pengajian ukhuwah2[stiba.net] : Selasa malam 22 Jumadal Akhirah 1435 H atau bertepatan dengan 22 April 2014 M, Bidang Keasramaan STIBA Makassar kembali mengadakan salah satu kegiatan internal kampus yaitu Taklim Ukhuwah. Taklim sekali setahun ini dihadiri oleh segenap sivitas akademika STIBA Makassar. Tidak seperti biasanya, taklim kali ini digelar di halaman depan asrama. Suasana malam di bawah temaram cahaya lampu menambah eksotisnya suasana taklim bertajuk ukhuwah ini.

Sebagai pemateri adalah al-ustadz KH. Mansur Salim hafidzahullah yang merupakan guru senior para asatidzah di Kampus STIBA Makassar. Dengan kerendahan hati, beliau mengutip perkataan Syaikh A’id al-Qorni,

“Tidaklah kedudukanku atas kalian melainkan hanya sebagai seorang penjual kurma untuk penduduk Madinah. Dan tidaklah kedudukanku atas kalian melainkan hanya seorang penjual air zam-zam untuk penduduk Makkah.”

Kemudian beliau menyambung tuturnya dengan kutipan lain, “Apakah saya harus mengajari kera-kera bagaimana cara memanjat pohon? Atau mengajari buaya-buaya bagaimana caranya berenang?” Tentunya ini menujukan sikap tawadhu beliau, sebab siapa di antara kita yang tidak mengetahui kedalaman ilmu beliau. Seorang motivator handal yang selalu menyerukan, “Tidak layak seseorang dikatakan ustadz kalau dia akan kehabisan bahan saat membawakan ceramah.”

Sebelum pemaparan materi, beliau memanggil salah seorang mahasiswa penghapal al-Qur’an, Muthohhir Ansar sebagai penyambung lidah dalam menyampaikan dalil. Selanjutnya beliau mengutip firman Allah dalam surah al-Hasyr yang memiliki kandungan doa agar dijauhkan dari sifat hasad dan dengki terhadap saudara seiman. Karena sifat hasad dan dengki merupakan perangkap setan yang akan merusak ukhuwah kaum muslimin. Berkaitan dengan sifat hasad ini, beliau mengutip kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam bersama saudara-saudaranya. Dalam kisah, tampak jelas kalau sifat hasad telah merusak dan menutup nurani saudara-saudara Nabi Yusuf. Kisah seperti ini tentunya akan memberi pelajaran berharga untuk kita yang hidup berjamaah. Yang mana di dalamnya begitu banyak karakter dan kepribadian yang harus dimengerti satu sama lainnya.

Di sisi lain, kisah Nabi Yusuf tersebut mengajari kita akan mulianya sikap sabar dan manisnya buah dari kesabaran itu. Kita lihat bagaimana Allah mengangkat derajat Nabi Yusuf sebagai balasan atas kesabaran beliau.

Selanjutnya, beliau menggarisbawahi sifat salamatu ash-shadr dengan mengutip sebuah kisah saat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata kepada sahabatnya, “Akan datang seorang penghuni surga.” Dengan rasa ingin tahu, tentu para sahabat bertanya-tanya siapa orang yang dimaksudkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tersebut. Dikisahkan bahwa ternyata orang tersebut bukanlah sahabat yang memiliki kapasitas ilmu yang memadai, dan bukan pula ahli ibadah. Melainkan ia hanya seorang yang memiliki sikap salamatu ash-shadr, yaitu sikap lapang dada dan senantiasa memaafkan kesalahan orang lain meskipun orang tersebut tidak minta maaf kepadanya.

Kemudian beliau menutup pemaparan materi beliau dengan urgensi sikap lemah lembut dalam menjalin sebuah ukhuwah. Disabdakan oleh Rasulullah bahwasanya, “Tidaklah sikap lemah lembut itu berada pada seseorang melainkan ia akan menghiasinya, dan tidaklah ia hilang melainkan akan menodainya.” Sikap lemah lembut ini akan mengekalkan ukhuwah. Yang mana ukhuwah ini memiliki nilai agung yang tidak bisa dibeli dengan dunia beserta isinya. Bahkan disabdakan oleh Rasulullah, bahwasanya di akirat kelak Allah akan menanyakan hamba-hamba-Nya yang saling mencintai karena-Nya, “Di mana mereka yang saling mencintai karena keagungan-Ku. Hari ini akan Aku naungi mereka di bawah naungan-Ku, hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Ku.”

Tak sampai di situ, akan tetapi ukhuwah ini akan dibawa sampai ke surga Allah Azza wa Jalla. Sebagaimana firman Allah, “Dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang ada dalam hati mereka, mereka merasa bersaudra, dan duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.” (al-Hijr: 47). [sarmin/stiba.net]

 

Loading

Tinggalkan Balasan