Penulis: admin

  • Kuliah Perdana Semester Genap Tahun Ajaran 1433-1434 H

     
    Senin, 30 Rabiul Awwal 1434 H (11 Februari 2013 M), masjid Al-Ihsan Kampus Ma’had ‘Aly Al-Wahdah (STIBA Makassar) kembali disesaki oleh para mahasiswa yang telah kembali dari kampung halaman mereka menyelesaikan masa liburan. 

     
    Hari itu,  acara Kuliah Perdana Semester Genap Ma’had ‘Aly Al-Wahdah Tahun Ajaran 1433-1434 H akan digelar. Acara dibuka dengan tilawah al-Qur’an yang dibacakan oleh Abdullah ‘Azzam, salah seorang mahasiswa baru yang berasal dari kabupaten Sidrap, provinsi Sulawesi Selatan. Disusul kalimat pembuka dari direktur Ma’had ‘Aly Al-Wahdah Ust. Muhammad Yusran Anshar, Lc., M.A. Arahan terakhir disampaikan oleh Ust. Muh. Ikhwan Abd. Jalil, Lc. selaku wakil ketua umum Wahdah Islamiyah.

     

     
    Kuliah perdana kali ini menghadirkan Ustadz Ilham Jaya, Lc, M.Ag. sebagai pemateri. Beliau adalah mahasiswa pasca sarjana di Universitas King Saud Riyadh yang sedang menjalani masa liburannya di kota Makassar. Ust. Ilham yang juga pernah menjabat Direktur Ma’had ‘Aly al-Wahdah ini menyampaikan kuliah umum dengan tema “Agenda Seorang Penuntut Ilmu”. Dalam kuliah umum yang beliau sampaikan, beliau menekankan empat poin penting dalam menuntut ilmu; hafalan mutun ilmiah, kehadiran dalam majelis ilmu, penelaahan kitab,  dan mudzakarah serta munaqasyah di kalangan para penuntut ilmu. 

     
    “Kami banyak mengambil manfaat dari apa yang disampaikan oleh ustadz, terutama point tentang hapalan mutun ilmiah dan telaah kitab. Ikhwah semakin bersemangat dalam menghapal mutun, dan ustadz juga telah membuka wawasan kami tentang cara yang lebih efisien dalam membaca dan memahami kitab-kitab para ulama kita”, komentar Muthahhir Anshar, salah seorang imam dan mahasiswa semester IV Program Bahasa Arab. 

     
    Kuliah perdana kali ini memang banyak membuka mata para ikhwah, menuntut ilmu adalah hal baik namun akan menjadi luar biasa hasilnya—insya Allah—jika aktivitas yang mulia ini bisa dibarengi dengan metode yang tepat dan efisien.
     
    Acara ini ditutup dengan penyampaian-penyampaian dari seluruh jajaran pimpinan  di Ma’had, disusul pembagian hadiah dan beberapa penghargaan kepada sebagian civitas akademika yang berprestasi di semester ganjil yang lalu. 

     
    Mudahan-mudahan Allah memberi taufik kepada seluruh civitas akademika dan semoga acara ini menjadi pijakan awal yang baik meniti langkah dalam semester ini. (*FAL)  

    Download Rekaman Kuliah Perdana Ust. Ilham Jaya, Lc. MA.

     

  • Rekaman Ta’lim Dhuha "Tafsir Surah al-Kahfi"

    Alhamdulillah, usai sudah kegiatan Ta’lim Dhuha dengan tema “Tafsir Surah al-Kahfi” yang diisi langsung oleh Mudir STIBA Makassar Ustadz Muhammad Yusran Anshar, Lc., MA. selama 8 hari sejak tanggal 22 Januari – 01 Februari 2013 di Masjid al-Ihsan STIBA Makassar. Bagi yang ingin mendengar atau mendownload langsung rekaman ta’lim tersebut silahkan klik link berikut:









  • Pengumuman Nilai UAS Semester Ganjil 1433-1434 H


    Mewakili seluruh civitas akademika Ma’had Aly Al Wahdah maka kami atas nama bidang Akademik dengan senang hati mengucapkan selamat teriring doa “Baarakallohu fiikum” kepada seluruh dosen dan mahasiswa atas keberhasilan kita menyelesaikan semester ganjil 1433-1434 H.

    Bagi mahasiswa yang ingin mengetahui atau mengklarifikasi hasil UAS nya silakan mengikuti prosedur berikut ini :


    SOP Permintaan & Klarifikasi Nilai UAS
    1. Bagi mahasiswa/i yang berada di Ma’had dapat melihat langsung hasil UAS di pengumuman yang ditempel.
    2. Bagi mahasiswa yang berada di luar ma’had dapat menghubungi no hp : 085236498102 (hanya menerima SMS) atau mengirim via email ke akademikstibamks@gmail.com, dengan bahasa sopan menerangkan/menulis (Nama, NIM, Kelas/Mustawa, (Via) Email/No.Hp mahasiswa ybs.
    3. Bagi mahasiswa/i yang ingin mengklarifikasi nilai UAS yang telah tercantum di pengumuman akan dilayani di no hp: 082337031260 atau 085236498102, atau email ke akademikstibamks@gmail.com, dengan bahasa sopan menerangkan/menulis (Nama, Nim, Kelas/Mustawa, Jurusan, Nilai yang ingin diklarifikasi (Tulis Jumlahnya dan Mudarris Maddah), Email/No.Hp mahasiswa ybs.
    4. Klarifikasi nilai akan diproses & dilanjutkan ke panitia pelaksana UAS/Akademik.
    5. Keterangan/perubahan nilai selanjutnya insya Allah akan di (SMS-kan atau di Email-kan) ke mahasiswa ybs.

