Akhbar Terbaru

  • Adab Seorang Muslim di Musim Hujan

    Adab Seorang Muslim di Musim Hujan

     Memasuki_Musim_Hujan

    Musim kemarau telah lama berlalu dan berganti dengan musim penghujan. Satu hal yang patut disyukuri karena Allah Ta’ala masih menurunkan rahmat‐Nya  kepada kita mengingat dosa‐dosa anak Adam sedemikian derasnya terjadi saat ini, sehingga jika kita mau memerhatikan, hampir seluruh dosa umat‐umat terdahulu telah dilakukan oleh umat manusia pada saat ini.

    Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa kemarau akan menimpa suatu kaum yang bermaksiat kepada Allah, sedangkan hujan yang diturunkan kepada mereka merupakan rahmat Allah ta’ala kepada hewan ternak. Asy Syaukani dalam Nailul Authar 4/26 mengatakan, “Sesungguhnya turunnya hujan tatkala maksiat tersebar hanyalah rahmat dari Allah Ta’ala kepada hewan ternak.”

    Adakah kita mau berpikir?

    Terkait dengan hujan, seorang muslim selayaknya mengetahui berbagai adab yang telah dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hujan turun. Beliau telah memberikan teladan kepada umatnya dalam seluruh perkara, tidak terkecuali dalam permasalahan ini. Bahkan setiap muslim patut mengetahui berbagai tuntunan syariat dalam setiap perkara agar mampu mengamalkannya, sehingga pahala akan senantiasa mengalir kepada dirinya. Adab yang dituntunkan ketika Allah menurunkan hujan‐Nya ke permukaan bumi. Semoga Allah menjadikan amalan ini bermanfaat bagi diri kami pribadi dan kaum muslimin, sesungguhnya hanya kepada‐Nya semata kami memohon hidayah dan ‘inayah.

    Asal Muasal Hujan

    Sebagian orang yang pernah mengecap pendidikan di bangku sekolah atau kuliah tentu telah mengetahui asal muasal hujan secara ilmiah. Pada kesempatan ini, kita sedikit menyimak perkataan para ulama mengenai asal muasal terjadinya hujan. Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka juga mengetahui pengetahuan alam yang bersifat teoritis.

    “Para ulama mengatakan bahwa uap air yang berasal dari laut terkadang terkumpul di awan membentuk air hujan dengan ketentuan Allah. Terkadang air hujan tersebut terbentuk di angkasa, kemudian dengan ketentuan Allah hujan tersebut turun kepada manusia. Dia Mahakuasa untuk berbuat hal tersebut, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” Maka terjadilah ia.” (QS. Yaasin: 82).

    Allah Mahatahu terhadap segala sesuatu yang dibutuhkan para hamba-Nya. Maka terkadang dengan izin Allah seluruh air ini terkumpul dari samudera kemudian Allah menjadikannya tawar di angkasa, Dia merubah air tersebut, yang semula asin menjadi tawar. Sesuai kehendak-Nya, Allah menggiring air yang berada dalam awan ke berbagai belahan bumi yang membutuhkan. Terkadang Allah menciptakan air tersebut di angkasa, kemudian awan dan angin membawanya ke berbagai tempat yang membutuhkan. Hal di atas telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau Miftaah Daaris Sa’adah, juga disebutkan oleh ulama selain Ibnul Qoyyim” (Majmu Fatawa Ibni Baaz 13/87).

    Hanya Allah yang Mengetahui Kapan Turunnya Hujan

    Waktu turunnya hujan merupakan salah satu dari mafatihul ghaib (kunci-kunci perkara gaib) yang hanya diketahui oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada yang mampu mengetahuinya melainkan Allah semata. Allah Ta’ala berfirman, “Dan pada sisi Allahlah kunci kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri” (Al An’aam: 59).

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Kunci-kunci gaib ada lima, tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah semata. Tidak ada yang mengetahui kejadian di masa depan melainkan Allah semata, tidak ada yang mengetahui apa yang berada di rahim seorang ibu melainkan Allah, tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan turunnya hujan melainkan Allah semata. Tidak satupun jiwa mengetahui di mana dirinya akan mati dan tidak ada yang mengetahui kapan terjadi kiamat melainkan Allah semata.” (HR. Bukhari).

    Dalam riwayat lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kunci-kunci gaib itu ada lima, sesungguhnya hanya Allah yang mengetahui waktu terjadinya kiamat, turunnya hujan dan apa yang berada dalam rahim. Tidak seorang pun mengetahui apa yang akan dialaminya besok dan di belahan bumi mana ajal menjemputnya.” (HR. Bukhari).

     

    Adab Adab Ketika Turun Hujan

    1. Takut dan khawatir terhadap siksa Allah

    Ummul Mukminin ‘Aisyah radliallahu ‘anha pernah berkata,

     “Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa terbahak-bahak hingga terlihat lidahnya, beliau hanya tersenyum. Apabila beliau melihat awan mendung dan mendengar angin kencang, maka wajah beliau akan segera berubah. ‘Aisyah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah! Aku memerhatikan apabila manusia melihat awan mendung, maka mereka bergembira karena mengharap hujan akan turun. Namun, aku memerhatikan dirimu, jika mendung datang, kegelisahan nampak di wajahmu.” ‘Aisyah berkata, “Maka Rasulullah pun menjawab, “Wahai ‘Aisyah tidak ada yang dapat menjaminku, bahwa awan tersebut mengandung adzab. Sungguh suatu kaum telah diadzab dengan angin kencang sedangkan mereka mengatakan, “Inilah awan yang akan mengirimkan hujan kepada kami” (Al Ahqaaf: 24)” (HR. Muslim).

    An-Nawawi rahimahullah mengatakan,

    “Dalam hadits ini terkandung anjuran untuk senantiasa merasa diawasi oleh Allah dan berlindung pada-Nya tatkala terjadi perubahan cuaca dan nampak penyebab sesuatu yang ditakutkan. Rasa takut beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut karena khawatir umat beliau akan diadzab dengan sebab kemaksiatan yang dilakukan oleh para pelaku maksiat dan beliau akan kembali gembira ketika sebab yang menimbulkan ketakutan telah berlalu (dalam hal ini awan mendung dan angin kencang pent.)”(Syarh Shahih Muslim 6/196).

    1. Berdoa ketika turun hujan

    Apabila hujan turun maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah radliallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila melihat hujan, maka beliau berdoa dengan lafadz,

    اَللَّهُم صيبا نَافِعًاَّ

     “Ya Allah, turunkanlah hujan yang baik dan bermanfaat.” (HR. Bukhari).

    Dalam al Umm (1/223‐224) Imam Asy-Syafi’i menyebutkan sebuah hadits mursal, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

     “Bergegaslah berdoa di waktu yang mustajab, yaitu ketika bertemunya dua pasukan di medan pertempuran, shalat hendak dilaksanakan, dan turunnya hujan.”

    Imam Ibnul Qayyim juga menyebutkan hal ini dalam kitabnya Zaadul Ma’ad (1/439).

    1. Memperbanyak rasa syukur kepada Allah

    Bumi yang semula tandus akan kembali subur ketika hujan membasahinya, hal ini merupakan salah satu nikmat Allah yang diturunkan kepada para hamba‐Nya dan patut disyukuri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Bersyukurlah kepada Allah. dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Mahaterpuji” (QS. Luqman: 12).

    Imam An Nawawi dalam Al Adzkar (1/182) berkata, “Dianjurkan untuk bersyukur kepada Allah atas curahan nikmat ini, yaitu nikmat diturunkannya hujan.”

    1. Mengguyur sebagian badan dengan air hujan

    Dari Anas radliallahu ‘anhu, dia berkata,

    “Hujan mengguyur kami beserta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyingkap sebagian bajunya sehingga hujan membasahi sebagian tubuhnya. Kami bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau lakukan hal itu? Beliau menjawab, “Aku melakukannya karena hujan tersebut adalah rahmat yang baru saja diciptakan oleh Allah.” (HR. Muslim).

    1. Berdzikir setelah turunnya hujan

    Hal ini berdasarkan kandungan yang tersirat dalam hadits Zaid bin Khalid

    Al Jahni radliallahu ‘anhu , beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ

     

    “Hujan diturunkan kepada kami dengan karunia dan rahmat-Nya.” (HR. Bukhari Muslim).

