin berkontribusi nyata dalam khidmah kepada masyarakat, sekaligus mengharumkan nama almamater tercinta.

    Reporter: Khaer Ahmad

  • Hamzah Rasyid, Alumni STIBA Makassar Raih Juara I Musabaqah Hadis di PSAU Arab Saudi

    Hamzah Rasyid, Alumni STIBA Makassar Raih Juara I Musabaqah Hadis di PSAU Arab Saudi

    (STIBA.ac.id) AL-KHARJ, ARAB SAUDI – Hamzah Rasyid, alumni yang pernah menempuh double degree di STIBA Makassar dan Prince Sattam bin Abdulaziz University (PSAU) Al-Kharj, menorehkan prestasi membanggakan. Ia berhasil meraih Juara 1 dalam ajang Musabaqah Al-Qur’an wa As-Sunnah An-Nabawiyah kategori Hadis Arba’in yang diselenggarakan di kampusnya, PSAU.

    Dalam wawancara eksklusif, Hamzah mengungkapkan bahwa motivasi utamanya mengikuti kompetisi ini adalah untuk memperdalam pemahaman terhadap Hadis Arba’in sekaligus membagikan ilmunya kepada orang lain. 

    “Kebetulan, sebelum lomba ini saya sudah menyelesaikan hafalan Hadis Arba’in dalam sebuah daurah yang diadakan oleh masjid dekat kampus. Selain itu, saya juga pernah menghafalnya saat masih di STIBA Makassar,” ujarnya.

    Namun, perjalanannya tidaklah mudah. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi adalah mengatur waktu antara persiapan lomba dan tugas akademik. 

    “Saya harus membuat jadwal belajar yang ketat dan meminta bantuan teman-teman agar bisa tetap fokus,” tambahnya.

    Double Degree: STIBA Makassar dan PSAU Al-Kharj

    Hamzah diterima sebagai mahasiswa di PSAU Al-Kharj saat masih semester 6 di STIBA Makassar. Selama beberapa waktu, ia menjalani peran sebagai mahasiswa double degree, membagi waktu antara dua kampus di dua negara yang berbeda. 

    Hingga akhirnya, pada tahun 2024, ia resmi menyelesaikan studinya di STIBA Makassar dan kini dapat fokus sepenuhnya pada pendidikannya di PSAU Al-Kharj.

    Saat ini, Hamzah masih berada di semester 3 I’dad Lughawi (persiapan bahasa) di PSAU, karena kampusnya mewajibkan mahasiswa menyelesaikan program ini sebelum memasuki perkuliahan formal.

    Inspirasi bagi Mahasiswa STIBA Makassar

    Bagi Hamzah, kemenangan ini memiliki makna yang sangat besar. 

    “Saya merasa telah mencapai salah satu tujuan utama saya, yaitu memahami hadis dengan lebih baik dan meraih hasil maksimal dalam bidang ini. Saya berharap kemenangan ini bisa menginspirasi mahasiswa STIBA Makassar agar terus berusaha meningkatkan ilmu mereka demi kemaslahatan umat,” pungkasnya.

    Tak hanya Hamzah, ada tujuh mahasiswa lain dari STIBA Makassar yang kini juga melanjutkan studi di PSAU Al-Kharj. 

    Empat di antaranya merupakan teman satu angkatan dengan Hamzah, sementara lainnya berada di semester yang berbeda.

  • 24 Tahun Silam, Jejak Dakwah Alumni STIBA Makassar di Tanah Konflik

    24 Tahun Silam, Jejak Dakwah Alumni STIBA Makassar di Tanah Konflik

    (STIBA.ac.id) Makassar – Ustaz Hasyir, S.Pd.I., mengawali kisahnya dengan mengenang masa-masa awal ketertarikannya pada Islam.

    “Saya mulai tertarik mendalami Islam saat masih SMA,” ujarnya.

    Saat itu, ia aktif di Ikatan Remaja Masjid Mardhiyah (Ikrema). Dari sanalah ia mulai mengenal lingkungan yang lebih luas, berinteraksi dengan ikhwan dari Yayasan Fathul Muin—yang kini dikenal sebagai Wahdah Islamiyah. Ia juga mendapat bimbingan langsung dari Ustaz Umar Shaleh rahimahullah.

    Ketertarikan itu terus tumbuh, seperti bara kecil yang ditiup angin, perlahan menjadi nyala yang semakin terang. Hasyir tidak hanya puas dengan kajian-kajian singkat, ia ingin lebih dalam lagi.

    Keinginannya semakin kuat setelah mengikuti pembinaan di Masjid Wihdatul Ummah dan sebuah daurah bahasa Arab selama satu bulan yang dibimbing oleh Ustaz Aswanto Muh. Takwi.

    “Saat itu, saya merasa menemukan sesuatu yang hilang dalam diri saya,” katanya dengan senyum tipis.

    Baginya, bahasa Arab adalah jendela menuju dunia baru. Sejak saat itu, ia mulai membayangkan bagaimana rasanya mendalami Islam lebih dalam dan memahami kitab-kitab langsung dari sumber aslinya.

    Keputusan untuk melanjutkan studi ke STIBA Makassar pun akhirnya diambil. Itu bukan keputusan yang mudah.

    Di masa itu, STIBA masih dalam tahap awal, dan memilih jalan dakwah berarti harus siap dengan segala keterbatasan.

    Namun, Hasyir yakin bahwa di setiap langkah yang diambil, ada berkah yang menanti di ujung perjalanan.

    Mengikuti Program Tarabbush

    Hasyir menarik napas sejenak, seakan mengumpulkan kembali kepingan-kepingan memori yang telah lama tersimpan.

    “Seharusnya, Program al-I’dad al-Lughawy berlangsung selama dua tahun. Tapi, angkatan kami hanya menjalani satu setengah tahun. Januari 2001, kami menyelesaikan program itu, tapi ada satu ganjalan besar—kami belum bisa melanjutkan ke tahap berikutnya (Program Takmili),” kenangnya.

    Untuk mengisi kekosongan, sebuah keputusan pun diambil: para alumni harus turun ke lapangan. Bukan sekadar mengisi waktu, tetapi juga belajar dari kehidupan nyata. Mereka ditugaskan ke berbagai daerah, mendampingi para dai, menyebarkan cahaya dakwah.