                                                   Makassar,  14 Rabi’ul Awwal 1434H
                                                                       26        Januari     2013M
    TTD,

    Akademik Ma’had ‘Aly Al-Wahdah


  • KONTROVERSI MAULID

    Tanggal12 Rabi’ul Awwal merupakan hari kelahiran Rasulullahr, menurut salah satu pendapat. Sudah menjadi tradisibagi sebagian besar kaum Muslimin di Indonesia untuk memperingati maulid (hari kelahiran) Nabi r. Bahkan sebagian orang yang hampir tidak pernah terlihat melaksanakan shalat lima waktu pun, sangat antusias ketika tiba bulan maulid.Tanpa pikir panjang mereka akan turut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut, berapa pun dana yang harus mereka kucurkan. Seolah-olah maulid adalah suatu  ibadah yang wajib untuk dilaksanakan bahkan melebihi kewajiban shalat lima waktu.
              Maulid dianggap sebagai hari besar (hari raya) yang harus diperingati secara rutin tiap tahun. Peringatan secara rutin dan terus menerus dalam istilah Arab disebut dengan Ied, sedangkan kalau kita mau meneliti dalam kitab-kitab hadits, bab tentang hari raya, di dalamnya biasanya tertulis Kitabul ‘Iedain(kitab tentang dua hari raya atau hari besar), maksudnya Idul Fithri dan Idul Adha.
              Dari sini jelas sekali bahwa hari besar dalam Islam yang diperingati secara rutin tiap tahun hanya ada dua hari saja, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha. Sekiranya ada hari besar lain yang waktu itu dirayakan oleh Rasulullah r dan para sahabatnya, tentu kaum muslimin mulai zaman sahabat, tabiin dan tabiut-tabiin sudah lebih dahulu melakukannya. Sebagaimana mereka merayakan Idul Fithri dan Idul Adha secara mutawatir, tanpa ada khilaf (perbedaan pendapat), dan sudah barang tentu juga akan dijelaskan adab-adabnya dan bagaimana praktiknya.
    BEBERAPA ALASAN MENGAPA KITA TIDAK PERLU MEMPERINGATI MAULID
    1. Merupakan amalan baru yang tertolak
              Rasulullah r bersabda, “Barangsiapa mengada-adakan (sesuatu hal baru) adalam urusan (agama) kami, padahal amalan itu bukan berasal dari agama ini, maka amalan tersebut tertolak.”   ( HR.Bukhari dan Muslim). 
    2.  Menyelisihi sunnah Nabi r dan Khulafaur Rasyidin
              Nabi r bersabda,
     ]فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فسيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِيْ [
    “Sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yang dipanjangkan umurnya, maka ia akan melihat banyak terjadi perselisihan (dalam agama), maka hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk Allah setelahku.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
    3. Mengambil ajaran bukan dari Nabi r
              Firman Allah U, artinya, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al Hasyr: 7).
    4. Tidak pernah dicontohkan dan diteladankan oleh Nabi r
              Firman Allah U, artinya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (keda-tangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21).
    5. Agama Islam telah sempurna, tidak perlu penambahan ajaran baru lagi
    Firman Allah U, artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu.” (QS. Al Maidah: 3).
    Mereka yang memperingati Maulid seakan-akan menganggap bahwa;
    @Allah I belum menyempurnakan agama ini untuk hamba-hamba-Nya.
    @Rasulullah r belum menyampaikan segala hal yang sepantasnya diamalkan oleh umatnya.
    @Para sahabat y belum menyampaikan bagaimana cara mengagungkan Rasulullah r dan mencintai serta menghormati beliau dengan penghormatan yang semestinya, sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang datang setelah mereka.
              Padahal Rasulullah r telah bersabda, “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi, melainkan diwajibkan baginya untuk menunjukkan kepada ummatnya jalan kebaikan yang diketahuinya kepada mereka.” (HR. Muslim).
              Seandainya upacara peringatan maulid itu betul-betul datang dari agama yang diridhai Allah I, niscaya Rasulullah r akan menerangkan kepada ummatnya atau beliau mengerjakannya semasa hidupnya, atau paling tidak diamalkan oleh para sahabatnya y.
    Hudzaifah bin Yaman t berkata, “Setiap ibadah yang tidak dilakukan oleh sahabat Rasulullah r, maka janganlah kalian melakukannya.”
              Imam Maliktpernah berkata, “Barangsiapa yang melakukan bid’ah dalam Islam dan menganggapnya sebagai bid’ah hasanah (baik), maka sungguh ia telah menyangka bahwa Muhammad r telah berbuat khianat dalam penyampaian risalah (tidak menyampaikan semua risalah).”
    6. Memperingati maulid bukan indikator cinta kepada Rasulullah r
              Berapa banyak orang yang menghidupkan perayaan ini, namun mereka adalah orang-orang yang jauh dari petunjuk Rasulullah r, menganggap remeh shalat apalagi shalat berjamaah di masjid.
              Kecintaan yang sebenarnya kepada Rasulullah r adalah sebagaimana yang Allah U kehendaki dalam firman-Nya, (artinya), “Katakanlah, jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu.” (QS. Ali Imran: 31).
    Dan sabda Rasulullah r,  
    “Setiap ummatku akan masuk surga kecuali yang enggan.” Mereka (sahabat) bertanya, “Siapa yang enggan, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Siapa yang taat kepadaku akan masuk surga, dan siapa yang berbuat maksiat kepadaku maka ia adalah orang yang enggan.” (HR. Bukhari).
              Jadi kecintaan yang sebenarnya terhadap beliau r adalah dengan cara mengikuti beliau dengan berpegang teguh kepada petunjuknya dan mengikuti jalannya, serta menjadikannya sebagai teladan, baik dalam ucapan maupun perbuatan serta kelakuan dan akhlak beliau r.
    7. Membuat ajaran baru dalam Islam merupakan seburuk-buruk perkara
              Sebagaiamana disebutkan dalam hadits dari Jabir bin Abdullah t, bahwasanya Rasulullah r sering mengatakan dalam khutbahnya,
    “Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah firman Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad r, dan seburuk-buruk perkara adalah yang dibuat-buat, dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Muslim).
    8. Merupakan sikap tasyabbuh (menyerupai) terhadap kaum Nasrani
              Perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang menyerupai orang-orang Nasrani yang memperingati kelahiran Isa u, sedangkan kita telah dilarang untuk menyerupai mereka dan mengikuti peringatan-peringatan hari raya mereka. Rasulullah r bersabda, (artinya),
    “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongannya.” (HR. Abu Daud dan Ahmad).
              Belum lagi jika dalam acara tersebut terdapat ghuluw (sikap berlebihan) terhadap Nabi r, misalnya berkeyakinan kalau Nabi r datang dalam acara tersebut dan bisa menjawab doa mereka, ikhtilath (bercampur baur antara pria dan wanita yang bukan mahram), atau diselingi dengan pentas musik dan sebagainya.
    9. Hari kelahiran Rasulullah r merupakan hari wafat beliau juga, yaitu pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal, apakah termasuk bukti cinta ketika kita justru bergembira pada hari tersebut—Wallahu al Musta’an.
    AMAL SHALEH TIDAK CUKUP HANYA DENGAN NIAT YANG BAIK   
              Islam telah mengajarkan bahwa suatu amal dikatakan shaleh dan dapat diterima oleh Allah, selain harus diniatkan dengan ikhlas, juga harus mengikuti cara dan petunjuk yang dibawa oleh Nabi r. Karena kalau kita lihat dalam Al-Qur’an, orang kafir yang dikatakan oleh Allah sebagai orang yang paling rugi amalnya ternyata penyebabnya adalah karena mereka salah prediksi (perkiraan). Mereka sangka apa yang mereka lakukan adalah kebaikan-kebaikan sebagaimana yang mereka niatkan, padahal sebenarnya adalah kesesatan.
              Firman  Allah I, artinya, “Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi: 103-104).
              Dan yang lebih memilukan hati kita adalah ketika amalanitu tidak sekadar tertolak, tapi juga dianggap sebagai perbuatan yang sesat, sebagaimana sabda Rasulullah r, “Setiap hal yang baru (dalam urusan agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah).
    Wallohul Muwaffiq Ilaa Sawaai Assabiil