    1. Berdoa agar cuaca dicerahkan kembali

    Apabila hujan turun dengan derasnya, maka kita dianjurkan untuk berdoa kepada Allah agar cuaca dicerahkan kembali, sebagaimana hadits Anas, di mana Rasulullah berdoa dengan lafadzاَللَّهُمَّ عَلَى اْلآآَكامِ وَالجبال وَاْلظَرَابِ وَبُطُوْنِ  ِ,  حَوَالِيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا  اَللَّهُمَّ

     “Ya Allah turunkanlah hujan di daerah sekitar kami, bukan di daerah kami. Turunkanlah hujan di perbukitan, pegunungan, di lembah-lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan.” (HR. Bukhari Muslim).

    1. Berdoa ketika mendengar petir

    Dari Abdullah ibnu ‘Umar radliallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mendengar suara petir, maka beliau berujar,

    اَللَّهُمّ لا تَقْتُلْنَا  بِغَضَبِكَ وَلاَ تُهْلِكُنَا بَعَذَابِكَ وَعَافِنَا قَبْلَ ذَلِك

    “Ya Allah, janganlah Engkau hancurkan kami dengan kemarahanMu dan janganlah Engkau binasakan kami dengan adzabMu, selamatkanlah diri kami sebelum hal tersebut terjadi” (HR. Bukhari ,Tirmidzi, Hakim).

    Dari Abdullah ibnuz Zubair radliallahu ‘anhu dengan status mauquf, bahwasanya beliau tatkala mendengar petir berdoa dengan doa berikut, “Mahasuci Allah, di mana petir bertasbih dengan memuji-Nya, dan juga malaikat karena takut akan kemarahan-Nya” (HR. Bukhari, Malik, Ibnu Abi Syaibah, dengan sanad yang shahih).

    Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi kita semua, sehingga kita mampu melewati musim penghujan ini dengan meraup pahala.

    Ahmad Nasing

    Sumber: Buletin al-Fikrah STIBA Makassar edisi ke-8, 06 Jumadal Ula 1436 H/26 Februari 2015 M

  • Syaikhah Aminah Bawakan Kuliah Umum di STIBA Putri

    Syaikhah Aminah Bawakan Kuliah Umum di STIBA Putri

    gedung

    Awal semester genap T.A. 1435/1436 H,  kampus STIBA Putri kembali mendapat kunjungan tamu luar negeri. Tepat setelah  Kuliah Perdana STIBA Makassar,  pada Selasa, 06 Rabiul Akhir 1436 H/27 Januari 2015 M digelar acara Muhadharah ‘Ammah oleh Ustadzah Aminah binti Muhammad Al-Qutsamy.

    Acara dimulai pukul 09.00, dibuka dengan hizhul Qur’an dari salah seorang mahasiswi alumni Daurah Sebulan Menghafal Al Qur’an STIBA. Dilanjutkan dengan pembahasan materi “As-syukru wa As-Shabru” untuk sesi qabla Zhuhur dan materi “Ishlahul Qulub” pada bakda Zhuhur.

    Dalam materinya yang pertama, Alumni Universitas Ummul Qura ini mengatakan, “Syukur dan sabar saling berkaitan. Kesabaran membuahkan kesyukuran dan kesyukuran tidak akan ada tanpa kesabaran. Dalam hidup ini Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan nikmat yang begitu banyak. Dalam nikmat ini dibutuhkan dua perkara yaitu syukur dan sabar. Ketika nikmat itu ada  di tangan kita bisa mensyukurinya dengan mengatakan “Alhamdulillah” namun bagaimana kita bersabar atas itu??? Salah satu mahasiswi menjawab “Hendaknya kita bersabar untuk tidak menggunakan nikmat tersebut dalam  kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. ..”

    Mumtaaz!” kata Ustadzah yang sekarang ini menjabat sebagai Musyrifah ‘Ammah ‘ala Markaz Daar al-Arqam lil Istisyaaraat at Tarbawiyah wa at Ta’liimiyah wa al Usriyah (General Supervisor of Dar al-Arqam for Educational and Family Consultations) di Makkah al-Mukarramah. Lalu beliau menyebutkan bahwa kesabaran terbagi atas tiga: Sabar dalam menjalankan perintah Allah, sabar untuk tidak bermaksiat kepada Allah, dan sabar atas takdir dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

    Setelah materi pertama, beliau menyempatkan diri meninjau berbagai fasilitas kampus dan asrama yang dikhususkan bagi mahasiswi ini. Beliau juga menitip pesan kepada para muhsinin yang telah terlibat dalam pembangunan kampus baru tersebut untuk menyempurnakan amal baik tersebut.

    Pada jam istirahat setelah shalat dan makan siang, acara diisi berbagai persembahan dari para mahasisiwi yang semakin menambah kesan acara tersebut, dari hifzhul mutun sampai nasyid.

    Dan tepat pukul 14.15, muhadharah dilanjutkan dengan materi “Ishlahul Qulub”. Beliau memulainya dengan menyebutkan hadits “…. Di dalam tubuh ada segumpal daging, jika dia baik maka akan baik seluruh tubuh, dan jika ia rusak maka akan rusak seluruhnya..” (HR.Muslim)

    Dalam materi ini beliau menyebutkan beberapa hal yang dapat membantu seseorang hamba dalam memperbaiki hatinya, antara lain: Khalwah masyru’ah  (bersendiri untuk berzikir dan muhasabah, bukan menjauh dari masyarakat), muraqabatullah (perasaan selalu diawasi oleh Allah) dan malu kepada Allah yang mendorong untuk meninggalkan maksiat.

    Di akhir muhadarahnya beliau mengingatkan bahwa sesungguhnya menyibukkan diri untuk memperbaiki kondisi hati adalah jalan para pendahulu umat ini, akan tetapi hal tersebut luput dari kebanyakan kita, maka hendaklah kita bersegera memperbaikinya.

    Acara Muhadharah ‘Ammah ditutup dengan hifzhul Qur’an, oleh Ketua  Raudhatul Huffazh STIBA,UKM yang dibentuk khusus untuk melahirkan penghafal-penghafal Al Quran dengan basic ilmu syar’i yang mumpuni. (ns).

    aminah

  • Penjelasan Hadits ke-7282 Shahih Bukhari

    Penjelasan Hadits ke-7282 Shahih Bukhari

    Transkrip Taklim Hadits Pekanan Ustadz Muhammad Yusran Anshar, Lc., M.A.

    (Setiap Rabu Bakda Ashar di Kampus STIBA Makassar)

    Dari Kitab al-I’tisham Shahih Bukhari

    Hadits 7282 

     

    قالَ الإمام البخاريُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالى حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ هَمَّامٍ، عَنْ حُذَيْفَةَ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-، قَالَ: يَا مَعْشَرَ الْقُرَّاءِ! اِسْتَقِيمُوا فَقَدْ سَبَقْتُمْ سَبْقًا بَعِيدًا، فَإِنْ أَخَذْتُمْ يَمِينًا وَشِمَالًا لَقَدْ ضَلَلْتُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

    “Khuzaifah bin Yaman mengatakan, “Wahai golongan para qurro’ hendaknya kalian beristiqomah. Sungguh kalian telah mendahului dengan jarak yang sangat jauh, akan tetapi jika kalian mengambil bagian kanan dan bagian yang kiri, niscaya kalian sesat dengan kesesatan yang nyata”.

    Hadits ini adalah hadits mauquf atsar dari Khudzaifah radiyallahuanhu.

    SANAD HADITS

    Abu Nuaim : Fadl bin Dukhaim

    Sufyan : Sufyan bin Sa’id ats-Tsauriy

    Al-A’masy : Sulaiman bin Mihron

    Ibrahim : An-Nakha’i

    Hammam: Hammam bin Al-Harits

    Khuzaifah : Khuzaifah bin Yaman sahabat yang mulia, dan penyimpan rahasia dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

    PENJELASAN HADITS

    Beliau memberikan nasihat kepada orang-orang yang ada di zamannya, beliau mengatakan,

    يا معشر القراء

    معشر   : artinya kumpulan manusia yang satu propesi atau yang setingkat, entah dari sisi ilmu maupun dari sisi pekerjaan atau dari sisi umur, dan seterusnya. Makanya kadang dikatakan يا معشر الشباب ini dari sisi umurnya, atau dari sisi tingkatan keilmuan atau profesinya seperti نحن معشر الأنبياءkami adalah golongan para Nabi dan kami diperintahkan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri pada waktu sholat.”

