(STIBA.ac.id) Mataram – Menjadi seorang dai wanita yang berjuang demi kemuliaan Islam tentu tidak mudah. Siapapun pasti mengalami yang namanya tantangan. Begitu halnya yang dialami Nuraeni, S.H., alumni STIBA Makassar tahun 2012. Sejak diutus berdakwah bersama suami, Syuaib Ahmad, sekitar tahun 2014 sampai sekarang, berbagai cobaan silih berganti mereka hadapi.
Nuraeni didampingi sang suami ditugaskan di daerah yang masih asing bagi mereka berdua. Karakter masyarakat, budaya, dan bahasanya juga berbeda dengan mereka.
Ketika berangkat dari Makassar menuju Mataram, Nuraeni dalam keadaan mengandung anak pertama. Saat itu janinnya sudah memasuki usia tujuh bulan. Tidak mudah memang, apalagi di sana mereka tidak memiliki kerabat dan belum punya gambaran tentang kondisi lokasi yang dituju. Tapi keyakinan mereka bahwa Allah pasti menolong para penolong agama-Nya menguatkan tekad mereka untuk tetap berangkat.
Awal tiba di Mataram, Nuraeni bersama suami tinggal di sebuah kos-kosan milik salah seorang ustaz yang telah lama tinggal di sana. Dua hari di sana, mereka mulai bersosialisasi mempelajari lingkungan sekitar agar bisa menyusun strategi dakwah yang akan mereka terapkan.
Ternyata di lokasi tersebut tidak mudah bagi mereka memulai dakwah. Pada umumnya warga sekitar sudah punya pengajian rutin, ditambah lagi adanya unsur fanatisme kesukuan. Nuraeni ingin memulai dari mengajar anak-anak mengaji, tapi ternyata anak-anak di sana sudah punya guru mengaji. Lingkungan mereka bahkan dikelilingi oleh rumah-rumah guru mengaji.
Akhirnya mereka berinisiatif untuk mengajarkan anak-anak apa yang tidak mereka dapatkan di tempat mengaji mereka, yaitu bahasa Arab. Nuraeni dan suaminya pun membuat les privat gratis untuk membantu anak-anak dalam menyelesaikan pelajaran sekolah yang sulit bagi mereka. Hal ini mereka lakukan untuk menarik perhatian warga sekitar dan memberikan citra positif bagi masyarakat.
Setengah bulan berlalu. Dakwah yang mereka rintis belum mendapat cukup respons dari masyarakat sekitar. Rupanya warga sekitar masih sulit menerima pendatang baru. Mereka pun berpikir untuk mencari mad’u di wilayah lain.
Akhirnya mereka mendapatkan satu kampung yang berbeda dengan lingkungan tempat tinggal mereka. Jaraknya sekitar 2-3 km. Di sana Nuraeni mengajar sekitar sepuluh orang ibu rumah tangga. Jarak antara tempat tinggalnya dengan lokasi mengajarnya ia tempuh sehari-hari dengan berjalan kaki pulang pergi. Sesekali pulangnya diantar dengan sepeda motor oleh salah seorang ibu peserta majelis taklim binaannya.
Waktu terus berlalu. Satu persatu peserta pengajiannya mulai berguguran dengan beberapa alasan klasik. Dari sepuluh yang ia bina akhirnya hanya menyisakan tiga orang yang mampu bertahan.
Pascamelahirkan Putra Pertama
Di tengah beratnya perjuangan dakwah yang ia alami, alhamdulillah, Allah menganugerahkan bagi mereka seorang momongan. Tepat pada hari ke-9 pascamelahirkan, mereka pindah tempat tinggal di sebuah kontrakan yang lokasinya cukup stategis. Di sana mereka kembali merintis dakwah yang baru.
Ramadan pun datang. Bersama suami, Nuraeni membuka pendaftaran untuk program menghafal Al-Qur’an di bulan Ramadan. Dua hari mereka gunakan untuk menyebar pamflet seadanya. Alhamdulillah, 25 orang dari kalangan mahasiswa dan pelajar mendaftarkan diri untuk mengikuti program Ramadan tersebut. Setelah Ramadan, mereka follow up dengan kegiatan menghafal lanjutan.
Di lokasi baru tersebut mereka memanfaatkan musala sebagai rumah tahfiz dan mereka beri nama Ibnu Abbas. Di Rumah Tahfizh Ibnu Abbas tersebut mereka menjalankan beberapa program kegiatan, seperti tahfizh weekend, tahfizh anak, TKA-TPA, dan belajar mengaji dasar bagi pemula (Dirosa) yang diselipkan juga dengan materi ilmu syariat (tarbiah).
Saatnya Dakwah Mulai Diterima
Waktu terus berjalan sampai dakwah mereka pun terus membuahkan hasil. Tapi hal itu tidak berarti semua berjalan sesuai rencana. Di sana masih banyak yang tidak menyukai dakwah mereka. Tapi Nuraeni dan Ahmad pantang untuk menyerah. Mereka memilih fokus untuk memperbaiki kualitas dakwah mereka.
Mereka yakin, suatu saat nanti, cepat atau lambat masyarakat yang saat itu masih kontra akan melirik dakwah mereka. Dan betul saja, banyak dari mereka akhirnya menyerahkan anak-anak mereka untuk dibina oleh Nuraeni karena melihat kualitas yang lebih unggul dibanding tempat lain. Walaupun mereka juga belum sepenuhnya loyal kepada Nuraeni karena adanya ta’assub kepada tempat mereka belajar sebelumnya.
“Waktu terus berjalan, dan alhamdulillah kami pun bisa melahirkan putra-putri daerah yang bisa berjuang bersama kami. Walaupun jumlahnya masih terbilang sangat sedikit dari apa yang kami harapkan,” ujar Nuraeni yang berhasil meraih gelar Sarjana Hukum (S.H.) di STIBA Makassar setelah mengikuti Wisuda I tahun 2017.
Ke depannya, Nuraini berharap agar semakin banyak lahir putra-putri daerah yang memiliki jiwa militan yang bisa berjuang bersama dengannya untuk menegakkan agama Islam di muka bumi, khususnya di Kota Mataram.