    Sumber: Al Fikrah No. 17 Tahun V, 13 Rabi’ul Awwal 1426 H/22 April 2005 M

  • Ponpes Tahfizh al-Qur’an Wahdah Islamiyah Tingkat ‘Ulya Gowa Mengadakan Tabligh Akbar


    Pada hari Ahad sore 8 Rabiul Awwal 1434 H yang bertepatan dengan 20 Januari 2013 M Ponpes Tahfizh Al Quran Wahdah Islamiyah Tingkat ‘Ulya Gowa menggelar tabligh akbar. Kegiatan ini dilaksanakan oleh OSIS PONPES TAhfizh al-Qur’an Tingkat ‘Ulya Gowa, di bawah bimbingan pengelola ponpes. Acara yang digelar di masjid Hj. Hadrah Akib kompleks ponpes ini dihadiri oleh orang tua santri & warga sekitar ponpes memadati dua lantai masjid tersebut. Dalam pantauan panitia, kurang lebih 200 orang ikhwan dan 300 orang akhwat hadir dalam acara tabligh akbar pertama yang diadakan semenjak didirikan sekitar 6 bulan yang lalu. Kegiatan ini menghadirkan Ust.Harman Tajang, Lc. yang merupakan anggota Rabithah ‘Ulama al-Muslimin (Ikatan Ulama Ahlussunnah se-Dunia) yang bermarkas di Kuwait. Di awal ceramahnya, beliau menampilkan video seorang penghafal al-Qur’an tuna rungu yang berasal dari Maroko, berhasil memenangkan lomba menghafal al-Qur’an tersebut yang diadakan di Mesir. Video tersebut menggugah perhatian para peserta, diantaranya ada yang terdecak kagum, ada pula yang meneteskan air mata.
    Setelah itu ustadz memulai materinya dengan memberikan gambaran yang beliau saksikan sendiri di jalur Gaza pada kunjungan Rabithah ‘Ulama al-Muslimin beberapa pekan yang lalu. Beliau mengatakan bahwa Palestina memiliki puluhan penghafal al-Qur’an, mulai dari perdana menteri, anggota parlemen, anggotaDewan, hingga anak-anak kecil yang diwisuda sebanyak 13.000 wisudawan tiap tahunnya. Subhanalloh..!!!
    Dalam statetmennya mereka mengatakan: “Mereka, musuh-musuh islam, berusaha membakar al-Qur’an sedang al-Qur’an ada dalam dada-dada kami”. Sungguh fenomena yang berkebalikan dengan rakyat di negara kita yang tercinta.
    Diakhir ceramahnya, beliau memberikan motivasi dan kabar gembira kepada orang tua santri & warga sekitar ponpes bahwa anak-anak mereka menjadi sumber pahala yang terus mengalir dari setiap huruf yang diulang-ulangi anak-anak mereka. Kemudian beliau meminta KH. Mansur Salim yang juga sempat hadir dalam acara tersebut untuk memberikan nasehat selama 10 menit, setelah itu kegiatan dilanjutkan dengan sosialisasi Pesantren Tahfizh al-Qur’an Wahdah Islamiyah Tingkat ‘Ulya Gowa oleh Direktur Pelaksana, Ust. Saifulloh Anshar, Lc. Hafizhahulloh Ta’ala. (abhmd)


  • TA’LIM DHUHA: TAFSIR SURAH AL-KAHFI

    Dalam rangka mengisi liburan semester ganjil,
    maka pihak Ma’had ‘Aly al-Wahdah

    (STIBA Makassar) menyelenggarakan:


    Ta’lim Dhuha, Kajian “Tafsir Surah Al-Kahfi”

    Bersama : Ustadz Muh. Yusran Anshar, Lc., MA.