    Beberapa dari mereka dikirim ke Ambon, sementara yang lain ke Parigi atau kembali ke kampung halaman masing-masing. Hasyir sendiri, bersama Putra Utomo Thalib dari Gorontalo, mendapat tugas ke Ternate, Maluku Utara.

    Keputusan itu bukan tanpa rintangan. Keluarga mereka, terutama orang tua, merasa berat untuk melepas kepergian mereka. Mereka tahu bahwa daerah-daerah tujuan itu masih jauh dari ketenangan. Konflik masih membara di banyak titik. Namun, Hasyir dan Putra berusaha meyakinkan keluarga mereka.

    “Insyaallah, kami akan baik-baik saja. Ini adalah jalan yang harus kami tempuh,” katanya kepada mereka.

    Akhirnya, dengan doa dan restu orang tua, mereka pun berangkat. Begitulah awal langkah Hasyir meninggalkan Sulawesi Selatan, menyeberang ke Maluku Utara, menuju episode baru dalam hidupnya—sebuah perjalanan yang bahkan tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

    Ketika Mendapat Kabar Akan Diutus ke Maluku Utara Pasca-Konflik

    Sebelum Hasyir dan Putra berangkat untuk tarabbush, mereka sudah mendengar tentang konflik yang melanda beberapa daerah.

    Kejadian yang merenggut banyak nyawa dan meninggalkan jejak luka yang dalam. Mereka tahu bahwa sudah banyak pihak yang datang memberikan bantuan, termasuk para dai yang diutus untuk berdakwah di wilayah-wilayah konflik tersebut.

    Di antara mereka, tersimpan rasa penasaran yang besar. Ada keinginan untuk melihat langsung bagaimana kondisi di sana, ingin menjadi bagian dari upaya kebaikan itu.

    Namun, di balik keinginan tersebut, ada satu hal yang lebih besar: bagaimana tanggapan orang tua mereka?

    Mereka sadar, tidak mungkin berangkat tanpa restu keluarga. Pasti ada kekhawatiran—bagaimanapun, orang tua mana yang hatinya akan tenang membiarkan anaknya pergi ke tempat yang baru saja dilanda konflik?

    Namun, dengan penuh keyakinan, mereka berusaha meyakinkan orang tua masing-masing.

    “Kami tidak pergi untuk mencari bahaya, tapi untuk menyebarkan kebaikan. Insyaallah, kami akan aman di sana,” ujar Hasyir kepada keluarganya.

    Hingga akhirnya, dengan doa dan restu mereka, Hasyir pun berangkat, melangkah menuju medan yang telah menanti.

    Gambaran Maluku Utara Saat Itu

    Saat Hasyir dan Putra tiba di Maluku Utara, kondisi masih jauh dari kata stabil. Sisa-sisa konflik masih begitu nyata.

    Rumah-rumah yang hangus terbakar berdiri seperti saksi bisu, mengingatkan betapa dahsyatnya peristiwa yang terjadi. Kota yang dulu ramai kini terasa berbeda—sepi, penuh kehati-hatian.

    Masyarakat yang sebelumnya hidup berdampingan kini terpisah. Kubu-kubu yang bertikai memilih untuk tidak bercampur, masing-masing masih membawa luka, menyimpan sisa-sisa amarah yang belum sepenuhnya padam.

    Banyak di antara mereka yang memilih meninggalkan rumah, mengungsi ke tempat yang lebih aman, berharap bisa memulai kembali hidup dari awal.

    Di sudut-sudut kota, aparat kepolisian dan TNI berjaga ketat. Mereka hadir untuk memastikan tidak ada lagi percikan api yang bisa menyulut konflik baru.

    Namun, meski kehadiran aparat memberi rasa aman, ketegangan tetap terasa di udara—seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

    Tantangan Terbesar Selama Berdakwah di Maluku Utara

    Awalnya, Hasyir dan Putra Utomo Thalib dari Gorontalo ditugaskan di Ternate, membantu seorang dai bernama Abu Zakariyah Maryono yang sudah lebih dulu berdakwah di sana.

    Namun, baru empat hari mereka menetap, tiba-tiba tugas mereka berubah. Mereka dipindahkan ke Pulau Bacan—sebuah perjalanan panjang yang menguras tenaga dan kesabaran.

    Foto Ustaz Hasyir, S.Pd.I. saat ini dengan latar Pulau Bacan Maluku Utara

    Dari Ternate ke Bacan, mereka harus menempuh perjalanan laut selama sembilan jam menggunakan kapal kayu. Ombak yang mengguncang, angin laut yang menusuk, dan ketidakpastian menjadi teman perjalanan mereka saat itu.

    Sesampainya di Pulau Bacan, perjalanan mereka belum usai. Mereka dibawa ke Desa Geti Lama, sebuah desa kecil yang masih menjadi bagian dari Pulau Bacan, tetapi tidak bisa dijangkau melalui jalur darat.

    Satu-satunya cara untuk mencapainya adalah dengan menaiki speedboat milik pemerintah setempat, menyeberangi laut selama kurang lebih dua puluh menit.

    Desa Geti Lama bukan tempat yang mudah untuk ditinggali. Terpencil, terbelakang, dan hancur akibat konflik. Listrik belum menjangkau desa itu, membuat malam-malam mereka gelap gulita. Setiap kali matahari tenggelam, satu-satunya cahaya berasal dari lampu minyak atau obor buatan warga.

    Di tempat seperti ini, tantangan bukan hanya soal fisik, tetapi juga mental. Mereka datang dengan semangat berdakwah, tetapi realitas di lapangan jauh lebih berat dari yang dibayangkan.

    Tidak hanya fasilitas yang minim, tetapi kondisi psikologis masyarakat pun masih tertekan akibat konflik yang baru saja usai.

    Rasa takut dan curiga masih menyelimuti sebagian besar penduduk. Membuka hati mereka untuk menerima dakwah bukan perkara mudah. Namun, di tengah segala keterbatasan, mereka tetap berusaha.

    Setiap hari adalah perjuangan. Dan setiap perjuangan adalah ladang amal yang mereka tanam dengan penuh harap.

    Penerimaan Masyarakat terhadap Para Dai

    Masyarakat di sana mayoritas adalah para mualaf. Antusiasme mereka untuk belajar Islam begitu besar, terutama di kalangan anak-anak yang ingin mengaji.

    Foto Desa Geti Lama

    Setiap kali halakah kecil dibuka atau sekadar diajarkan bacaan Al-Qur’an, mata mereka berbinar, seolah menemukan sesuatu yang lama mereka cari.