       القراء : Jamak dari القارئ (pembaca). Dan maknanya di sini adalah ulama secara umum, yaitu para ulama yang menguasai al-Quran dan as-Sunnah. Bukan qurro’ dikhususkan untuk makna qori’, artinya pembaca atau penghafal al-Qur’an. Dulu mereka memanggil bukan dengan panggilan ulama, kebanyakan mereka istilahkan al-qurro’. Walaupun tentunya qurro’ ini idealnya dan itulah yang ada pada zaman  mereka adalah mereka  yang menguasai Al-quran dan As-sunnah secara bersama, sehingga kita tahu bahwa sababun nuzul qunut nazilah ketika banyak yang terbunuh dari kalangan penghafal Al-qur’an dan juga sababun nuzul ayat ini:

    قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

    Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah: 65-66).

     

    Sababun nuzulnya adalah para munafiqin duduk-duduk sambil menghina para ulama dangan mengatakan “kami tidak melihat yang paling memikirkan persoalan perut kecuali mereka para qurro’ dan paling penakut ketika bertemu musuh melebihi para qurro’ itu.” Yang mereka maksudkan qurro’ adalah para ulama, makanya ketika sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam turunlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menjelaskan kekafiran mereka itu. Lalu setelah turun ayat itu, mereka minta maaf lalu maengatakan bahwa kami cuma main-main saja itu hanya pembicaraan-pembicaraan untuk mengisi kekekosongan, lalu Allah mengatakan, “Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.”

    Tidak usah minta maaf, tidak ada lagi maaf bagi kalian yang  mempermainkan dan memperolok-olok persoalan firman Allah dan hadit-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Syahidnya  di situ mereka menyebut para ulama sebagai qurro’.

    Dan ini juga sebagai bukti dan ini sudah dijelaskan oleh para ulama kita bahwa qurro’ adalah mereka yang menguasai Al-qur’an dan As-sunnah, makanya Allah mengatakan بل هو أيات بينات قى صدور الذين أوتوا العلم   “Bahkan itulah al-quran  isinya ayat-ayat yang jelas di mana ayat-ayat tersebut adanya di dada orang-orang yang berilmu“.

    Jadi para ulama , mereka itulah yang menguasai Al-Qur’an dan berada di dada dada mereka, mereka menghafalkannya. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan dalam riwayat Muslim yang terkenal يؤم القوم اقرؤهم لكتاب الله

    “Yang memimpin jama’ah sholat adalah yang paling hafal Al-quran”.

    فإن كانوا فى القراءة سواء فأعلمهم بالسنة  “Kalau hafalan mereka sama maka yang paling tahu tentang sunnah”. Berarti qurro’ adalah yang menguasai kedua-duanya, dan inilah syarat terpenting untuk dikatakan sebagai ulama. Syahidnya di sini يا معشر القراء  “Wahai para ulama”, nasihat dari Khuzaifah, tentunya ini adalah nasihat secara umum, tapi ini hal yang paling penting diperhatikan oleh para ulama dan jangan sampai diabaikan. Jika ulama sudah mengabaikannya, lalu bagaimana lagi dengan para awwam.

    Kata beliau استقيموا  “tetaplah kalian istiqomah”.

    Perintah istiqomah diperintahkan juga oleh para ulama, dan ini juga perintah untuk Nabi kita فاستقم كما أمرت ini adalah perintah Allah kepada Nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana perkataaan Abu bakar شبت يا رسول الله

    “Engkau telah beruban ya Rasulallah”.

    Rasulullah sampai wafat cuma memiliki beberapa uban, tapi adanya uban beliau menarik perhatian Abu Bakar Ash-siddiq, Rasulullahpun mengatakan “aku telah dibuat beruban oleh surah Hud”.

    Sebagian ahli tafsir mengatakan karena dalam surah Hud ada perintah “berstiqomalah sebagaimana yang diperintahkan kepadamu”. Ternyata perintah istiqomah menjadi beban pemikiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena istiqomah itu tidak mudah. Perintah ini senantiasa terngiang-ngiang di telinga Rasulullah sampai beliau menjadikan ini hal yang selalu beliau pikirkan sampai beliau beruban. Istiqomah artinya tetap berada dalam jalan yang lurus.

    فقد سبقتم سبقا بعيدا  sebagian menuliskan فقد سُبقتم سبقا بعيدا , dan ini kurang tepat, karena artinya kalian telah ketinggalan. Padahal bukan demikian maksudnya, karena ulama tetap yang paling terdepan. Beliau mengatakan فقد سبقتمkalian tetap terdepan”سبقا بعيدjauh jarak kalian di antara yang lainnya”. Itu ketika mereka istiqomah, demikianlah maksudnya.

    فإن أخذتم يمينا و شمالا  Tapi kalau kalian mengambil kanan dan kiri…” Tidak tegar, tidak teguh atau tidak konsisiten maka:

    لقد ضللتم ضلالا بعيدا  maka sungguh kalian telah sesat dengan kesesatan yang nyata”. Kalian akan ketinggalan dan akan tersesat, kenapa bisa ketinggalan? Kalau orang berjalan pada jalanan yang lurus maka akan mudah sampainya, tapi kalau orang banyak liku-likunya maka entah ia nanti akan tesesat tidak tahu cara kembali atau dia akan memperpanjang jarak atau memperlama waktu untuk menempuh satu perjalanan. Dan inilah yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an di akhir dari wasiat yang 10, ada yang disebut dengan  الوصايا العشر  “ 10 wasiat dalam Al-quran surah al-An’am mulai ayat 151-153 yang disebutkan oleh Abdullah bin Mas’ud. Wasiat yang paling terakhir adalah,

    وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

    Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam riwayat Imam Ahmad dari Abdullah bin Mas’ud dan juga diriwayatkan oleh ashhabussunan menjelaskan ayat ini, bahwa Rasulullah duduk bersama para sahabatnya di tanah lalu beliau membuat sebuah garis yang lurus dan beliau mengatakan  وأن هذا صراطي مستقيما فاتبعوه  “Ini adalah jalan yang lurus ikutilah dia”, lalu beliau membuat garis-garis yang lain yang bercabang-cabang begitu banyak, di kanan dan di kiri dan beliau membaca ayat tadi ولا تتبعوا السبل “Dan janganlah engkau mengikuti jalan-jalan yang banyak”, makanya ulama kita mengatakan الحق واحد لا يتعد  “Kebenaran cuma satu dan tidak terbilang”. Dan ini prinsip, makanya Allah mengatakan

    اللهُ وَلِيُّ الَّذِينَ ءَامَنُوا يُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَآؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُم مِّنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ

    “Allah Pelindung orang-orang yang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (Iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran).” (QS. al-Baqarah: 257).

    Ketika berbicara tentang cahaya/kebenaran Allah menyebut sebagai an-nur cahaya yang satu, ketika menyebutkan tentang kegelapan dan kesesatan, Allah menyebutkan secara jamak, karena kesesatan sangat banyak dan kebenaran cuma satu. السبيل واحد و السبل كثيرة و هي متفرقة  dia berbilang-bilang dan akan terus berbilang, atau akan terus bercabang. Makanya apa saja kesesatan, bid’ah dulu dimulai dengan bid’ah Khowarij dan bid’ah Khawarij kembali bersekte sekte, lalu muncul lagi Qadariyyah, Jahmiyyah dan seterusnya. Kebenaran cuma satu, maka dari itu jangan kita menengok kiri dan kanan, terus tekuni, telusuri dan teliti jalan kebenaran tersebut, dan ini sangat dipengaruhi oleh ilmu yang benar. Kenapa kadang orang menoleh, ragu-ragu ke sana dan kemari mencoba-coba sekian banyak? Bahkan ada orang mengatakan coba dulu, tidak mungkin engkau bisa mengetahui kesesatan kecuali kamu coba dulu. Selama kebenaran sudah didapatkan maka istiqomah dan tidak ada keraguan padanya dan tidak boleh kita menoleh ke sana dan kemari. Inilah nasihat yang sangat penting yang dikatakan oleh Khuzaifah bin Yaman radiyallahu Ta’ala anhu. Dan ini adalah suatu prinsip, jangan dalam persoalan agama kita katakan banyak jalan lain menuju ke Roma, kadang ada yang mengatakan surga banyak jalannya maka tidak harus jalan yang satu, tidak harus jalan ahlu sunnah waljama’ah yang penting jalan saja ujungnya juga surga. Tidak demikian, jalan ini cuma satu dan yang lainnya adalah jalan-jalan kesesatan yang tidak akan menyampaikan kita pada kebenaran.