    Mulai tanggal 10 – 20 Rabiul Awal 1434 H/

    22 Januari – 01 Februari 2013 M

    (kecuali hari sabtu dan ahad)

    Pukul : 08.00 – 09.00 WITA

    Bertempat di Masjid al-Ihsan Kampus Stiba Makassar

    Contact Person:

    085242130937 (ikhwah)

    085259432705 (akhwat)

    “TERBUKA UNTUK UMUM”



  • Bila Sunnah Diremehkan

    Setiap orang berhak untuk mengklaim dirinya sebagai pencinta Nabi r, namun klaim tersebut tidak akan bermanfaat tanpa ittiba’(mengikuti sunnah Nabi r), taat dan berpegang teguh pada petunjuknya. Cinta kepada Rasulullah ` hanya bisa dibuktikan dengan mengamalkan firman Allah l berikut ini, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. al-Hasyr: 7).
    Banyak yang mengklaim cinta kepada Nabi r, namun dengan cara-cara yang tidak diperintahkan oleh Rasulullah `. Sementara terhadap orang-orang yang mengamalkan perintah Nabi ` yang jelas perintahnya, mereka justru mencelanya dan menggelari mereka dengan celana cingkrang, jenggotan, ninja, wahabi, dst. Padahal Allah l berfirman, “Dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujurat: 11).
    CELAAN ALLAH BAGI PENENTANG AJARAN NABI `
    Allah mengancam dengan keras orang-orang yang berani membantah ajaran Nabi-Nya. Tidak saja diancam dengan adzab akhirat, namun banyak yang disegerakan hukumannya di dunia.
    Salah seorang murid Imam Ahmad bernama Abu Thalib mengatakan, “Saya mendengar Imam Ahmad ditanya tentang sebuah kaum yang meninggalkan hadits dan cenderung kepada pendapat Sufyan (salah seorang ulama kala itu).” Maka Imam Ahmad berkata, “Saya merasa heran terhadap sebuah kaum yang tahu hadits dan tahu sanad hadits serta keshahihannya lalu meninggalkannya, lantas lebih memilih pendapat Sufyan dan yang lainnya. Padahal Allah berfirman (artinya),“Maka hendaklah berhati-hati orang yang menyelisihi perintah Rasul-Nya untuk tertimpa fitnah atau tertimpa adzab yang pedih.” (QS. An-Nur: 63).Tahukah kalian apa arti fitnah? Fitnah adalah kufur. Allah berfirman (artinya), “Dan fitnah itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan.” (Fathul Majid: 466).
    Ayat yang dibacakan oleh Imam Ahmad tersebut benar-benar merupakan ancaman keras bagi orang-orang yang menyelisihi sunnah Nabi `. Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Hendaklah takut siapa saja yang menyelisihi syariat Rasul secara lahir maupun batin untuk tertimpa fitnah dalam hatinya baik berupa kekafiran, kemunafikan atau bid’ah atau tertimpa azab yang pedih di dunia dengan dihukum mati atau dihukum had atau dipenjara atau sejenisnya.” (Tafsir Ibnu Katsir: 3/319).
    Allah U juga berfirman (artinya), “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian keraskan suara kalian di atas suara Nabi dan jangan kalian bersuara keras terhadap Nabi sebagaimana kerasnya suara sebagian kalian kepada sebagian yang lain supaya tidak gugur amal kalian sedangkan kalian tidak menyadarinya.” (QS. al Hujurat: 2).
    Ibnul Qayyim t menjelaskan ayat ini, beliau berkata, “Allah l memperingatkan kaum mukminin dari gugurnya amal-amal mereka dengan sebab mereka mengeraskan suara kepada Rasul sebagaimana kerasnya suara mereka kepada sebagian yang lain. Padahal amalan ini bukan merupakan kemurtadan bahkan sekadar maksiat, akan tetapi ia dapat menggugurkan amalan dan pelakunya tidak menyadari. Lalu bagaimana dengan yang mendahulukan ucapan, petunjuk, dan jalan seseorang di atas ucapan, petunjuk dan jalan Nabi?! Bukankah yang demikian telah menggugurkan amalannya sedang dia tidak merasa?” (Kitabush Shalah, 65).
    Dalam hadits yang lalu Nabi ` menyebutkan, “Barangsiapa yang membenci Sunnahku, dia bukan dari golonganku.” (HR. Muslim).
    Maksud bukan dari golonganku artinya dia termasuk orang kafir jika ia berpaling dari sunnah Nabi `, tidak meyakini sunnah itu sesuai dengan nyatanya. Tapi jika ia meninggalkannya karena menggampangkannya maka ia tidak di atas tuntunan Nabi `. (Lihat Syarh Shahih Muslim, Al Imam An Nawawi: 9/179).
    Ancaman-ancaman tersebut cukup menakutkan tapi ada yang tak kalah menakutkan yaitu bahwa orang yang menentang sunnah Nabi ` terkadang Allah percepat hukumannya semasa mereka di dunia sebagaimana diriwayatkan dalam beberapa riwayat, di antaranya:
    “Dari Abdulah bin Abbas E, dari Nabi ` bahwa beliau bersabda, “Janganlah kalian datang kepada istri kalian (dari safar) di malam hari.’ Kemudian di suatu saat Nabi ` datang dari safar, maka tiba-tiba dua orang pergi mendatangi istri mereka (di malam hari) maka keduanya mendapati istri mereka sudah bersama laki-laki lain.” (Sunan Ad Darimi, 1/118).
    Didapatinya istri mereka bersama laki-laki lain adalah hukuman bagi mereka di mana mereka melanggar larangan Nabi ` untuk mendatangi istri mereka di malam hari sepulangnya dari safar, kecuali jika sebelumnya mereka sudah terlebih dahulu memberi tahu bahwa mereka akan datang di malam itu maka yang demikian diperbolehkan sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari(9/240, 242).
    Salamah bin Al Akwa’ E berkata, “Seseorang makan dengan tangan kiri di hadapan Rasulullah maka Rasulullah menegurnya, “Makanlah dengan tangan kananmu.” Ia menjawab: ‘Saya tidak bisa.’ Maka Nabi katakan,“Semoga kamu tidak bisa! Tidaklah menghalangi dia kecuali sombong.” Akhirnya ia tidak dapat mengangkat tangannya ke mulutnya.” (HR. Muslim).
    Abdurrahman bin Harmalah t mengisahkan, seseorang datang kepada Said bin Al Musayyib t  megucapkan salam perpisahan untuk haji atau umrah, lalu Said mengatakan kepadanya, “Jangan kamu pergi hingga kamu shalat dulu karena Rasulullah ` bersabda, “Tidaklah ada yang keluar dari masjid setelah azan kecuali seorang munafik, kecuali seorang yang terdorong keluar karena kebutuhannya dan ingin kembali ke masjid.” Kemudian orang itu menjawab, “Sesungguhnya teman-temanku berada di Harrah.” Lalu keluarlah dia dari masjid. Said terus terbayang-bayang mengingatnya sampai beliau dikabari bahwa orang tersebut jatuh dari kendaraannya dan patah tulang pahanya.” (Sunan Ad Darimi 1/119).
    Abu Abdillah Muhammad bin Ismail At Taimi t mengatakan bahwa dirinya membaca pada sebagian kisah-kisah bahwa sebagian ahlul bid’ah ketika mendengar sabda Nabi `, “Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka janganlah ia celupkan tangannya ke bejana sebelum mencucinya terlebih dahulu karena sesungguhnya ia tidak tahu di mana tangannya barmalam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
    Maka ahlul bid’ah tersebut mengatakan dengan nada mengejek, “Saya tahu di mana tanganku bermalam, tanganku bermalam di kasur.” Lalu paginya dia bangun dari tidurnya dalam keadaan tangannya sudah masuk ke dalam duburnya sampai ke lengannya.
    At Taimy lalu berkata, “Maka berhati-hatilah seseorang untuk menganggap remeh sunnah dan sesuatu yang bersifat mengikut perintah agama. Lihatlah bagaimana akibat jelek menimpa dirinya.”
    Al Qadhi Abu Tayyib t menceritakan kejadian yang ia alami, beliau berkata, “Kami berada di sebuah majlis kajian di masjid al Manshur. Datanglah seorang pemuda dari daerah Khurasan, ia bertanya tentang masalah musharat lalu dia minta dalilnya sehingga disebutkan dalilnya dari hadits Abu Hurairah yang menjelaskan masalah itu. Dia—orang itu bermadzhab Hanafi—mengatakan, “Abu Hurairah tidak bisa diterima haditsnya…” Maka belum sampai ia tuntaskan ucapannya tiba-tiba jatuh seekor ular besar dari atap masjid sehingga orang-orang loncat karenanya dan pemuda itu lari darinya. Ular itu pun terus mengikutinya. Ada orang mengatakan, “Taubatlah engkau! Taubatlah engkau!” Kemudian dia mengatakan, “Saya bertaubat.” Maka pergilah ular itu dan tidak terlihat lagi bekasnya.” Adz Dzahabi berkata bahwa sanad kisah ini adalah para imam.
    Itulah beberapa kejadian nyata dan bukan cerita fiktif yang diada-adakan, tetapi cerita-cerita yang diriwayatkan dengan sanad. Tentu yang demikian menjadi pelajaran buat kita karena bukan hal yang mustahil kejadian di atas terjadi di masa kita sebagaimana terjadi di masa dulu manakala ada seseorang yang menghina Sunnah Nabi `. Ancaman ini telah ditetapkan di dalam Al Qur’an sebagaimana firman-Nya(artinya), Sesungguhnya orang yang mencelamu, dialah yang terputus.” (QS. Al Kautsar: 3).
    “Yakni terputus dari segala kebaikan.” (Lihat Taisir Al Karimirrahman: 935).
    Ibnu Katsir menjelaskan, “Yang mencelamu artinya yang membencimu wahai Muhammad, dan yang membenci apa yang engkau bawa dari petunjuk dan kebenaran serta bukti yang nyata. Dan yang terang dialah yang akan terputus, yang hina, dan tidak akan dikenang namanya (dengan baik).”
    Wallahu Waliyyu at Taufiq
    Dari berbagai sumber