    Namun, semangat itu tidak selalu bertahan lama. Ada kalanya mereka merasa jenuh, ada kalanya rasa malas menyusup di antara mereka.

    Tidak mudah mengajak mereka untuk konsisten belajar. Tetapi Hasyir dan Putra memahami itu.

    Maka, mereka tidak hanya mengajar di masjid atau di rumah-rumah. Kadang, mereka ikut ke laut, membantu menarik jaring, merasakan asin ombak di kulit.

    Kadang, mereka berjalan ke dalam hutan, menyusuri rimbunnya pepohonan, atau sekadar bertamu ke rumah-rumah warga, duduk di beranda sambil berbincang santai.

    Di sela-sela obrolan ringan itulah, mereka menyelipkan nasihat, menyampaikan ilmu dengan cara yang lebih akrab.

     Karena bagi masyarakat di sana, dakwah bukan hanya soal ceramah di mimbar—tetapi tentang kebersamaan, tentang bagaimana para dai hadir sebagai bagian dari mereka.

    Momen Berkesan dan Tantangan Terberat

    Tinggal di tempat orang lain tidak pernah semudah yang dibayangkan. Budaya yang berbeda, bahasa yang asing di telinga, makanan yang jauh dari kebiasaan—semuanya menjadi bagian dari ujian yang harus dihadapi. Namun, justru di situlah letak pelajaran dakwah yang sesungguhnya.

    Di Desa Geti, makanan pokok masyarakatnya bukan nasi, melainkan ubi dan pisang rebus. Mau tidak mau, Hasyir pun harus menyesuaikan diri.

    Awalnya, rasanya berat. Lidah yang terbiasa dengan nasi tiba-tiba harus menerima kenyataan bahwa tidak ada yang bisa dikonsumsi selain ubi dan pisang.

    Jika ingin makan nasi, mereka harus membelinya di Kota Bacan, yang hanya bisa dicapai dengan perahu.

    Masalahnya, perahu pengangkut penumpang hanya berangkat sekali dalam sepekan, itupun jika tidak ada kendala. Jika tertunda, maka mereka harus menunggu hingga Jumat berikutnya.

    Namun, di tengah keterbatasan itu, ada hal yang patut disyukuri. Mereka tidak pernah kekurangan ikan segar, hasil tangkapan langsung dari laut. Rasanya luar biasa, seakan menjadi penghibur di tengah kesederhanaan hidup di sana.

    Tapi bukan soal makanan yang menjadi tantangan terbesar. Membina masyarakat yang baru mengenal Islam adalah tugas yang tidak mudah.

    Ada keinginan belajar, tapi ada juga kebiasaan lama yang sulit ditinggalkan.

    “Butuh kesabaran, butuh pendekatan, dan yang paling penting, butuh keikhlasan,” ujar Hasyir.

    Mereka harus menjadi bagian dari masyarakat, menyelami kehidupan mereka, agar dakwah ini benar-benar bisa diterima.

    Pelajaran Berharga dari Dakwah di Daerah Pasca-Konflik

    Dalam menyebarkan dakwah, satu hal yang benar-benar dipelajari Hasyir adalah bahwa ketakutan tidak boleh menjadi penghalang.

    Setiap tempat, setiap keadaan, pasti memiliki tantangannya sendiri. Jika seseorang terjebak dalam ketakutan, maka langkahnya akan berhenti bahkan sebelum sempat dimulai.

    Suatu kali, Hasyir berbincang dengan Putra. Dengan nada serius, ia berkata, “Seandainya mereka (pihak Kristen) berniat berkhianat, maka habislah kita. Kita ini seperti terbuang di tempat ini, jauh dari siapa pun yang mengenal kita. Jika sesuatu terjadi, kawan-kawan kita pun tak akan tahu di mana jejak kita terakhir.”

    Namun, di situlah mereka belajar tentang keikhlasan dan tawakal. Mereka bersyukur, masyarakat di sana menerima mereka dengan baik.

    Itu membuktikan bahwa di balik semua ketegangan dan luka akibat konflik, masih ada hati-hati yang haus akan kebenaran, masih ada jiwa-jiwa yang butuh bimbingan.

    Dan selama masih ada mereka, maka dakwah tidak boleh berhenti.

    Nasihat untuk Para Dai yang Akan Dikirim ke Daerah

    Jangan pernah gundah atau ragu saat melangkah di jalan dakwah. Ini bukan sekadar perjalanan biasa—ini adalah jejak yang telah ditempuh para nabi dan rasul.

    Dan jalan ini, tak pernah dijanjikan mudah. Hanya mereka yang sabar, yang teguh, yang tak gentar oleh lelah dan ujian, yang akan merasakan manisnya buah dari perjuangan ini.

    Mungkin ada hari-hari di mana lelah terasa lebih berat dari semangat. Mungkin ada saat-saat di mana keheningan membuat ragu.

    Tapi ingatlah, dakwah selalu menemukan jalannya sendiri, selama ada hati yang siap bertahan dan tangan yang terus berpegang teguh pada kebaikan.

  • Tesis Magister Alumni STIBA Makassar Ungkap Pemikiran Ulama Minang yang Berpengaruh di Dunia Islam

    Tesis Magister Alumni STIBA Makassar Ungkap Pemikiran Ulama Minang yang Berpengaruh di Dunia Islam

    (STIBA.ac.id) Arab Saudi – Akram Alim Said, Lc., M.A., salah seorang alumni STIBA Makassar, baru saja menyelesaikan sidang tesisnya dalam program magister di Universitas Qashim, Arab Saudi, pada 17 Februari 2025.

    Dalam penelitiannya, ia mengupas pemikiran Syaikh Abdul Hamid Al-Khatib, seorang ulama besar berdarah Minangkabau yang memiliki pengaruh luas dalam dunia dakwah Islam.

    Syaikh Abdul Hamid adalah putra dari Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, seorang ulama tersohor yang pernah menjadi guru bagi tokoh-tokoh besar seperti KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), dan K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

    Meskipun berkewarganegaraan Arab Saudi, darah Indonesia mengalir dalam dirinya.

    Mengapa Memilih Topik Ini?

    Dalam wawancara eksklusif, Akram mengungkapkan bahwa alasan utama ia memilih topik ini adalah karena keterikatan sejarah yang kuat antara Syaikh Abdul Hamid dengan Indonesia. Selain itu, ia ingin menyoroti peran besar sang ulama dalam menyebarkan dakwah Islam di Nusantara.