    Ada kata-kata السبل  yang disebutkan dalam Al-quran dan maknanya tidak tercela, tapi itu bukan makna subul yang kita bahas di sini. Misalnya dalam surah Al-ankabut
    وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

    “Barangsiapa yang berjihad (berjuang) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Al-Ankabut: 69).

    Jangan memahami ‘subul’ di sini bahwasanya jalan-jalan yang banyak sebagai pedoman-pedoman yang banyak. Tapi yang dimaksudkan adalah jalan-jalan kebaikan yang banyak. Subul dalam surah Al-an’am bermakna manhaj adapun dalam surah Al-an-kabut bermakna jalan-jalan kebaikan yang banyak. Karena memang jalan-jalan kebaikan banyak, makanya Allah mengatakan “yang bersungguh-sungguh melaksanakan peribadatan kepada kami maka kami akan tunjukkan padanya jalan-jalan yang banyak”.

    Mungkin awalnya cuma sholatnya yang bagus tapi setelah itu mungkin dimudahkan baginya untuk bersedekah, dan dimudahkan baginya untuk puasa dan juga diberikan kesempatan untuk berjihad di jalan Allah dan seterusnya. Dan inilah yang dimaksudkan oleh Nabi sallallahuaihiwasallam bahwasanya setiap kebaikan adalah shadaqoh artinya begitu banyak jalur-jalur kebaikan.

    _____Transkripsi oleh Ahmad Nasing______

  • BEM STIBA Gelar Master

    BEM STIBA Gelar Master

    IMG-20150228-WA0015

    BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) STIBA Makassar menggelar MASTER (Musyawarah Awal Semester) pada Sabtu, 30 Rabiul Akhir 1436 H/21 Februari 2015. Rapat yang bertemakan “Haasibuu anfusakum qobla an tuhaasabuu” ini bertempat di Gedung Bapelkes Antang Raya.

    “Dalam rapat ini kita akan mengevaluasi program kerja semester lalu, mencanangkan program kerja untuk semester ini dan me-reshuffle keanggotaan bila dianggap perlu,” ujar Arif Ahmadi Yusuf selaku Ketua Bem STIBA Makassar. Rapat yang diberi sambutan oleh Ketua STIBA dan Perwakilan dari bidang Kemahasiswaan ini  dihadiri sekitar 60 mahasiswa mewakili pengurus inti BEM beserta masing-masing ketua departemen lalu perwakilan dari Biro Asrama, P2B, BRTM dan Formal. Dan alhamdulillah, rapat ini berjalan dengan sukses dan menghasilkan beberapa program kerja maupun strategi-strategi dakwah yang bermanfaat insya Allah bagi sivitas akademika STIBA maupun kaum muslimin secara umum. (Andang Supriana Enda)

    IMG-20150228-WA0013

  • donatur

    Bismillah

    بسم اللهIMG_0479

  • LP2M STIBA adakan Pelatihan Jurnalistik

    LP2M STIBA adakan Pelatihan Jurnalistik

    ???????????????????????????????

    Ahad 25 Rabiul Akhir/15 Februari, untuk pertama kali di awal tahun 2015 Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STIBA mengadakan Training Jurnalistik. “Pelatihan ini mudah-mudahan menjadi awal untuk melahirkan penulis baru di STIBA,” ujar Ustadz Hendra Wijaya, Lc. selaku ketua LP2M dalam sambutannya. Beliau juga menekankan bagaimana budaya tulis-menulis para ulama terdahulu. Acara yang berlangsung dari pagi hingga sore di Gedung KIA Balai Besar Pelatihan Kesehatan Makassar ini dikhususkan untuk seluruh sivitas akademika STIBA Makassar. Baik itu dosen dan mahasiswa STIBA umumnya. Sehingga peserta hanya dibatasi 50 orang saja.
    “Dengan Menulis Aku Membangun Peradaban Islam” adalah tema yang diangkat dalam acara ini. Ke depannya juga setelah pelatihan ini selanjutnya para peserta akan terus diadakan follow up pendampingan praktik tulis menulis dan juga penerjemahan.
    Materi pertama dibawakan oleh Ustadz Ilham Kadir, MA. memotivasi para peserta untuk menulis. Berdakwah dengan Pena. “Menulis adalah salah satu sarana kita berdakwah di dunia mainstream” ujar pria yang juga Pengurus MIUMI SulSel. Selain itu juga Kandidat Doktor UIIKA ini banyak bercerita soal pengalaman menulis semenjak di pesantren. “Sewaktu di pesantren saya rutin menulis dan tidak pernah menyangka tulisan saya dahulu menjadi emas hari ini,” kenangnya yang juga penulis buku “Jejak Dakwah K.H. Lanre Said; Ulama Pejuang dari DI TII hingga Era Reformasi”. Apalagi zaman kini, menulis di media mainstream guna mencerahkan masyarakat. “Menulis itu hanya butuh kemauan,” imbuhnya.
    Materi dilanjutkan dengan pembahasan akan peranan media terutama menyangkut berita menggiring opini publik. Hadir pada kesempatan itu eks Wakil Redaktur Pelaksana koran SINDO, Azhar Azis, M.Kom. “Tidak bisa dipungkiri media sangat berpengaruh dalam membentuk karakter maupun opini publik,” ujar pria alumni Pondok Pesantren Darul Huffadzh Bone ini. (Laporan Panitia Pelaksana: Muhammad Scilta Rizki).

  • Syaikhah Dr. Hajir Khamis Harun: Banyak Bahasa di Dunia Diambil dari Kosakata Bahasa Arab

    Syaikhah Dr. Hajir Khamis Harun: Banyak Bahasa di Dunia Diambil dari Kosakata Bahasa Arab

    IMG_0479

    Setelah beberapa waktu absen dari kunjungan ustadzah dari luar negeri, – Alhamdulillah- Sabtu, 12 Rabi’ul Awal 1436H atau 3 Januari 2015 M kampus STIBA Putri Makassar kembali mendapat kunjungan seorang syaikhah yang berasal dari negeri Sudan.

    Beliau bernama Hajir Khamis Harun atau biasa dipanggil Ummu Khadijah. Alumni S3 Universitas Sudan ini sekarang berprofesi sebagai pengajar di Ma’had Ar-Raayah, Sukabumi. Bersama ketiga putrinya yang masih belia dan salah seorang rekan mengajar di Ma’had Ar-Raayah, beliau datang ke Makassar untuk urusan keluarga, namun menyempatkan diri berkunjung ke kampus STIBA Makassar. Walaupun ini adalah kunjungan pertamanya, tapi beliau sudah cukup lama mendengar tentang STIBA dari rekan mengajar di Ar-Raayah pernah mengajar di STIBA. Hal inilah yang mendorong beliau untuk mengenal lebih jauh tentang ma’had ini.

    Pembacaan Al-Qur’an dari QS. Yusuf ayat 1-8 membuka muhadarah yang berlangsung dari bakda Zhuhur pukul 14.00 – 15.30 di Aula STIBA Makassar. Persembahan hifzhu matan al-Baiquniyyah juga nasyid yang dibawakan oleh beberapa mahasiswi ikut memeriahkan penyambutan beliau.

    Dalam muhadarah dengan tema “Kecintaan terhadap Bahasa Arab dan Urgensinya dalam Memahami Al-Qur’an dan as Sunnah” beliau menyampaikan, “Tersebarnya bahasa Arab sejak Islam berkuasa, karena syariat Islam tidak akan tersebar tanpa bahasa Arab. Sejak itulah bahasa Arab adalah bahasa dunia, di mana banyak bahasa di dunia ini diambil dari kosa kata bahasa Arab khususnya Indonesia.”