  • Memuliakan Para Pewaris Nabi

    Tak ada orang yang akan menanyakan penyakitnya kepadaseorang artis yang tak punya latar belakang pendidikan di bidang kesehatan. Demikian pula, seorang yang ingin mendirikan bangunan tak akan bertanya kepada seorang dokter tentang desain rumah ideal. Demikianlah, untuk perkara dunia seseorang akan berpikir sangat matang. Tak ingin salah melangkah lalu menyesal sepanjang hayat. Ironisnya, untuk perkara yang berkaitan dengan akhirat, seseorang tak merasa perlu untuk bertanya kepada ahlinya. Bahkan cenderung menghindar untuk bertanya kepada ahli agama, karena jawabannya kalau tidak haram, minimal makruh atau sebaiknya dihindari.
    Maka politisi pun ditanya tentang agama. Artis pun angkat bicara. Bahkan orang-orang yang sangat jauh dari agama pun tidak tinggal diam. Semua ramai-ramai berfatwa soal agama.
    Giliran yang angkat suara adalah para ulama, maka cukup dianggap sebagai angin lalu. Padahal, tahukah kita siapa para ulama?
    INILAH BUKTI KEMULIAAN PARA ULAMA
    Mengapa memuliakan para ulama? Karena mereka adalah orang-orang yang dianugerahi oleh Allah ilmu, amal, kesabaran, keikhlasan, dan keimanan. Mereka diberi ilmu tentang al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman para sahabat F, serta mengamalkannya. Di antara dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan keutamaan mereka adalah sebagai berikut:
    Allah l berfirman,
    يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
    “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Mahamengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Mujadilah:11).
    “Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. az-Zumar: 9).
    Rasulullah ` bersabda tentang keutamaan mereka,
    “Para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham (harta). Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambilnya sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak (menguntungkan).” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Abu Dawud).
    Rasulullah ` bersabda, “Barang siapa yang Allah l kehendaki kebaikan untuknya, Dia jadikan orang tersebut paham akan agama.” (HR. Al-Bukhari no. 69 dari Mu’awiyah E).
    Para ulama adalah orang-orang berilmu dan dimuliakan oleh Allah l, sehingga kita wajib menghormati dan memuliakan mereka sebagai bukti kebenaran keimanan serta kecintaan kita kepada Allah l dan Rasul-Nya `. Allah l berfirman, artinya:
    “Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. al-Hajj: 32).
    BEGINI SEHARUSNYA MEMULIAKAN PARA ULAMA
    Berikut ini adalah beberapa langkah untuk merealisasikan sikap menghormati dan memuliakan para ulama, di antaranya:
    1. Bersyukur (berterima kasih) kepada mereka karena Allah l
    Karena keikhlasan dan kesabaran mereka dalam berdakwah, ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah pun tersebar hingga sampai kepada kita. Kita bisa mengetahui akidah yang benar, manhaj yang lurus, dan beribadah dengan tata cara yang bersih dari bid’ah. Karena itu, sudah semestinya kita berterima kasih kepada mereka.
    Allah ` berfirman (artinya),
    “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (QS. ar-Rahman: 60).
    2. Menaati mereka dalam hal yang baik
    Allah l berfirman, artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kalian.”(QS. An-Nisa’: 59).
    Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t mengatakan,
    “Bila para ulama dihormati, syariat pun akan dimuliakan, karena mereka adalah pembawa syariat tersebut. Namun, bila para ulama direndahkan, syariat juga akan dihinakan, karena apabila kewibawaan para ulama telah direndahkan dan dijatuhkan di mata umat, syariat yang mereka bawa akan dihinakan dan tidak bernilai. Setiap orang akan meremehkan dan merendahkan mereka. Akibatnya, syariat pun akan hilang.
    Para penguasa pun demikian keadaannya, wajib dimuliakan, dihormati dan ditaati, sesuai dengan ketentuan syariat-Nya. Apabila kewibawaan penguasa direndahkan, dihinakan, dan dijatuhkan, hilanglah keamanan (ketenteraman) masyarakat. Negara menjadi kacau, sementara pengu
    asa tidak memiliki kekuatan dan kemampuan untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan. Karena itu, apabila kedua golongan ini, ulama dan umara, direndahkan di mata umat, syariat akan rusak dan keamanan akan hilang. Segala urusan menjadi kacau-balau.” (Syarh Riyadhish Shalihin, 2/110).
    3. Mengikuti bimbingan dan arahan mereka
    Allah l berfirman menceritakan dialog Nabi Ibrahim p dengan ayahnya, 
    “Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.”
    (QS. Maryam: 42).
    Ibnu Mas’ud E berkata, “Rasulullah ` membuat sebuah garis yang lurus lalu bersabda, “Ini adalah jalan Allah.” Kemudian beliau `membuat beberapa garis di sebelah kanan dan kiri garis lurus itu lalu bersabda, “Ini adalah jalan-jalan yang bercabang (darinya). Pada setiap jalan ini ada setan yang mengajak kepadanya.” Beliau ` lalu membaca firman Allah l, “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya….” (QS. al-An’am: 153). [HR. Ahmad].
    Siapakah yang mereka pengikut jalan yang lurus? Mereka itulah yang mengikuti para ulama. Sedangkan yang menyelisihi ulama dan tidak memedulikan hak-hak mereka berarti dia telah melenceng dari jalan yang lurus dan mengikuti jalan setan. Dia telah memisahkan diri dari jalan yang lurus, yaitu jalan Rasul-Nya ` dan yang ditempuh para sahabat radhiyallahu anhum.
    4. Mengembalikan urusan umat kepada mereka
    Allah l berfirman, artinya,
    “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl: 43).
    Allah l juga berfirman, artinya,
    “Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikuti setan kecuali sebagian kecil saja (di antara kalian).” (QS. an-Nisa: 83).
    Asy-Syaikh As-Sa’di t berkata, “Ini adalah bimbingan adab dari Allah l kepada hamba-hamba-Nya terkait sikap mereka yang tidak pantas ini. Selayaknya apabila ada sebuah urusan penting dan menyangkut orang banyak—terkait keamanan dan kebahagiaan orang-orang beriman, atau pun kekhawatiran akan sebuah musibah yang menimpa mereka—hendaknya mereka menelitinya dan tidak tergesa-gesa menyebarkannya. Bahkan, semestinya mereka mengembalikannya kepada Rasulullah ` (semasa hidup beliau) dan kepada ulil amri, yaitu orang-orang yang ahli dalam menentukan pendapat, berilmu, peduli, dan tenang. Mereka adalah orang-orang yang memahami urusan dan kepentingan umat maupun hal-hal yang sebaliknya.
    Apabila mereka memandang ada kebaikan, kemaslahatan, kebahagiaan, dan sesuatu yang membangkitkan kewaspadaan orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuhnya, niscaya mereka akan menyebarkannya. Akan tetapi, bila mereka memandang tidak ada kebaikan dan kemaslahatannya, atau ada kebaikan dan kemaslahatan tetapi dampak negatifnya lebih besar, niscaya mereka tidak akan menyebarkannya….”
    Beliau t melanjutkan, “Ayat ini juga mengandung larangan untuk tergesa-gesa menyebarkan sebuah berita ketika mendapatkannya. Bahkan, seseorang diperintahkan untuk meneliti dahulu sebelum menyampaikannya.” (Tafsir As-Sa’di hlm. 190).
    Karena itu, pendapat mereka lebih mendekati kebenaran dan nasihat mereka lebih berhak didengarkan.
    ULAMA SUU’ (BURUK)
    Mereka adalah orang-orang yang paham agama; hafal al-Qur’an, hadits-hadits Nabi `, dan pendapat-pendapat para ulama. Ilmu mereka tinggi, tapi tak membuat mereka takut kepada Allah, sehingga mereka bukanlah ulama. Allah l berfirman, artinya,“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (QS. Fathir: 28). Abdullah bin Mas’ud t mengatakan, “Cukuplah rasa takut kepada Allah sebagai keilmuan dan cukuplah perasaan bangga terhadap diri sendiri sebagai bukti kejahilan” (Riwayat Thabrani)
    Ulama suu’menyuguhkan keburukan dalam bentuk kebaikan. Ia menggambarkan kebatilan dengan gambar sebuah kebenaran. Ada kalanya, karena menjilat para penguasa dan orang-orang zalim lainnya untuk mendapatkan kedudukan, pangkat, pengaruh, penghargaan, reputasi dan ketenaran, atau apa saja dari perhiasan dunia yang ada di tangan mereka. Atau ada juga yang melakukan itu karena sengaja menentang Allah dan Rasul-Nya demi menciptakan kerusakan di muka bumi ini.
    Di sisi lain, media lebih senang memopulerkan mereka daripada para ulama rabbani. Akhirnya, jadilah ulama suu’ digandrungi, diidolakandan fatwa-fatwanya jadi pegangan di kalangan masyarkat muslim di negeri ini.
    Wallahul Musta’an wa’alaihi At Tuklaan
    Dari berbagai sumber
  • Banjir Merendam Beberapa Asrama Putri STIBA