    “Banyak yang belum mengetahui perjuangan beliau dalam menyampaikan kebenaran dan membimbing umat Islam di berbagai negara,” ungkap Akram.

    Pemikiran Syaikh Abdul Hamid: Relevan untuk Umat Saat Ini

    Dalam tesisnya, Akram menemukan bahwa pemikiran Syaikh Abdul Hamid sangat luas, terutama dalam bidang akidah.

    “Beliau membahas secara komprehensif tentang rukun iman, konsep bidah, kedudukan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ketaatan kepada waliul amr. Bahkan, beliau juga memiliki bantahan terhadap pemikiran-pemikiran menyimpang seperti Syiah,” jelasnya.

    Menurut Akram, kajian terhadap pemikiran ulama seperti Syaikh Abdul Hamid sangat penting bagi masyarakat Indonesia.

    “Kita perlu mengenal dan meneladani para ulama yang memiliki garis keturunan Indonesia namun berpengaruh di dunia Islam, agar dapat menjadi rujukan bagi kebangkitan umat,” tambahnya.

    Salah satu poin penting yang ditekankan dalam tesis ini adalah perlunya berpegang teguh pada Al-Qur’an dan sunah serta meneladani jejak para ulama salaf dalam menjalani kehidupan.

    Akram juga menyoroti bagaimana berbagai kemajuan teknologi di era modern, seperti alat komunikasi dan inovasi medis, seharusnya semakin memperkuat keyakinan seorang muslim kepada Allah sebagai satu-satunya Pencipta.

    Peran Besar Sang Ayah, Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi

    Selain membahas Syaikh Abdul Hamid, tesis ini juga menyinggung peran besar sang ayah, Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Lahir di Sumatera Barat, beliau dikenal sebagai sosok ulama yang cerdas dan zuhud. Kesungguhannya dalam menuntut ilmu mengantarkannya menjadi imam dan guru besar Mazhab Syafi’i di Masjidil Haram.

    “Pengangkatannya sebagai imam dan pendidik di Tanah Suci memiliki dampak besar, tidak hanya bagi umat Islam di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia Islam. Banyak pemuda Indonesia yang datang ke Mekkah untuk menimba ilmu langsung darinya,” kata Akram.

    Pengaruhnya di dunia Islam, terutama di Indonesia, sangat signifikan. Murid-muridnya kelak menjadi tokoh-tokoh besar dalam pembaruan agama dan sosial di tanah air.

    Warisan Ilmu yang Terus Hidup

    Melalui penelitiannya, Akram berharap bahwa pemikiran dan perjuangan Syaikh Abdul Hamid Al-Khatib dapat lebih dikenal dan diapresiasi oleh masyarakat Indonesia.

    “Kita perlu mengambil hikmah dari perjalanan hidup para ulama, agar tetap teguh dalam meniti jalan kebenaran,” pungkasnya.

  • Jejak Dakwah Sukirman di Papua Selatan, Antara Tantangan dan Keikhlasan

    Jejak Dakwah Sukirman di Papua Selatan, Antara Tantangan dan Keikhlasan

    (STIBA.ac.id) Papua Selatan — Sukirman, S.H., seorang alumni STIBA Makassar, melangkah ke jalan yang mungkin tidak banyak dipilih orang. Perjalanan dakwahnya ke Papua Selatan bukanlah kisah biasa, melainkan sebuah pengabdian penuh peluh dan keberkahan.

    Awalnya ia ditugaskan ke Gresik, Jawa Timur, tetapi takdir Allah, membawa cerita ini ke arah yang berbeda. Kini, bersama istri dan anaknya yang masih kecil, Sukirman mengemban amanah besar di tanah Papua.

    Awalnya, ia telah di-SK-kan untuk bertugas di Gresik. Dua bulan berlalu setelah pelepasan para dai, namun kabar tentang keberangkatan yang dinanti-nanti tak kunjung tiba.

    “Kami sampai merasa sungkan,” kenangnya, “hampir setiap hari kami menghubungi Ketua DPW Jawa Timur untuk memastikan kesiapan tempat tugas.”

    Tapi jawaban yang datang tetap sama: belum ada kepastian.

    Waktu berjalan, dan kejenuhan mulai menyelimuti. Mengajar TK/TPA di kampung halaman memang tetap ladang pahala, tapi Sukirman ingin lebih. Melihat teman-teman seangkatannya sudah memulai pengabdian di masyarakat, rasa ingin berkhidmat di medan dakwah yang lebih luas tak bisa ia bendung. Ia mencoba menghubungi Ketua DPD Takalar, memohon agar ditempatkan di daerah asalnya saja. Tapi, lagi-lagi, jalan itu bukan untuknya. Takalar telah memiliki dai yang bertugas.

    Di tengah kebimbangan, Allah membukakan jalan lain. Sebuah postingan di grup alumni STIBA Makassar menarik perhatiannya. Dibutuhkan seorang dai untuk bertugas di Papua Selatan. Tanpa berpikir lama, ia menghubungi kontak yang tertera dan mengajukan niatnya. Kesempatan ini adalah jawaban atas kebimbangannya.

    Setelah berdiskusi dengan Ustaz Akino dan menunggu hasil musyawarah DPP Wahdah Islamiyah, ia diberikan tiga pilihan: Pangkep (Ponpes milik Ustaz Tamsil Linrung), sebuah daerah di luar Sulawesi yang namanya tak sempat ia ingat, atau Papua. Dengan keyakinan yang terpatri dalam hati, ia memilih Papua Selatan.

    Hanya sepekan setelah keputusan itu, Sukirman berangkat. Bersama istri dan anaknya yang baru berusia satu tahun, ia meninggalkan kenyamanan untuk memulai perjalanan baru. Di tengah rindu akan kampung halaman, ia membawa harapan besar, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masyarakat yang kini menjadi ladang amalnya.

    Kesan Pertama dan Tantangan di Papua Selatan

    Saat pertama kali menginjakkan kaki di Papua Selatan, Sukirman harus menghadapi realitas baru. Lingkungan yang berbeda dengan kampung halamannya di Takalar menuntutnya untuk beradaptasi, meski tak mudah.

    “Ada sedikit perbedaan dengan daerah asal kami,” katanya singkat, seolah ingin menyimpan detailnya untuk dirinya sendiri.