    “Orang Arab saja butuh belajar bahasa Arab apatah lagi kita yang notabene dari negeri yang jauh dari negeri yang diturunkannya Al-Qur’an dan mempunyai ratusan suku bahasa yang tersebar di negeri kita ini. Dalam memahami Al-Qur’an dan sunnah butuh pemahaman bahasa Arab”.

    Walaupun berlangsung dalam masa ujian, muhadarah yang disampaikan dalam bahasa Arab tanpa terjemahan tidak menurunkan antusias para mahasiswi, bahkan yang masih berada pada jenjang I’dad Lughawy (Persiapan Bahasa). Itu bisa dilihat dengan husni istima’ mereka dan banyaknya pertanyaan yang masuk sehingga sesi Tanya Jawab dilanjutkan bakda Ashar.

    Di penghujung muhadharah beliau mengingatkan bahwa kiat utama untuk bisa berbahasa Arab dengan fasih adalah senantiasa mumarasatul lughah, senantiasa menerapkan bahasa Arab itu dalam setiap keadaan.. (ns)

     syaikhah
  • Penjelasan Hadits ke-7286 Shahih Bukhari

    Penjelasan Hadits ke-7286 Shahih Bukhari

    Transkripsi Taklim Hadits Pekanan Ustadz Muhammad Yusran Anshar, Lc., M.A.

    (Setiap Rabu Bakda Ashar di Kampus STIBA Makassar)

    Dari Kitab al-I’tisham Shahih Bukhari

    Hadits 7286 “Kisah Umar bin Khattab”

    (Ditranskripsi oleh Ahmad Nasing)

     Dari Abdullah bin Abbas radiyallahu anhuma beliau mengatakan: Datang Uyainah bin Husn dan beliau singggah untuk menemui anak dari saudaranya (keponakannya), yaitu sahabat yang mulia Al-Hurr bin Qais bin Husn, dan dia di antara sekelompok orang yang didekatkan oleh Umar bin Khattab, dan para ulama adalah orang-orang yang dekat majelisnya dengan Umar dan orang-orang yang selalu diajak untuk bermusyawarah oleh Umar bin Khattab, baik itu yang sudah tua maupun yang masih muda. Berkata Uyainah kepada keponakannya, ”Wahai anak dari saudaraku, apakah kau memiliki kedudukan khusus di sisi amir ini, agar kamu minta izin untukku agar aku bisa menemuinya?” Al-Hurr bin Qais berkata, “Saya akan meminta izin kepada Umar agar kamu bisa menemuinya”. Abdullah bin Abbas berkata, “ Maka Al-Hurr bin Qais minta izin kepada Umar bin Khattab untuk kepentingan Uyainah bin Husn. Ketika telah masuk menghadap, dia berkata, “Wahai anak dari Khattab demi Allah engkau tidak memberikan kami yang banyak dan tidak adil dalam menetapkan hukum di antara kami”. Maka Umarpun marah sampai hampir beliau melakukan sesuatu (memukul dan menyakiti) terhadap orang ini. Al-Hurr berkata,”Wahai Amirul Mu’minin, sesungguhnya Allah Ta’ala berkata kepada Nabi-Nya sallallahu alaihi wasallam, “Maafkan dan perintahkan pada kebaikan dan berpalinglah dari orang-orang yang jahil”(al-A’raf: 169). Dan orang ini (Uyainah bin Husn) termasuk orang-orang yang jahil maka demi Allah Umar tidak melewati (meneruskan niatnya untuk menyakiti Uyainah bin Husn) setelah dibacakan ayat tersebut, dan beliau adalah orang yang selalu berhenti (mendengar dan patuh) terhadap kitab Allah.”

    SANAD HADITS

    Isma’il bin Abi Uwais Al-ashbahiy namanya adalah Isma’il bin Abdullah beliau adalah sepupu dari Malik bin Anas.

    Ibnu Wahb : Abdullah bin Wahb Al-mishriy

    Yunus : Yunus bin Yazid Al-a’iliy

    Ibnu Syihab : Muhammad bin Muslim bin Abdillah bin Syihab

    Abdullah bin Abbas : Sahabat yang mulia

    Beliau mengatakan : Datang Uyainah bin Husn salah seorang tokoh dari Arab Badui dan beliau di antara Arab Badui yang paling terkenal, yang sering datang di zaman Nabi sallallahu alaihi wasallam bertanya tentang beberapa hal, dan kadang bersifat tidak sopan kepada Nabi sallallahualaihiwasallam. Adapula tokoh Badui yang tidak pernah mencium anaknya yaitu Aqro’ bin Haabis.

    Uyainah bin Husn terkenal dengan keberaniannya, ia termasuk pemimpin di kalangan Badui dulu dan ia juga termasuk sahabat, walaupun ia termasuk sahabat dari kalangan Arab Badui. Dan beliau masuk Islam waktu Fathu Makkah. Di perang Khandaq ia masih termasuk musuh Nabi sallallahualaihiwasallam. Dikatakan ia pernah keluar dari Islam dan termasuk barisan Nabi palsu yaitu Tulaihah bin Tuwailit Al-Asadiy. Waktu ia mengumumkan bahwa ia adalah seorang Nabi, maka di antara yang mengikutinya adalah Uyainah bin Husn. Dan akhirnya Khalid bin Walid berhasil memeranginya, menjadikan Tulaihah ini masuk Islam dan juga Uyainah pengikutnya masuk Islam.

    Di sini dia datang kepada keponakannya dan keponakannya adalah sahabat yang mulia Al-Hurr bin Qais yang masuk Islam di akhir-akhir kehidupan Rasulullah sallallahualaihiwasallam, setelah perang Tabuk. Tapi telah baik keislamnnya dan menjadi sahabat yang mulia dan menjadi ulama di kalangan para sahabat, dan akhirnya sebagaimana dalam hadits kita ini, dia termasuk orang yang didekatkan oleh Umar bin Khattab.

    Uyainah bin Husn datang menemui keponakannya untuk suatu keperluan, beliau sudah tahu bahwa keponakannya memiliki kedudukan di sisi Umar bin Khattab. Lihatlah bagaiamana Umar ketika menjadi seorang khalifah. Orang-orang dekatnya, pengawal-pengawalnya atau orang-orang yang diajaknya berdiskusi atau ahlu syuronya bukan orang-orang yang banyak hartanya, bukan bangsawan dan sebagainya. Tapi hanyalah Al-qurro’ (ulama), dan ini menjadi pelajaran tentunya bahwasanya teman dekat sebaik-baiknya terutama bagi seorang pemimpin adalah para ulama, makanya tidak mengherankan kenapa sampai Harun Ar-rasyid juga mengulangi beberapa hal yang baik di zaman Khulafa’u Rrasyidun. Di antara sebabnya adalah kedekatan beliau dengan para ulama. Demikian pula Umar bin Abdil Aziz rahimahullah beliau seorang ulama dan juga dekat dengan para ulama, dan kedekatannya bukan untuk memperalat mereka, akan tetapi untuk meminta pendapat mereka, arahan mereka dan siap mendengarkan fatwa-fatwa dari mereka. Itulah para pemimpin yang soleh dan ulama-ulama yang jujur dalam berfatwa, jujur dalam menyampaikan ad-din bukan ulama su’ (buruk) yang bisa dibayar dan dikendalikan sesuai kemauan para pemimpin yang sesat.

    Beliau tahu bahwa keponakannya adalah termasuk النفر artinya beberapa orang, ada yang mengatakan di bawah 10, jadi sekitar belasan atau kurang dari itu.

    Di sini dikatakan كهولا كانوا أو شبابا

    كهولا jenjang setelah berakhirnya masa syabab (muda) ada yang mengatakan setelah 30 tahun dan banyak yang mengatakan setelah 40 tahun.

    Makanya yang termasuk ahlu syuro Umar bin Khattab yang masih sangat muda adalah Abdullah bin Abbas, makanya hadits ini diceritakan sempurna oleh beliau, karena dia juga termasuk ahlu syuro amirul mu’minin. Dan ini dalam riwayat yang terkenal para sahabat sebelum mengetahui Abdullah bin Abbas, mereka protes, termasuk Abdurrohman bin A’uf beliau mengatakan, kita tidak selevel dengan Abdullah bin Abbas dia seumur dengan anak-anak kita.