    Sejak hari Jum’at (22-02-1434 H/04-01-2013 M) kota Makassar diguyur hujan deras, imbasnya daerah di pemukiman kecamatan Manggala khususnya Kampung Nipa-nipa terendam banjir. Air bah kiriman dari blok 10 Perumnas Antang tersebut dipicu dari tingginya curah hujan beberapa hari terakhir.


    Sontak akses jalan menuju Kampus STIBA menjelma menjadi sungai dengan arus yang deras. Beberapa pemukiman warga terendam banjir 1-2 meter termasuk beberapa asrama mahasiswi STIBA. Kondisi ini menyebabkan 60 mahasiswi terpaksa diungsikan di tempat yang lebih aman termasuk di ruang kelas kampus STIBA. Tidak terkecuali para mahasiswa turun tangan untuk membantu mengevakuasi barang-barang dari rumah para warga yang terendam banjir.
    Untuk membantu korban banjir, dapat disalurkan melalui:

    Bank Syariah Mandiri No. Rek. 2012171717 an. Ma’had ‘Aly al-Wahdah (STIBA Mks)

    Berikut gambar-gambar banjir yang sempat didokumentasikan:


    Beberapa mahasiswa STIBA membantu evakuasi barang-barang yang terendam banjir
     
    Salah satu asrama mahasiswi STIBA yang terendam banjir
    Rumah salah seorang dosen akhwat STIBA
    Area persawahan di belakang perumahan ikhwah berubah menjadi lautan air bah
    Sepeda motor yang tak sanggup melewati arus banjir memaksa para warga untuk mengangkutnya
    Beberapa mahasiswa STIBA membantu menyeberangkan motor salah seorang warga
      
      
    Arus banjir yang sangat deras

    Foto diambil ketika hujan makin deras diikuti dengan angin ribut
    Beberapa mahasiswa yang berupaya mengamankan beberapa barang yang terendam banjir menggunakan perahu karet seadanya
     Posko bantuan korban banjir yang terletak sebelum lokasi banjir di samping kanan Alfa Mart ruko ke-3 