    Tapi di tengah semua itu, ada hal yang membuat perjalanan ini terasa lebih ringan: sambutan hangat. Para asatidz, pengurus, hingga santri binaan Wahdah Islamiyah Papua Selatan menerima kehadiran Sukirman dan keluarganya dengan tangan terbuka, menyelimuti mereka dengan rasa kekeluargaan yang tulus.

    Namun, tantangan tidak berhenti di situ. Ada rasa khawatir yang menyusup di hati, terutama terkait isu-isu konflik di Papua yang tak jarang terdengar. Sukirman mengakui, bukan hanya dirinya yang harus dikuatkan, tapi juga keluarganya.

    “Kami terus berusaha melawan rasa khawatir tersebut dengan memperbanyak doa dan tawakal,” ungkapnya. Doa menjadi pegangan, dan tawakal menjadi kekuatan untuk tetap melangkah.

    Diterima dengan Hangat oleh Komunitas

    Dua pekan setelah kedatangannya, Sukirman diarahkan oleh Ketua DPW ke Masjid Al-Furqon, sebuah masjid binaan Wahdah Islamiyah. Di sana, ia bertugas sebagai imam rawatib sekaligus menjadi bagian dari kepengurusan masjid.

    Sambutan hangat dari DKM Masjid Al-Furqon menjadi penguat semangatnya.

    “Kami disambut dengan penuh kehangatan, bahkan diberi amanah tambahan sebagai naib khatib dan bendahara,” ujarnya dengan nada syukur.

    Kehangatan itu menjadi motivasi tersendiri bagi Sukirman untuk terus berkhidmat. Tanggung jawab baru yang diembannya bukan beban, melainkan peluang untuk menanam amal lebih banyak di tanah yang kini ia sebut rumah kedua.

    Program Dakwah yang Memberikan Dampak

    Di tanah Papua, Sukirman menjalankan berbagai program dakwah yang membawa dampak nyata. Ia aktif dalam khotbah Jumat, menjadi imam rawatib, membina pondok, mengadakan program Tahfiz Weekend, mengajar di TK/TPA, hingga terlibat dalam tarbiah dan Dirosa. Selain itu, ia juga aktif dalam kepengurusan MUI distrik Merauke. Dari sekian banyak program, tarbiah dan Dirosah memiliki tempat tersendiri di hatinya.

    “Program ini sangat berdampak,” ujarnya.

    “Para binaan begitu antusias, bahkan khawatir jika kami pulang kampung nanti, tidak ada yang melanjutkan membina mereka.”

    Ungkapan ini sekaligus menjadi pengingat tentang betapa pentingnya peran seorang dai di komunitas yang haus akan ilmu dan bimbingan.

    Keputusan untuk Memperpanjang Masa Pengabdian

    Masa pengabdian resminya sebenarnya telah usai. Namun, Sukirman memilih untuk tetap bertahan. Keputusan ini bukan tanpa alasan.

    “Kami merasa keberadaan kami sangat dibutuhkan di sini,” tuturnya.

    Meskipun isu-isu konflik kadang membayangi, tekad Sukirman tidak goyah. Ia terus berpegang pada doa dan keikhlasan, memohon kekuatan dan perlindungan dari Allah.

    Di tanah Papua yang jauh dari kampung halaman, Sukirman menemukan arti dari pengabdian yang sesungguhnya—menjadi bagian dari perjuangan dakwah yang membawa manfaat bagi umat.

    Momen Berkesan

    “Alhamdulillah, banyak momen yang berkesan selama kami berdakwah di tanah Papua,” ujarnya dengan nada syukur yang tak bisa disembunyikan.

    Salah satu momen paling berarti adalah ketika ia dipercaya menjadi bagian dari MUI di Merauke. Sebuah amanah yang menurutnya bukan sekadar tugas, tetapi juga kehormatan.

    Selain itu, ada pula kebahagiaan yang terpancar saat ia dapat berbagi ke masyarakat asli Papua dalam program berbagi hewan kurban yang diinisiasi oleh DPW dan DPD.

    “Melihat senyum mereka, merasakan hangatnya sambutan mereka—itu adalah kebahagiaan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata,” katanya, menyiratkan betapa pengabdian ini adalah bagian dari perjalanan spiritualnya.

    Namun, dari semua momen yang berkesan, hikmah terbesar justru datang dari interaksi dengan masyarakat Papua.

    “Kami belajar tentang kerukunan dan toleransi yang luar biasa di sini,” ungkapnya dengan nada haru. Ia bercerita bahwa meskipun banyak isu negatif yang sering terdengar tentang Papua, realitas yang ia alami berbeda.

    “Masyarakat asli Papua menunjukkan keramahan yang luar biasa. Hal ini membuktikan bahwa tidak semua seperti yang digambarkan dalam isu-isu yang beredar,” tambahnya.

    Sukirman berharap harmoni itu akan terus terjaga, menjadi bukti nyata indahnya keberagaman dan toleransi di tanah Papua.

    Harapan untuk Dakwah di Papua

    Ketika ditanya tentang peran alumni STIBA lainnya dalam mendukung dakwah di Papua, Sukirman menyampaikan pandangannya.

    “Papua, khususnya Papua Selatan, sangat membutuhkan dai,” tegasnya.

    Ia menjelaskan bahwa daerah ini mencakup empat kabupaten yang luas, dengan berbagai tantangan dalam merapikan kelembagaan Wahdah Islamiyah.

    “Kami butuh personel yang berkompeten, perintis yang siap membangun program-program dakwah dan mencetak kader penerus di masa depan,” ujarnya dengan penuh harap.

    Meski demikian, ia mengungkapkan sedikit keprihatinan.

    “Sebagian ikhwan alumni atau dai enggan diutus ke Papua. Padahal, dakwah di sini adalah ladang amal yang besar,” ujarnya, mengingatkan.

    Sukirman berharap agar STIBA Makassar atau DPP Wahdah Islamiyah dapat mengutus lebih banyak lagi dai ke tanah Papua, sehingga program-program dakwah dapat berjalan lebih efektif.

    Inspirasi dari Bumi Papua

    Dari pengalaman Sukirman, kita belajar bahwa dakwah bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan hati.

    Setiap langkah yang ia tempuh di Papua adalah cermin dari ketulusan seorang dai yang ingin membawa cahaya Islam ke pelosok negeri.

    Dan di balik segala tantangan yang ada, ia telah menemukan pelajaran besar: tentang toleransi, kebersamaan, dan pentingnya peran seorang dai untuk membangun harapan di tanah yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan.