    Abdullah bin Abbas waktu Rasulullah sallallahualaihiwasallam meninggal beliau masih berumur 13 tahun, Abu Bakar wafat dan beliau berumur 15 atau 16 tahun baru baligh. Bersama dengan Umar saat masih sekitar lima belasan dan ia sudah bergabung dengan ahlu syuro Umar bin Khattab, dan ini karena ilmu beliau dimuliakan. Umar bin Khattab untuk meyakinkan para sahabat dengan bertanya kepada mereka, “Apa pendapat kalian tentang suroh Al-Nashr apa tafsiran ayat ini?” Para sahabat umunya memerintahkan Nabi sallallahualaihiwasallam kalau kemenangan sudah datang maka jangan lupa bertasbih kepada Allah, memuji Allah dan banyak istighfar. Dan memang ayat ini untuk menyikapi kemenangan dengan penuh tawadhu’. Tapi ada hal yang tersirat yang tidak disebutkan oleh para sahabat, dan ini yang diinginkan oleh Umar. Abdullah bin Abbas mengatakan ayat ini menunjukkkan dekatnya ajal Rasulullah sallallahualaihiwasallam. Umar mengatakan saya tidak melihat penafsiran yang lebih baik selain apa yang ditafsirkan oleh Abdullah bin Abbas. Dengan itulah para sahabat tahu bagaimana kedudukan Abdullah bin Abbas.

    Abdullah bin Abbas sebagaimana disebutkan dalam kisah-kisah tentang beliau disebutkan bahwa beliau bisa melewati teman-temannya yang selevel. Ketika Rasulullah sallallahualaihiwasallam wafat, dia ajak teman temannya, mari kita segera menuntut ilmu dari para sahabat Nabi sallallahualaihiwasallam karena Nabi sudah wafat, mari kita menuntut ilmu agar kita juga bisa menjadi ulama. Teman-temannya mengatakan, “Masih banyak sahabat-sahabat yang senior bersama kita, apakah engkau mengira wahai Abdullah bin Abbas, kamu bisa menjadi seorang yang alim padahal masih ada Abu Bakar, Umar dan senior-senior yang lainnya?” Abdullah tidak menghiraukan hal tersebut, maka beliaupun tetap bersemangat untuk bermajelis bersama para sahabat yang senior dan akhirnya bisa mencapai level ilmu para sahabat yang jauh lebih senior daripada beliau. Adapun teman-temannya yang lain tetap begitu-begitu saja. Ini menunjukkan pentingnya himmah a’liyah (semangat tinggi) dalam menuntut ilmu.

    Abdullah bin Abbas menceritakan tentang ahlu syuro yang lainnya yaitu Al-Hurr bin Qais. Beliau mengatakan bahwasanya Uyainah berkata, “Wahai anak saudaraku kamu ini punya kedudukan di sisi amir ini.”

    Dan bisa dilihat ketidaksopanan dari Uyainah bin Husn dia tidak mengatakan عند أمير المؤمنين tapi ia mengatakan عند هذا الأمير “di sisi pemimpin ini”. Dan nanti juga akan kita lihat penyikapan yang tidak bersahabat dan bagaimana Umar bisa menghadapinya dengan penuh kesabaran.

    فتستأذن لي عليه “minta izin kepada dia untuk saya”. Dan ini juga memberikan faedah bahwa kalau orang minta izin bahasa Arabnya yang benar adalah فتستأذن لي عليه  atau bisa juga أستأذنك. Ada orang terkadang mengatakan أستأذن منك dan ini salah, karena ketika ia memakai harfu jar maka yang dipakai adalah على dan bukan من. Dan ini dibahasakan “minta izinnya Uyainah kepada Al-Hurr bin Qais” sebagai memberi syafa’at, yaitu syafa’at yang baik.

    قال سأستأذن لك عليه “saya akan meminta izin kepadanya untukmu”, beliau akhirnya mau menjadi perantara. Seperti ketika ada orang yang membutuhkan sesuatu dari seorang pemimpin tapi dia segan, lalu Anda punya kedudukan terhadap pemimpin tersebut, maka Anda bisa menjadi koneksi untuk dia selama untuk urusan-urusan yang halal, bukan pelanggaran sampai Anda mau menjadi pembela bagi dia, dan ini tidak boleh.

    Beliau belum terlalu tahu apa kebutuhannya, tapi beliau berparasangka baik bahwa pamannya memiliki kebutuhan yang perlu untuk dibantu. Dan ini sama dengan kisah Abu Musa ketika menemani dua orang dari Asya’riyyin menghadap Nabi sallallahualaihiwasallam untuk keperluan. Tapi akhirnya Nabi sallallahualaihiwasallam memarahi Abu Musa karena ternyata dua orang itu datang untuk meminta jabatan padahal nabi telah menegaskan bahwa kita tidak memberikan jabatan kepada seorang yang ambisi atau yang mau. Abu Musa mengatakan, saya tadi tidak tahu kalau itu tujuannya. Karenanya, boleh kita memberikan syafa’at tapi bagusnya kita tanya dulu, apa maksud kedatangannya, begitupun dengan kisah kita ini ketika Al-Hurr menjadi koneksi untuk Uyainah bin Husn untuk menemui Umar.

    Perlu dijelaskan bahwa Umar bin Khattab bukan seorang pemimpin yang sulit untuk ditemui, dan beliau seorang pemimpin yang tidak ada hajibnya (perantara) bahkan kadang didapati di jalan-jalan tanpa pengawal, dan beliau memang tidak mengenal hal yang seperti itu. Tapi kenapa harus ada permintaan khusus dari Uyainah bin Husn? Kata ulama kita yang diminta oleh Uyainah bin Husn bukan karena Umar banyak pengawalnya, tapi permintaan beliau ini adalah permintaan untuk menemui Umar secara rahasia empat mata, atau hanya ditemani oleh Al-Hurr bin Qais. Adapun sekAdar menemui Umar bin Khattab semua bisa menemui beliau, apa saja kebutuhannya silakan, cuma Uyainah minta untuk berbicara empat mata dan inilah yang diupayakan oleh Al-Hurr bin Qais.

    Abdullah bin Abbas mengatakan فاستأذن لعيينة dalam sebagian riwayat Al-Hurr bin Qais mengatakan فاستأذنت لي عليه “Saya minta izinkan untuk dia”.

    Kalau ada kata-kata Al-Hurr bin Qais bahwa saya meminta izinkan untuknya, ini menandakan bahwa beliau bukan cuma diceritakan, tapi ia juga mengisahkan langsung hadits ini, berarti beliau juga termasuk ahlu syuro Umar bin Khattab. Di sini pemilik musnadnya adalah Abdullah bin Abbas, artinya kalau hadits mau dicari, cari di Musnad Abdullah bin Abbas, karena dia perawinya. Tapi ada riwayat yang menunjukkan bahwa Al-Hurr bin Qais menceritakan sendiri kisahnya, cuma sebagaimana perkataan Ibnu Hajr tidak ditemukan di antara penulis kitab musnad yang menisbatkan ini langsung ke Al-Hurr bin Qais. Wallahu a’lam

    Motif yang lain tidak sopannya Uyainah bin Husn ketika masuk dan langsung mengatakan يا ابن الخطاب “Wahai Anak dari Khottob”, seharusnya sikap sopannya dia mengatakan يا أمير المؤمنين “Wahai pemimpin kaum muslimin”. Dan ini sudah dua sikap ketidaksopannya kepada Umar bin Khattab.

    والله ما تعطين الجزل “Demi Allah engkau tidak memberikan kami yang banyak”, seperti kalau kita mengatakan شكرا جزيلا “Terima kasih banyak”. الجزل asalnya adalah kayu bakar yang besar, tapi akhirnya dia dinisbatkan untuk sesuatu yang besar dan banyak. Perkataan ini mungkin muncul karena di perang Hunain ketika beliau sudah masuk Islam di Fathu Makkah, gonimah waktu itu sangat banyak dan Rasulullah memberikannya kepada kebanyakan yang masih dijinakkan hatinya, termasuk Uyainah bin Husn ini mendapatkan bagian yang banyak, maka beliau mencoba menganalogikan atau mengqiyaskan antara pemberian Nabi sallallahualaihiwasallam dulu dengan pemberian Umar bin Khattab, padahal Umar bin Khattab menganggap ini sudah cukup lama masuk Islam, bukan lagi orang yang perlu dijinakkan hatinya.