  • السنة الميلادية نظرة شرعية وتاريخية


    * التقويم الميلادي هو التقويم المستعمل مدنيا في أكثر دول العالم ويسمى بهذا الاسم لأن عَدّ السنين فيه يبدأ من سنة ميلاد المسيح كما كان يعتقد.
    * واضع عَدّ السنين هو الراهب الأرمني دنيسيوس الصغير. ويسمى بالتقويم الغريغوري نسبة إلى البابا غريغوريوس الثالث عشر؛ بابا روما وهو الذي قام بتعديل التقويم اليولياني ليصبح على النظام المتعارف عليه حاليا.
    * السنة الميلادية سنة شمسية أي تمثل دورة كاملة للشمس في منازلها.
    * سمى الرومان (يناير) بهذا الاسم نسبة إلى جانوس إله الشمس عندهم الذي يحرس أبواب السماء إله البدايات والنهايات إله الحرب والسلم،وتصوروه على هيئة إنسان ذو وجهين متعاكسين فيلقون في أول أيامه نظرة إلى الماضي مودعين ونظرة إلى العام الجديد مستبشرين،وكان لجانوس هذا معبد تُفتح أبوابه أيام الحرب وتُغلق أيام السلم وله اثنا عشر بابا بعدد شهور السنة،وفي أول يوم منه كانوا يحتفلون به ويقدمون له العسل والتمر والحلوى فهذا العيد الوثني صار فيما بعد عيد رأس السنة.
    * واشتقوا (فبراير) من الفعل ( فبروار ) ومعناها يتطهر، وكان الرومان يقيمون عيدا يتطهرون فيه روحيا من الذنوب في اليوم الخامس عشر من هذا الشهر،وقيل سمي على اسم فيبروس إله النقاء عند الرومان،وكان هذا الشهر مخصصا عندهم لإلههم نبتون إله البحر عندهم لأن الأمطار تكون فيه غزيرة.
    * وسمي (مارس) على اسم ماريتيوس إله الحرب عند الرومان وهو حاميهم وناصرهم وكان يُعتقد أنه يجلب الحظ إذا بُدئت الحروب فيه.
    * وسمي (أبريل) بهذا الاسم نسبة إلى معبودتهم(أبريل) وهي التي تتولى في زعمهم تفتح الأزهار وفتح أبواب السماء لتضيء الشمس بعد احتجابها في فصل الشتاء،وقيل نسبة إلى فينوس أو أفروديت آلهة الحب والجمال عند الإغريق وهو عندهم بداية الربيع فصل الخضرة والنسيم العليل.
    * سمي (مايو) بهذا الاسم نسبة إلى (مايا) آلهة الخصوبة والنمو والتكاثرعند الرومان وهي ابنة الإله أطلس حامل الأرض وأم الإله عطارد خادم الآلهة عندهم.
    * (يونيو) سمي بهذا الاسم نسبة لجونو آلهة القمر وزوجة المشترى في الأساطير الرومانية، (ويوليو) نسبة إلى يوليوس قيصر الإمبراطور الروماني لأنه ولد فيه.
    * (أغسطس) سمي بهذا الاسم نسبة إلى أوكتافيوس ولقبه أغسطس الإمبراطور الروماني وهو ابن يوليوس قيصر بالتبني لأنه حقق فيه أعظم انتصاراته،وجعلوا أيامه 31 يوما على حساب شهر فبراير لكيلا ينقص عن أيام شهر يوليو الذي يحمل اسم يوليوس قيصر،ثم عدلوا أيام الشهور بعد أغسطس لئلا تتوالى ثلاثة أشهر بنفس الطول (يوليو-أغسطس-سبتمبر) فعكسوا القاعدة فصارسبتمبر30 أكتوبر31 نوفمبر30 ديسمبر31.
    * لاحظ غريغوريوس الثالث عشر بابا روما أن يوم الاعتدال الربيعي وقع في 11 مارس بدلا من 21 مارس بفارق عشرة أيام،فكلف الراهب اليسيوس ليليوس ليقوم بتعديل التقويم اليولياني فتم الاتفاق على حذف ثلاثة أيام كل 400 سنة،واتفقوا على أن تكون السنة القرنية (التي هي من مضاعفات100) سنة بسيطة إلا إذا قبلت القسمة على (400) بدون باقٍ ،وهكذا نام الناس يوم الخميس 4 أكتوبر 1582 واستيقظوا يوم الجمعة 15 أكتوبر 1582 !ولولا مكانة البابا الدينية ما كان هذا الأمر ليقبل عند الناس!
    * ولذلك قاومت الدول غير الكاثوليكية هذا التقويم حتى استقرالأمر عليه في القرن العشرين فقبلته كل الدول مدنيا لكن كثيرا من القيادات الدينية لم تقبل ، ففي الكنائس الأرثوذكسية الشرقية والرومية استمروا على استعمال التقويم اليولياني الذي أصبح الفرق بينه وبين الغريغوري حاليا 13 يوما، لذلك فحسب التقويم الغريغوري المستعمل يُعيّد النصارى الشرقيون في 7 يناير مع أن الجميع يعيد في 25 ديسمبر ولكن كل حسب تقويمه.
    * وهكذا تلاعب الباباوات والأباطرة بأعداد أيام الشهور حسب أهوائهم ؛ أما نحن فحِساَبنا بكتاب الله﴿يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ﴾ [ البقرة : 189 ]،﴿إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلاَ تَظْلِمُواْ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ﴾. [ التوبة : 36 ]
    * ﴿ذلك الدين القيم﴾ أي: هذا الذي أخبرتكم به من أن عدة الشهور عند الله اثنا عشر شهرا في كتاب الله وأن منها أربعة حرما هو الدين المستقيم. الطبري
    * قال صلى الله عليه وسلم : ] لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ ، وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ ، حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ [ . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ ] فَمَنْ [.متفق عليه
    * وهكذا يمضي بعض ضعاف المسلمين قُدما خلف هؤلاء الذين حرفوا دينهم وكفروا برسول ربهم يتشبهون بهم ويفرحون بأعيادهم أعظم من فرحهم بأعياد المسلمين ،يقول طه حسين: علينا أن نسير سيرالأوربيين ونسلك طريقتهم لنكون لهم أندادا ونكون لهم شركاء في الحضارة خيرهاوشرها حلوها ومرها مايُحب منها ومايعاب.
    ويقول أيضا: نريد أن نتصل بأوربا اتصالا يزداد قوة من يوم إلى يوم حتى نصبح جزءا منها لفظا ومعنى، حقيقة وشكلا ،ويقول : نريد أن نشعر الأوربي بأننا نرى الأشياء كما يراها ونقوّم الأمور كما يقومها ونحكم على الأشياء كما يحكم عليها.
    * لقد وصل الحال إلى أن قام بعضهم بإذاعة وفاة نصراني داخل المسجد ثم أقاموا لهذا الميت سرادقا كبيرا وأتوا فيه بقساوسة النصارى ووعاظ المسلمين!
    * بل حدث أن زار بعض هؤلاء المشايخ الكنيسة فخلع عمامته وألبسها القس ولبس هو عمامة القس وأنشأ يقول: الشيخ والقسيس قسيسانِ وإن تشأ فقل هما شيخان!
    * لما أراد علي أن يسافر لقتال الخوارج عرض له منجم فقال يا أمير المؤمنين لا تسافر فإن القمر في العقرب فإنك إن سافرت والقمر في العقرب هزم أصحابك؛ فقال له علي: بل نسافر ثقة بالله وتوكلا على الله وتكذيبا لك، فسافر فبورك له في ذلك السفر حتى قتل عامة الخوارج. ابن تيمية .
    * يجب أن يتخلى المسلم عن كل ما يخالف شريعة الله.
    قال أبو حازم الأعرج: اعملوا ما تكرهون إذا أحب الله واتركوا ما تحبون إذا كره الله.
    ﴿فَأَمَّا مَن طَغَى 
    ¤ وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا ¤ فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى ¤ وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى ¤ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى ¤﴾ [ الشمس : 37-41 ]
    اللهم اجعلنا من الواقفين عند حدودك
    والحمد لله رب العالمين
    فضيلة الشيخ محمد صالح المنجد
    موقع صيد الفوائد