    Sukirman mengakhiri dengan doa dan harapan.

    “Semoga Allah selalu menjaga kita semua dalam dakwah ini, memberi kekuatan, dan meneguhkan langkah kita,” ujarnya.

    Bagi Sukirman, Papua bukan sekadar tempat tugas, tetapi rumah kedua yang menyimpan banyak hikmah dan keindahan.

  • Ikatan Alumni dan Dema STIBA Makassar Bersinergi untuk Korban Banjir

    Ikatan Alumni dan Dema STIBA Makassar Bersinergi untuk Korban Banjir

    (STIBA.ac.id) Makassar – Kegiatan bakti sosial berupa penyaluran bantuan kepada korban banjir telah sukses dilaksanakan pada hari Rabu, 25 Desember 2024.

    Kegiatan ini merupakan wujud sinergi antara Ikatan Alumni STIBA Makassar (IKA STIBA Makassar) dan Departemen Sosial Keputrian Dema STIBA Makassar, dengan tujuan membantu meringankan beban masyarakat yang terdampak bencana.

    Rincian Lokasi dan Bantuan yang Disalurkan

    Bantuan disalurkan di dua titik lokasi pengungsian utama, yaitu:

    1. Masjid Ubay bin Ka’ab (Perumahan Ikhwah)
      • Jumlah bantuan: 23 paket sembako
      • Air mineral: 8 dus
    2. Masjid Jabal Nur (Blok 10)
      • Jumlah bantuan: 37 paket sembako
      • Air mineral: 8 dus

    Total bantuan yang disalurkan:

    • 60 paket sembako
    • 16 dus air mineral (kemasan gelas)

    Bantuan disalurkan langsung oleh tim IKA STIBA Makassar dan Departemen Sosial Keputrian Dema STIBA Makassar dengan dukungan dari relawan Wahdah Inspirasi Zakat.

    Di Masjid Ubay bin Ka’ab, distribusi berlangsung tertib dan diterima dengan antusias oleh masyarakat.

    Sementara itu, penyaluran di Masjid Jabal Nur melibatkan panitia pengelola masjid untuk memastikan kelancaran proses distribusi.

    Tidak dapat dimungkiri, tantangan di lapangan turut mewarnai pelaksanaan kegiatan ini.

    Genangan banjir di sekitar wilayah STIBA Makassar menyulitkan akses kendaraan pengangkut bantuan ke lokasi tujuan.

    Namun, semangat kerja sama dan dukungan dari berbagai pihak menjadi kunci keberhasilan kegiatan ini.

    Berkat upaya kolektif, seluruh bantuan berhasil tiba di tangan masyarakat yang membutuhkan.

    Kegiatan bakti sosial ini adalah cerminan nyata dari kepedulian sosial dan solidaritas terhadap sesama.

    Kami berharap bantuan yang diberikan dapat meringankan beban masyarakat terdampak sekaligus menjadi inspirasi untuk terus berbagi di masa mendatang.

    Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi, baik melalui tenaga, waktu, maupun donasi.

    Semoga kebaikan ini membawa keberkahan bagi semua yang terlibat, dan menjadi pengingat bahwa bersama, kita bisa menghadapi setiap tantangan dengan lebih kuat.

  • Harapan dan Tantangan Alumni STIBA Makassar: Sorotan dari Sesi Diskusi Temu Alumni 2024

    Harapan dan Tantangan Alumni STIBA Makassar: Sorotan dari Sesi Diskusi Temu Alumni 2024

    (STIBA.ac.id) Makassar –  Kegiatan Silaturahim Temu Alumni STIBA Makassar yang digelar 8 Desember 2024 di Asrama Haji Sudiang Makassar tahun ini tidak hanya menjadi ajang mempererat ukhuwah, tetapi juga ruang penting untuk mendengar aspirasi, tantangan, dan harapan para alumni.

    Dalam sesi diskusi yang penuh antusiasme, alumni dari berbagai angkatan menyampaikan pandangan, gagasan, hingga kritik yang membangun.

    Momen ini menjadi pengingat bahwa peran alumni STIBA tidak pernah lepas dari dinamika dan tantangan dakwah di berbagai daerah.

    Salah satu topik hangat yang diangkat adalah bagaimana menguatkan koneksi antar-alumni, terutama mereka yang kini tersebar di berbagai wilayah dan bahkan lintas profesi.

    “Beberapa alumni kita yang terlihat sedikit melupakan nilai-nilai yang ada STIBA, tetapi sejatinya mereka hanya butuh dirangkul kembali,” ungkap Muh. Dzulfadli (alumni angkatan 2018).

    Harapan besar disampaikan agar Ikatan Alumni (IKA) STIBA mampu menyediakan program-program yang lebih inklusif, sehingga alumni dari berbagai latar belakang tetap merasa menjadi bagian dari keluarga besar STIBA.

    Dalam sesi ini, sejumlah alumni senior mengungkapkan keprihatinan atas fenomena alumni yang semakin menjauh dari prinsip-prinsip dakwah, seperti kedisiplinan dalam menjalankan sunah hingga peran mereka dalam tarbiah.

    “Tantangan kita adalah bagaimana menciptakan alumni yang tidak hanya cerdas secara ilmu syar’i, tetapi juga memiliki militansi dakwah di lapangan,” tegas Ustaz Syu’aib Didi, alumni angkatan 2002.

    Kritik ini disambut positif oleh peserta diskusi lainnya yang mengajukan solusi praktis untuk memperbaiki sistem pembinaan alumni, seperti pelatihan rutin, program mentoring, dan penguatan ukhuwah melalui kegiatan-kegiatan yang relevan.

    Di antaranya adalah sebagaimana yang disampaikan oleh ustadz Syaibani Mujiono, alumni STIBA yang juga sekarang memegang jabatan sebagai Sekretaris Jenderal di Ormas Wahdah Islamiyah.

    “Ingat, memang tidak semua telur yang diramu bisa menetas. Para alumni juga mungkin memiliki banyak model di lapangan karena tidak mengalami proses yang sama di lapangan. Tapi buktinya, hampir semua alumni justru berhasil membawa manfaat besar di masyarakat. Maka jangan mengandalkan rasa atau prasangka karena bisa saja justru mendatangkan bahaya,” ujarnya.