    Dan ia juga mengatakan وما تحكم بيننا بالعدل “Dan kamu tidak adil”. Ia menganggap ada ketidakadilan, tidak ada pemerataan dalam pembagian. Padahal Umar bin Khattab orang yang sangat adil, Abdullah bin Umar menjadi saksi dari itu, bahwa beliau adalah seorang pemimpin yang sangat adil, penuh dengan kezuhudan masih dalam kekhalifahannya dan itu beliau buktikan sampai beliau wafat. Abdullah bin Umar tidak mendapatkan apa-apa dari kekhilafahan beliau. Tapi orang ini malah mengatakan seperti itu. Bayangkan kalau ada orang yang mengatakan hal seperti ini kepada Anda, padahal Anda sudah mengusahakan bagaimana bersikap adil, apatah lagi Anda adalah seorang pemimpin yang besar, bukan sekadar besar karena Anda adalah seorang pemimpin tapi badan Anda juga besar, seperti Umar bin Khattab. Kalau di zaman jahiliyyah maka orang ini sudah dihabisi oleh Umar bin Khattab. Umar waktu itu hampir berubah raut wajah beliau dan sempat beliau marah, dan ini wajar kalau beliau marah, sudah dikasi kesempatan berdua-duaan dengar Umar lalu berkata yang tidak sopan.

    حتى هم بأن يقع به dan ini juga menunjukkan bagaimana pentingnya penasihat dari kalangan ulama pentingnya teman-teman dekat kita, juru nasihat kita dari kalangan ulama. Bayangkan kalau bukan ulama, mungkin ia akan mengatakan, “Wahai Amiirul Mu’minin, selesaikan saja orang ini,” atau “Saya panggilkan algojo-algojomu untuk menyelesaikan orang yang kurang beradab ini,” tapi seorang ulama, dialah yang senantiasa mengingatkan para pemimpin.

    Kata Al-Hurr bin Qais ياأمير المؤمنين “Wahai amirul mu’minin”, bandingkan dengan perkataan Uyainah bin Husn sangat jauh berbeda. Wahai Amiirul Mu’minin إن الله تعالى قال لنبيه “Sesungguhnya Allah Ta’ala mengatakan kepada nabi-Nya”, memang ayat ini sifatnya umum sesuatu dalil itu dilihat dari keumumannya berlaku untuk semua tidak dilihat kepada siapa pertama kali turun yaitu kepada Nabi sallallahualaihiwasallam. Tapi kenapa beliau perlu mengatakan لنبيه ”? Untuk mengingatkan bahwa nabi saja diperintahkan, dan nabi lebih mulia daripada engkau ya Umar, Allah menyuruh Nabi-Nya untuk bisa bersabar.

    خذ العفو وامر بالعرف وأعرض عن الجاهلين إن الله تعالى قال لنبيه “Sesungguhnya Allah mengatakan kepada nabi-Nya , maafkanlah dan perintahkanlah pada kebaikan dan berpalinglah dari orang jahil”. Dan kata ulama kita, ini adalah 3 akhlak yang terhimpun dalam satu ayat:

    1. Maafkan
    2. Perintahkan pada kebaikan
    3. Berpaling dari orang bodoh atau jahil.

    Ayat ini kata sebagian ulama kita telah mansukh (terhapus), dinaskh oleh ayat-ayat tentang qital, ayat-ayat yang seperti ini yaitu memaafkan, ini sebelum turunnya ayat as-saif (pedang) ketika kaum muslimin masih lemah, maka perlakuan kaum musyrikin yang kadang kurang ajar kepada Nabi sallallahualaihiwasallam. Bahkan ada di antara mereka yang memukul beliau atau menaruh kotoran di hadapan Rasulullah ketika beribadah, dimaafkan saja karena memang belum ada kekuatan, nanti setelah ada kekuatan baru diperintahkan untuk memerangi mereka. Banyak ulama yang menyatakan bahwa ayat-ayat memaafkan telah dimansukh dengan ayat-ayat as-saif. Tapi dipahami dari istidlal Al-Hurr bin Qais dan penyikapan Umar bahwa ayat ini tidak dimansukh atau Muhkamah. Artinya ia tetap disesuaikan dengan keadaannya, jadi memang kadang dikatakan tidak semua orang disikapi yang seperti ini, ada orang yang memang cocok diperangi, dan ada juga yang perlu disikapi dengan lembut. Jadi ayat ini disesuaikan dengan keadaannya dan bukan tidak diamalkan secara mutlaq. Makanya ketika Al-Hurr bin Qais mengingatkan Umar dengan ayat ini, Umar tidak mengatakan tidak begitu maksud dari ayat itu, ayat tersebut mansukh, tapi beliau langsung menerima peringatan dari  Al-Hurr bin Qais.

    و إن هذا من الجاهلين “Dan sesungguhnya ini termasuk orang-orang yang jahil”. Maka beliau mengatakan فو الله (demi Allah) dan inilah sikapnya seorang yang ketika diingatkan tidak buta dan tidak tuli mendengarkan peringatan, langsung ia istijabah. Dan inilah yang dikatakan waqqof (sangat berhenti) ketika mau memukul maka ia berhenti memukul, mau mendekati berhenti mendekati. Apa yang membuat ia berhenti? Batasan-batasan Allah, Allah mengatakan “Dan jangan melampaui batas “. Maka Umar bin Khattab yang membatasi gerakan beliau bukan manusia, tapi ketika disebutkan ayat atau hadits, dan ini cukup bagi Umar bin Khattab. Siapapun yang bacakan, meskipun anak kecil kalau ayat dan hadits beliau langsung menerima, dan inilah sikap seorang muslim. Dan inilah yang dikatakan Ali’tshom Bilkitaabi wassunnah, dan ini pulalah sebabnya kenapa sampai Imam Bukhari menyebutkan hadits ini dalam Ali’tshom Bilkitaabi Wassunnah. Karena beliau mau mneyebutkan contoh dari Umar bin Khattab, bagaimana seorang Umar seorang pemimpin yang disegani yang beliau mau mengerjakan apa saja yang tidak ada yang bisa mencegahnya kecuali ayat atau hadits yang mengingatkan beliau. Wallahu Ta’ala a’lam.

  • Isi Taklim di Masjid Baitul Makmur, Ketua STIBA Diminta Rutin ke Bali

    Isi Taklim di Masjid Baitul Makmur, Ketua STIBA Diminta Rutin ke Bali

    IMG-20150217-WA0038

    Sabtu—Ahad, 24-25 Rabiul Akhir 1436 H/14-15 Februari 2015 M, Ketua STIBA Makassar Ustadz Muhammad Yusran Anshar, Lc., M.A. bersama salah seorang dosen STIBA Ustadz Abu Nafisah Muhammad Ikhwan Abdul Djalil, Lc. beserta istri Ustadzah Ummu Nafisah Rini Djafry mengisi pengajian di beberapa tempat di Bali.

    Berikut jadwal lengkap pengajian tersebut:

    Sabtu, 14 Februari 2015

    Waktu: Bakda Subuh
    Tempat: Mushalla Muhammad
    Tema : 3T “Tokoh, Tujjar, Teman” Penunjang Keberhasilan Dakwah Rasulullah.
    Narasumber: Ustadz Muhammad Ikhwan Abdul Djalil, Lc., M.H.I.

    Bakda Zhuhur
    Gembira di Jalan Dakwah
    @Masjid Baitusshobirin
    Oleh Ustadz Muhammad Yusran Anshar, Lc., M.A.

    Bakda Ashar
    @Aula Masjid Baitul Makmur
    “Ibunda Para Ulama”(khusus muslimah)
    Oleh Ustadzah Ummu Nafisah Rini Djafry

    Bakda Magrib
    @Masjid Baitul Makmur
    Syarah Hadits ke-42 Arba’in An-Nawawiyah
    (Penutup kajian Hadits. Arbain An-Nawawiyah Baitul Makmur)
    Oleh Ustadz Muhammad Yusran Anshar, Lc., M.A.