    “Jika bertemu dengan alumni yang berceceran di mana-mana, jangan lupa untuk saling mengingatkan tentang tabriaah dan bergabung dalam kafilah dakwah. Di mana pun kita berada, hal yang kita inginkan adalah membawa nilai yang kita punya, minimal membawa nilai-nilai dakwah, dengan mengamalkan dan mengajarkan apa yang telah dipelajari selama di STIBA,” tambah alumni Angkatan 2001 tersebut.

    Diskusi juga menyoroti pentingnya menjembatani kesenjangan antara alumni lama dan baru.

    Alumni senior menyarankan adanya kolaborasi yang lebih erat, di mana alumni lama dapat menjadi mentor bagi alumni muda dalam berbagai aspek dakwah dan kehidupan.

    Harapan ini didasarkan pada pengalaman alumni senior yang telah membuktikan militansi mereka di lapangan, sekaligus menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya.

    Sesi diskusi yang penuh semangat ini menjadi bukti bahwa alumni STIBA Makassar memiliki komitmen tinggi untuk terus berkontribusi dalam dakwah, meski tantangan semakin beragam.

    Dengan berbagai harapan yang telah disampaikan, Temu Alumni ini bukan hanya menjadi ajang temu kangen, tetapi juga langkah konkret untuk memperkuat sinergi demi masa depan dakwah yang lebih baik.

    Sebagai penutup, Ketua IKA STIBA Makassar, Muhammad bin Yusran, S.H., M.H. mengatakan bahwa Ikatan Alumni (IKA) ini harus terus menjadi ruang inspirasi bagi para alumni untuk saling menguatkan dan melangkah bersama.

    “Ini bukan tentang siapa yang lebih baik, tetapi tentang bagaimana kita semua bisa berkontribusi untuk umat dengan membawa nilai-nilai STIBA,” ungkapnya.

  • Silaturahim Temu Alumni STIBA Makassar, Solidkan Peran Pejuang Dakwah

    Silaturahim Temu Alumni STIBA Makassar, Solidkan Peran Pejuang Dakwah

    (STIBA.ac.id) Makassar –  Ikatan Alumni (IKA) STIBA Makassar menggelar Silaturahim Temu Alumni bersama Pimpinan STIBA Makassar di Asrama Haji Sudiang, 8 Desember 2024.

    Kegiatan ini menjadi ajang istimewa untuk mempererat ukhuwah dan memperkuat peran alumni dalam dakwah, diikuti oleh ratusan alumni secara langsung dan daring melalui Zoom Meeting.

    Sejak pagi, alumni dari berbagai angkatan berkumpul dengan semangat kebersamaan dan ukhuwah.

    Dalam sambutannya, Ketua STIBA Makassar, Ustaz Akhmad Hanafi Dain Yunta, Lc., M.A., Ph.D. mengingatkan pentingnya menjaga identitas sebagai lulusan STIBA, menegaskan bahwa setiap alumni memiliki tanggung jawab besar sebagai teladan dan solusi bagi masyarakat.

    “Identitas ini adalah amanah. Kalian adalah wajah dakwah yang harus membawa kebaikan,” ujarnya.

    Tak hanya itu, disampaikan pula harapan agar alumni terus menjalin hubungan erat dengan almamater, baik melalui kontribusi nyata di masyarakat maupun melalui program-program yang difasilitasi oleh IKA STIBA.

    Kegiatan ini tidak hanya mempererat hubungan personal, tetapi juga mengingatkan kembali nilai-nilai perjuangan yang ditanamkan selama masa studi di STIBA.

    Berbagai penyampaian dari para tokoh STIBA Makassar dalam acara ini berhasil membangkitkan semangat para alumni untuk terus belajar dan berkarya.

    Dengan mengangkat tema-tema yang relevan, seperti pentingnya menjadikan ilmu syar’i sebagai solusi kehidupan, acara ini memberikan bekal motivasi yang segar.

    Para alumni didorong untuk memanfaatkan ilmu yang telah mereka dapatkan sebagai dasar dalam berdakwah dan berkarya di masyarakat.

    Secara spesial, kegiatan ini dihadiri pula oleh Pemimpin Umum Wahdah Islamiyah yang juga merupakan salah satu dari pendiri STIBA Makassar, yaitu K.H. Muhammad Zaitun Rasmin.

    Dalam penyampaiannya, Ustaz Zaitun mengingatkan tentang Amanah yang diemban oleh para penuntut ilmu syar’i.

    “Tugas di pundak kita berat. Kita diberikan amanah yang tidak diberikan kepada orang lain. Hendaknya kita bisa memimpin, sebagaimana qudwah kita para nabi dan rasul. Kita semua memiliki ilmu syari, dan karena itu kita memiliki tanggung jawab yang besar,” tegasnya.

    Momen temu alumni ini juga membuka ruang diskusi lintas angkatan. Para alumni senior berbagi pengalaman mereka dalam menghadapi tantangan dakwah, sementara alumni muda menyampaikan ide-ide segar untuk meningkatkan peran IKA STIBA. Dalam suasana diskusi yang hangat, terlihat semangat kolaborasi yang menguatkan peran organisasi alumni dalam mendukung aktivitas dakwah di berbagai bidang.

    Temu Alumni STIBA Makassar 2024 menjadi momentum untuk menegaskan kembali peran penting alumni sebagai bagian dari solusi umat. Dengan berakhirnya kegiatan ini, semangat yang terbangun menjadi bekal berharga untuk melanjutkan perjuangan dakwah di berbagai lini kehidupan.

    “Silaturahim ini bukan sekadar pertemuan, tetapi juga momen refleksi. Kami yakin, alumni STIBA akan terus membawa cahaya di tengah masyarakat,” ujar Ketua IKA STIBA, Muhammad bin Yusran, S.H., M.H.

    Acara ini juga dihadiri oleh tokoh-tokoh penting seperti Ketua Umum DPP Wahdah Islamiyah, Ketua Senat STIBA Makassar, Ketua STIBA Makassar, dan sejumlah ustaz senior, serta alumni dari angkatan pertama hingga terbaru.

  • Dari Kampus ke Lapas: Dakwah dan Pembinaan Alumni STIBA Makassar di Balik Jeruji Lapas Serang

    Dari Kampus ke Lapas: Dakwah dan Pembinaan Alumni STIBA Makassar di Balik Jeruji Lapas Serang

    (STIBA.ac.id) Serang – Alumni 2024 Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (STIBA) Makassar terus berperan aktif dalam mengamalkan ilmu mereka melalui program Dirosa (Dirasah untuk Orang Dewasa) di Lapas Kelas IIA Serang. Lebih dari 70 warga binaan kini merasakan manfaat dari pengajaran rutin yang diadakan setiap pekan oleh para dai muda alumni STIBA Makassar.