    Ahad, 15 Februari 2015
    Kajian Subuh Masjid Baitul Makmur.
    Materi: Mengenal Imam Bukhari Pemimpin Ahli Hadits dari Lahir Hingga Wafatnya dan Memetik Hikmah dari Kehidupannya

    Oleh Ustadz Muhammad Yusran Anshar, Lc., M.A.

    Pukul 09.00-15.00
    Dauroh Syar’iyyah (muslim/ah)
    Materi-materi:
    1. Manhaj Talaqqi Ahlussunnah Waljama’ah
    2. Al-Wajiz fi Manhajissalaf
    3. Al-Muharromaat

    Oleh Ustadz Muhammad Yusran Anshar, Lc., M.A.

    (Sumber fb Ustadz Syahrullah Hamid, Ketua DPD Wahdah Islamiyah Bali)

    Kajian Ahad itu tidak kurang dihadiri oleh 700-an jamaah. Adapun daurah diikuti sekira 100 peserta baik ikhwah maupun akhwat. Peserta sangat antusias mengikuti kajian bahkan di antara mereka ada yang meminta agar ustadz lebih sering diajak ke Bali. Seorang pengurus masjid Baitul Makmur minta setiap bulan kalau perlu Ustadz Muhammad Yusran ke Bali membimbing umat. “Kita butuh bimbingan yang seperti ini, bikin hati sejuk dalam belajar,” katanya.

    Seperti disampaikan oleh Ustadz Syahrullah Hamid, salah seorang marlboro masjid bernama Dzulqarnain mengatakan bahwa dia sangat bahagia mengikuti kajian Ustadz Yusran, banyak pelajaran yang bisa dipetik. Beliau pun bisa merangkul semua lapisan dan golongan masyarakat muslim di Bali. Cara memaparkan materinya halus tapi maksud yang ingin disampaikan bisa diterima.

    Rangkaian kajian ditutup dengan daurah dari pukul 09.30-14.30. Antusias peserta untuk bertanya cukup besar, sehingga mereka berharap ada banyak waktu untuk soal jawab.

    Sementara Ustadz Muhammad Ikhwan Djalil yang juga adalah salah seorang dosen STIBA, selain mengisi taklim di mushalla Muhammad, beliau juga mengisi tarbiyah para kader Wahdah Islamiyah di Bali. Dalam kesempatan tarbiyah itu, Ustadz Ikhwan sekaligus menyosialisasikan kegiatan Getar Nusantara.

    Di tempat lain, Ustadzah Ummu Nafisah, daiyah dan muballighah Lembaga Muslimah Wahdah Islamiyah mengisi pengajian khusus muslimah.   “Ustadzah Ummu Nafisah mampu membawa suasana yang begitu menyentuh, hingga sebagian peserta tak sanggup membendung air matanya,” tutur Ummu Najiyah salah seorang peserta. Ummu Nafisah membawakan materi Ibunda para Ulama dan Pengaruh Kesalehan Orang Tua terhadap Anak.

    IMG-20150217-WA0034

    Foto: Ketua MUI Bali (berkopiah krem) tampak khidmat menyimak taklim Ustadz Muhammad Yusran.

    IMG-20150217-WA0039

    Foto: Taklim Ustadz Muhammad Ikhwan Abdul Djalil di Mushalla Muhammad

  • Ustadz Ridwan Hamidi Wakili STIBA dalam Kongres KUII di Yogyakarta

    Ustadz Ridwan Hamidi Wakili STIBA dalam Kongres KUII di Yogyakarta

    KUII

    Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI baru-baru ini berlangsung di Yogyakarta sejak tanggal 8-11 Februari 2015. Kongres yang rutin diselenggarakan 5 tahun-an ini diikuti oleh para pimpinan MUI seluruh Indonesia, pimpinan ormas Islam, pimpinan Pondok Pesantren, Pimpinan Perguruan Tinggi Islam, dan 40 kesultanan di Indonesia. STIBA Makassar memberi mandat kepada Ustadz Ridwan Hamidi untuk mewakili STIBA dalam acara ini. Dari kongres inilah kemudian lahir “Risalah Yogyakarta”.

    Risalah Yogyakarta dibacakan langsung oleh Ketua Umum MUI, Prof. Din Syamsuddin, di hadapan presiden Jokowi, para pejabat tinggi dan lokal, serta seluruh peserta kongres (11/2).

    Dalam laporannya, Ketua MUI Pusat Prof. Din Syamsuddin menyampaikan bahwa Kongres ini merupakan momentum penting bagi umat Islam dalam rangka ikut serta membangun Indonesia. Berikut ini hasil KUII yang disebut dengan “Risalah Yogyakarta”, yaitu:

    Pertama, menyerukan seluruh komponen umat Islam Indonesia untuk bersatu dan merapatkan barisan dan mengembangkan kerja sama serta kemitraan strategis, baik di organisasi dan lembaga Islam maupun di partai politik, untuk membangun dan melakukan penguatan politik, ekonomi, dan sosial budaya umat Islam yang berkeadilan dan berperadaban.

    Kedua, menyeru penyelenggara negara dan kekuatan politik nasional untuk mengembangkan politik yang akhlakul karimah dengan meninggalkan praktik-praktik yang menghalalkan segala cara, dengan menjadikan politik sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, keamanan, dan kedamaian bangsa.

    Ketiga, menyeru penyelenggara negara untuk berpihak kepada masyarakat yang berada di lapis bawah dengan mengembangkan ekonomi kerakyatan berorientasi kepada pemerataan dan keadilan serta mendukung pengembangan ekonomi berbasis syariah baik keuangan maupun sektor riil dan menata ulang penguasaan negara atas sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta meniadakan regulasi dan kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi dan merugikan rakyat.

    Keempat, menyeru seluruh komponen umat Islam Indonesia untuk bangkit memberdayakan diri, mengembanglkan potensi ekonomi, meningkatkan kapasitas SDM umat, menguatkan sektor UMKM berbasis ormas, masjid, dan pondok pesantren, meningkatkan peran kaum perempuan dalam perekonomian, mendorong permodalan rakyat yang berbasis kerakyatan dan mendorong kebijakan pemerintah pro rakyat.

    Kelima, menyeru pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat untuk mewaspadai dan menghindarkan diri dari budaya yang tidak sesuai dengan nilai syariat Islam dan budaya luhur bangsa seperti penyalahgunaan narkoba, minuman keras, pornografi dan pornoaksi, serta pergaulan bebas dan perdagangan manusia. Hal ini perlu dilakukan dengan meningkatkan pendidikan akhlak di sekolah atau madrasah dan keluarga, penguatan ketahanan keluarga, dan adanya keteladanan para pemimpin, tokoh, dan orangtua seiring dengan itu menyerukan kepada pemerintah untuk menghentikan regulasi dan kebijakan yang membuka pintu lebar-lebar masuknya budaya yang merusak serta melakukan penegakan hukum yang tegas dan konsisten.

    Keenam, menyatakan keprihatinan mendalam atas bergesernya tata ruang kehidupan Indonesia di banyak daerah yang meninggalkan ciri keislaman sebagai akibat derasnya arus liberalisasi budaya dan ekonomi. Oleh karena itu, meminta penyelenggara negara serta berbagai pemangku kepentingan untuk melakukan langkah-langkah nyata untuk menggantikannya dan menata ulang regulasi dan kebijakan lanskap kehidupan Indonesia agar tetapberwajah keislaman dan ke-Indonesiaan.

    Ketujuh, memprihatinkan kondisi umat Islam di beberapa negara di dunia khususnya Asia yang mengawali perlakuan diskriminatif dan tidak memperoleh hak-haknya sebagai warga negara. KUII meminta pemerintah kepada negara-negara yang bersangkutan untuk memberikan perlindungan berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang berkeadilan dan berkeadaban. Menyeru kepada pemerintah dan umat Islam Indonesia untuk memberikan bantuan kepada mereka dalam semangat ukhuwah Islamiyah dan kemanusiaan.

    IMG-20150213-WA0084 IMG-20150213-WA0049

    Foto: Ustadz Ridwan Hamidi bersama para peserta KUII VI di Yogyakarta.