    Program ini menjadi bukti nyata kontribusi alumni STIBA Makassar dalam membina masyarakat, bahkan di lingkungan yang penuh tantangan seperti lapas. Para dai muda ini membimbing warga binaan dalam lima kelompok belajar, menggunakan metode Dirosa yang dirancang untuk memudahkan orang dewasa membaca Al-Qur’an dengan lancar hanya dalam 20 pertemuan.

    Kerja sama ini adalah hasil kolaborasi antara Wahdah Islamiyah dan Lapas Kelas IIA Serang, yang diresmikan melalui penandatanganan MoU pada Rabu, 9 Oktober 2024. Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh Kepala Lapas, Fajar Nurcahyono, AMd, IP., S.Sos., M.S.I., dan Ketua DPW Wahdah Islamiyah Banten, Ustaz Jumardan, S.Pd.I., M.Pd. Kepala Lapas mengapresiasi peran aktif para alumni STIBA dalam memberikan pendidikan agama di lingkungan lapas.

    “Kami berterima kasih kepada para ustaz yang dengan penuh keikhlasan memberikan ilmu dan kebaikan di lapas ini,” ujar Fajar Nurcahyono. Ia juga mendoakan agar kebaikan ini terus mengalir dan menjadi pahala yang tak terputus.

    Para alumni STIBA Makassar yang juga merupakan pengurus Wahdah Islamiyah Banten selain mengajarkan kemampuan membaca Al-Qur’an, juga menjadikan program Dirosa sebagai sarana pembinaan spiritual dan moral bagi para peserta. Melalui pendekatan yang sistematis, program ini diharapkan mampu membawa perubahan positif dan membangun karakter yang lebih baik..

    Selain itu, Wahdah Islamiyah dan para dai alumni STIBA Makassar berharap program ini dapat terus berjalan dengan dukungan berbagai pihak, termasuk donatur yang tergerak untuk berkontribusi dalam kebaikan ini. Tujuannya adalah memberikan manfaat seluas mungkin bagi masyarakat, termasuk mereka yang saat ini berada di balik jeruji.

    Reporter: Muh. Akbar, S.H. (Dai Pengabdian Alumni STIBA, Banten)

  • Semangat Kemerdekaan, Pelepasan 314 Alumni STIBA Makassar dan 9 Alumni PKU untuk Dakwah Nusantara

    Semangat Kemerdekaan, Pelepasan 314 Alumni STIBA Makassar dan 9 Alumni PKU untuk Dakwah Nusantara

    (STIBA.ac.id) Makassar – Wahdah Islamiyah secara resmi melepas 404 dai dan daiyah, termasuk 314 alumni Program Perbandingan Mazhab dan sembilan alumni Program Kaderisasi Ulama (PKU) STIBA Makassar. Acara pelepasan yang dirangkaikan dengan Tablig Akbar tersebut diadakan di Wisma Negara, Makassar, bertepatan dengan perayaan Hari Kemerdekaan RI yang ke-79. Dihadiri sejumlah tamu undangan, di antaranya Walikota Makassar, Ir. Mohammad Ramdhan Pomanto, Ustaz Dr. Das’ad Latif, dan tamu-tamu lainnya.

    Dalam sambutannya, Ketua Umum Wahdah Islamiyah, Dr. K.H. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc., M.A., mengungkapkan rasa syukur atas terselenggaranya acara tersebut. Ia juga menyoroti pentingnya peran dai dalam menyebarkan dakwah di seluruh pelosok Indonesia. Dengan semangat “Tebar Kebaikan Nusantara untuk Indonesia Maju”, para dai yang dilepas diharapkan dapat membawa pesan kebaikan dan pencerahan kepada umat.

    “Kami tidak hanya mengucapkan slogan, tetapi ini adalah upaya nyata untuk meningkatkan dakwah di seluruh Indonesia. Alhamdulillah, hari ini kita melepas 404 dai dan daiyah yang siap berjuang menyebarkan ajaran Islam ke seluruh penjuru negeri,” ujar Ustaz Dr. Zaitun Rasmin.

    Wahdah Islamiyah, melalui berbagai program pendidikan dan pembinaan, terus berkomitmen mencetak dai yang berkualitas. Ada empat pola utama dalam pelatihan dai dan daiyah, yaitu pembinaan reguler, sekolah intensif selama setahun, STIBA Makassar yang berlangsung sekitar empat atau lima tahun, dan Pendidikan Kader Ulama (PKU).

    Anggota Dewan Pertimbangan MUI pusat itu mengajak peserta untuk selalu mendoakan dan memperjuangkan hak-hak rakyat Palestina.

    Acara ini juga menghadirkan ustaz kondang asal Makassar, Ustaz Dr. Das’ad Latif. Ustaz Das’ad memberikan ceramah penting mengenai strategi komunikasi dakwah yang efektif. Acara ini bertujuan untuk membekali para dai yang akan diutus ke berbagai daerah agar dakwah mereka dapat diterima dan disukai masyarakat.

    Ustaz Das’ad Latif menekankan bahwa komunikasi dakwah yang baik adalah kunci untuk menyampaikan pesan Islam dengan cara yang relevan dan diterima audiens. Ia menjelaskan teknik-teknik berkomunikasi dengan berbagai audiens, termasuk penggunaan media sosial seperti Instagram dan TikTok, yang kini sangat penting untuk menjangkau khalayak luas.

    Ia juga menggarisbawahi pentingnya menyesuaikan metode dakwah dengan karakteristik audiens. Para dai diharapkan untuk memahami latar belakang dan kebutuhan masyarakat yang mereka targetkan, serta menyampaikan pesan dengan cara yang menarik dan mudah dipahami.

    “Saran saya untuk para dai adalah untuk selalu beradaptasi dengan audiens dan menggunakan teknik komunikasi yang tepat agar pesan dakwah bisa diterima dengan baik,” ujarnya.

    Di pengujung acara, Ustaz Zaitun Rasmin dan Ustadz Das’ad Latif mengajak kepada jemaah untuk berdonasi melalui Lembaga Zakat Wahdah Inspirasi Zakat (WIZ) guna mendukung kelancaran operasional pengiriman ratusan dai itu ke berbagai daerah di Indonesia.